BAB I
PENDAHULUAN
Rasa puja dan puja syukur kita tidak
akan habis-habisnya kita ucapkan kepada Allah Tuhan semesta alam, yang telah
selalu melimpahkan rahmad dan karunia-Nya kepada kita, Shalawat dan salam juga
buat junjungan kita Nabi Muhammada Saw.
Pada kesempatan kali ini kami
mencoba menulis sebuah makalah untuk memenuhi tugas di mata kuliah Filsafat
hukum islam tentang sumber dan dasar hukum Islam. Dari makalah yang kam tulis
ini akan disajikan mengenai berbagai macar sumber yang digunakan dalam
membentuk atau menetapakn hukum islam, sumberyang digunakan tersebut selain
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama dalam penetapan hukum, namun apabila
tidak ditemukan dalamkedua sumber tersebut, maka kita terpaksa menggunakan akal
kita dalam menetapkan hukum tersebut, yaitu dengan cara ijma’, qiyas, istihsan
dan dengan cara lainnya.
Dalam makalah kali ini kami telah
mencoba untuk menyajikan dengan sebaik mungkin, namun karena satu dan lain hal,
makalah ini tentu masih memilki kekurangan, untuk itu kami minta kritikan dan
saran dari pembaca agar kami bisa memperbaikinya untuk tugas-tugas selanjutnya.
BAB II
SUMBER DAN
DASAR HUKUM ISLAM
Hukum Islam sebagaimana
hukum-hukum yang lainnya mempunyai sumber hukum. Istilah sumber hukum
dalam Islam sama dengan Ushul al-Hukm (al adilah atau dalil-dalil
hukum). Yang dimaksud dengan dalil hukum adalah hukum syara yang amaliah
dari dalil. Dalil (sumber hukum) ini dapat ditinjau dari beberapa segi,
diantaranya dari segi asalnya.
Dalil (sumber hukum) dari segi
asalnya ini terdiri dari dua macam, yaitu :
1.
Dalil Naqli, yaitu dalil-dalil yang
berasal dari nash langsung, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
2.
Dalil aqli yaitu dalil-dalil yang bukan dari
nash langsung tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu ijtihad. Sebagai dalil dari ijtihad ini bisa kita lihat dari hadis
nabi kepada muaz, ketika muaz diutus nabi untuk menjadi khalifah di suatu
daerah[1], yaitu:
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw
ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan
permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi
berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum
dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah
Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam
ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi
Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai
Rasulullah Saw”. (HR. al-Thabrani, lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15, hal
96)
Dalil naqli
yang bersumber dari al-Qur’an ini merupakan dalil yang sudah jelas dan
kebenarannya tidak diragukan lagi, karena berasal dari dari Allah SWT dan
dijamin kemurnian atau keasliannya. Demikian pula dalil naqli yang berasal dari
al-Hadits, yang merupakan ucapan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah SAW yang
selamanya berada dalam bimbingan Allah SWT. Sedangkan dalil naqli yang
bersumber dari potensi insani dengan menggunakan akal pikirannya yang berupa
ijtihadi muncul apabila hukum tersebut tidak dapat ditemukan pada dalil naqli.
Oleh karenanya Allah dan Rasul-Nya memberikan kewenangan kepada potensi insani
yang berupa akal untuk menggali, sehingga mampu menemukan serta menetapkan
hukumnya. Namun tetap hal ini yang menjadi sandaran pokoknya adalah Al-Qur’an
dan al-Hadits.
Di samping
itu terdapat pula pendapat lainnya yang mengemukakan, bahwa sumber hukum Islam
berasal dari potensi-potensi sumber Illahi dan insani atau
dengan kata lain sumber naqliyah dan aqliyah. Penggabungan kedua sumber
ini melahirkan sumber ketiga, yakni kasyfiyyah, yaitu kebenaran yang
bersumber dari instuisi atau kebenaran intuitif. Sumber hukum naqliyyah
ada yang bersifat orsinal (ashliyyi) dan ada pula yang bersifat
tambahan (taba’iyy). Sumber hukum naqliyyah yang bersifat tambahan ini
adalah ijma. Oleh karena itu, sering kali para pakar hukum Islam menyatakan
bahwa sumber hukum Islam itu ada tiga, yaitu : Pertama al-Qur’an, kedua
al-Hadits dan ketiga Ijtihad.
Selanjutnya, kalau kita lihat berbagai literatur yang
membahas tentang sumber-sumber hukum, bahwa dalil (sumber hukum) yang
dipergunakan para ahli hukum, berturut-turut sebagai berikut :
1.
Al-Qur’an
2.
Al-Hadits,
3.
Ijma,
4.
Qiyas
5.
Al-Ihtihsan
Sedangkan
menurut Ashidieqi bahwa al-Qur’an, al-Hadits maupun Ijma yang dijadikan kaidah,
asas atau mabda atau aturan-aturan yang digunakan untuk
mengendalikan masyarakat Islam dinamakan Filsafat Hukum Islam. Hukum
Islam adakalanya dipetik dari sumber yang tegas lagi qath’i tsubut
dan dalalahnya, baik dari al-Qur’an ataupun Hadits Rasul, ataupun
dipetik dari yang bukan nash tetapi para mujtahidin telah berijma
menetapkan hukum. Di samping itu sumber hukum yang digunakan menurut
Ashiddieqi, ditambah syadz al-Dzari’ah..
Sumber-Sumber
Hukum Islam
A. Sumber Naqli
(Illahi) : Al-Qur’an
Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang
berbeda sekali dari bahasa yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan
sesuatu. Nama-nama itu mengandung makna
yang berbias dan memiliki akar kata[2]. Diantara beberapa nama itu yang
paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur’an.
Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu
dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan
ucapan (lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al Qur’an memberikan
pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat nama al
Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan didalam qira’ah
terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa
Arab yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara
secara ketat, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh
orang-orang yang hendak menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak
mengubahnya. Tidak seperti kitab-kitab suci lain dimana wahyu hanya terhimpun
dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja, tetapi penulisan wahyu
yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir (sumber-sumber yang tidak
diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu mencatatnya dengan jujur
dan cermat.
Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”,
yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti
mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf
serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur. Dikatakan Al
Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari
ilmu pengetahuan. Allah berfirman :
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).
Qur’anan dalam hal ini berarti juga qira’atahu
(bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif,
konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u” seperti “gufran” dan “syukran”.
Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa
qur’anan, artinya sama saja yakni maqru’ (apa yang dibaca)
atau nama Qur’an (bacaan).
Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad
s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagainama diri. Dan
secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu
juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat
Qur’an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.
“dan apabila dibacakan Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah
…(Al-A’raf [7]:204).
Secara terminologi al Qur’an menurut beberapa ulamaUshul fiqh, mendefenisikan al-Qur’an sebagai “Kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa Arab yang
dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, tertulis dalam mushaf , dimulai dari surat al fatihah dan ditutup
dengan surat an Nas.
Al-Qur’an
ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab
dengan perantara Malaikat Jibril, sebagai hujjah (argumentasi) bagi-Nya dalam
mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman hidup bagi manusia yang dapat
dipergunakan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta sebagai
media untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membacanya.
Hukum-hukum
yang terkandung di dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu :
a.
Hukum-hukum I’tiqadiyah, yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, Malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
b.
Hukum-hukum Khuluqiyah, yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan tingkah
laku yang berhubungan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi
dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat
tercela.
c.
Hukum-hukum Amaliah , yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan perkataan,
