Rabu, 09 April 2014

TATA CARA WAKAF DALAM HUKUM INDONESIA


BAB I                                                        
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah member taufik dan hidayah-Nya, serta kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini tepat waktunya. Shalawat dan salam kita ucapkan untuk junjungan Nabi Muhammad saw. Yang telah mengantarkan umat manusia ke jalan yang di ridhai Allah SWT.
Makalah ini dipersiapkan untuk mata kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia dengan bobot 2 SKS. Dengan materi berjudul “Tata Cara Wakaf, maka dengan ini kami membahas beberapa pokok pembahasan yang dianggap perlu. Kami sadar bahwa dalam penulisan ini masih sangat sederhana, namun harapan kami tidak mengurangi bobot dan isi makalah ini. Penulisan makalah ini dapat diselesaikan atas usaha keras penulis, juga berkat bantuan teman-teman untuk mengisi kekurangannya.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus tulus-tulusnya kepada Dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan untuk penulisan makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada pihak yang terkait yang telah membantu. Saran maupun kritik yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Seluruh jasa baik yang telah di berikan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini, langsung maupun tidak langsung semoga mendapat balasan  kebaikan dari Allah SWT dan menjadi amal kebajikan di dunia dan di akhirat. Amin ya Rabbal’alamin.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tata cara pelaksanaan wakaf
Seperti diketahui bahwa hukum Islam menganjurkan agar setiap orang muslim yang memiliki harta kekayaan supaya tidak hanya menggunakan hartanya untuk keperluan sendiri atau keluarga saja, akan tetapi harus diperuntukkan bagi keperluan umum. Dalam Islam, pada masa Rasulullah tidak dijelaskan tata cara dan pendaftarannya secara rinci. Akan tetapi yang dapat dipelajari dari tindakan Nabi ataupun sahabatnya atau hasilnya, kemudian dalam modus lain (bentuk) diwakafkan keseluruhannya yakni asalnya dan hasilnya, berpindah milik si wakif kepada maukuf alaih. Sedangkan perwakafan secara administratif ketika itu belum dikenal. Namun dalam urusam Mu’amalah, ada tuntutan al-Quran yang menganjurkan untuk menuliskan dan disaksikan dua orang saksi laki-laki. Ayat dalam makna umum itu, juga berarti Islam menghendaki masalah wakaf dengan tertulis atau memakai administrasi serta saksi karena maslah wakaf juga termasuk mu’amalah yang sudah diatur Allah SWT.[1]
Seterusnya memang Fikih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf secara rinci. Tetapi PP No. 28 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 mengatur petunjuk yang lebih lengkap. Menurut pasal 9 ayat (1)  PP No. 28 Tahun 1977, pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
Yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dalam hal ini adalah Kepala KUA kecamatan. Dalam hal suatu kecamatan tidak ada Kantor KUA-nya, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk Kepala KUA terdekat sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf di kecamatan tersebut. Hal ini ditentukan dalam pasal 5 ayat (1) dan (3) Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978. Sebelumnya, pasal 2 ayat (1) dan (2) memberi petunjuk bahwa ikrar wakaf dilakukan secara tertulis. Dalam hal wakif tidak dapat menghadap PPAIW, maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf.
Kemudian pasal 9 ayat (5) PP No. 28 Tahun 1977 menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar, pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta menyerahkan surat-surat berikut:[2]
a.       Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.
b.      Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa.
c.       Surat keterangan pendaftaran tanah.
d.      Izin dari Bupati/Walikotamadiya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 menjalaskan tentang tata cara perwakafan yaitu:
1.       Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
2.      Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
3.      Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
4.      Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a.  Tanda bukti pemilikan harta benda.
b. Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud.
c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan. [3]
Setelah ikrar wakaf dilaksanakan dan dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf langkah berikutnya dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 224 sebagai berikut:
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

Dalam pasal 10 PP No. 28 Tahun 1977 ditambahkan beberapa ayat sebagai berikut:
2. Bupati/Walikotamadya kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (1) mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikat.
3. Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat, maka pencatat yang dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
4. Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tata cara pencatatan perwakafan yang dimaksudkan dalam ayat (2) dan (3).
5. Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya seperti dimaksudkan dalam ayat (2) dan (3), maka nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
Dalam pendaftaran tersebut, PPAIW haruslah melampirkan sertifikat yang bersangkutan atau bila tidak ada boleh menggunakan surat-surat bukti kepemilikan tanah yang ada, salinan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat PPAIW dan surat pengesahan nazhir.
Jika nazhir terdiri dari kelompok orang, maka yang ditulis dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama orang-orang dari kelompok tersebut disertai kedudukannya di dalam kepengurusan. Bila kelak ada nazhir yang meninggal dunia, mengundurkan diri atau diganti, maka diadakan penyesuaian seperlunya, berdasarkan pengesahan susunan nazhir yang dilakukan PPAIW. Jika nazhir itu adalah badan hukum, maka yang ditulis dalam buku tanah dan sertifikatnya adalah nama badan hukum tersebut.
Dalam UU No. 41 tahun 2004 pasal 32 sampai 35 menjelaskan tentant pendaftaran dan penumuman benda wakaf, yaitu:
32. PPAIW atas nama Nazir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang      berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.
33. Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana yang dimaksud pasal 32, PPAIW    menyerahkan:
a. salinan akta ikrar wakaf
b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
34. instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.
35. bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana yang dimaksud pasal 34 disampaikan oleh PPAIW kepada Nazir.[4]


B. Tata Cara Formal Perwakafan di Indonesia
Menurut Dr. Abdul Ghofur Anshori, SH. MH.; secara penerapan, maka tata cara perwakafan adalah sebagai berikut:[5]
1. Perorangan atau badan hukum yang akan mewakafkan tanah miliknya (sebagai calon wakif) datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf. Bila calon wakif tidak dapat datang ke hadapan PPAIW karena suatu sebab, seperti sakit, sudah sangat tua dan lain-lain dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten letak tanah yang bersangkutan di hadapan dua orang saksi. Ikrar wakaf itu kemudian dibacakan pada nazhir di hadapan PPAIW.
2. Pada waktu menghadap PPAIW tersebut, wakif harus membawa surat-surat sebagai berikut:
a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya seperti surat IPEDA (girik, petok, ketitir dan sebagainya).
b. Surat Keterangan Kepada Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak termasuk sengketa.
c. Surat keterangan pendaftaran tanah.
d. Izin dari Bupati/Kotamadya Kepada Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria Setempat.
3. PPAIW kemudian meneliti surat-surat dan syarat-syarat tersebut, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nazhir.
4. Menurut Dr. Abdul Ghofur, wakif mengikrarkan kehendak wakif itu kepada nazir yang telah disahkan. Ikrar tersebut harus diucapkan dengan jelas dan tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Bagi wakif yang tidak dapat mengucapkan ikrarnya, karena bisu misalnya, ia dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar wakaf. Kemudian semua yang hadir menandatangani blanko ikrar wakaf. Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah ditentukan di dalam peraturan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78.
5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga dengan dibubuhi materai dan Salinan Akta Ikrar wakaf rangkap empat. Akta Ikrar Wakaf tersebut paling sedikit memuat: nama dan identitas wakif, nama dan identitas nadzhir, data dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf. Selanjutnya selambat-lambatnya satu bulan sejak dibuatnya akta, akta tersebut wajib disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Disamping membuat akta, PPAIW membukukan semua itu dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf dan menyimpannya dengan baik bersama aktanya.
















BAB III
KESIMPULAN
Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:
1. Kajian Pasal 223 Kompilasi Hukum Islam menghasilkan kesimpulan bahwa pada dasarnya selagi syarat dan rukun wakaf itu telah terpenuhi, maka secara fiqh wakaf itu sudah berlaku. Akan tetapi, dikarenakan melihat kenyataan zaman yang jelas sudah berubah, maka beberapa konsep pengesahan wakaf tersebut diatur beda dalam KHI demi menjaga maslahat yang lebih sesuai dengan ruh-ruh syariah Islam.
2. Dalam tata cara formal untuk melakukan wakaf memiliki lima (5) tahap yang harus dilakukan. 1) Waqif datang ke PPAIW untuk ikrar wakaf. 2) Ketika si waqif datang tersebut ia harus sudah melengkapi dokumen-dokumennya. 3) PPAIW harus meneliti semua dokumen dan juga saksi-saksi. 4) Waqif harus melakukan ikrar di depan 2 saksi dengan ikrar yang jelas. 5) PPAIW mengeluarkan Akta Ikrar Wakaf resmi.
3. Setelah diterbitkan Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.











DAFTAR PUSTAKA
Halim Abdul, Hukum Perwakafan Di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet ke-1.
Al-Alabij Adijani, Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet ke-5.
Rofiq Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet ke-6,
Www, Tata Cara Wakaf.com tgl 05-05-2013


[1]Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet ke-1, hlm. 104
[2] Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), Cet ke-5, hlm. 38
[3]Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafin3do Persada, 2003), cet ke-6, hlm. 506
[4]UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI, Penerbit: Citra Umbara, cet ke-5
[5]Www, Tata Cara Wakaf.com, tgl 05-05-2013

1 komentar: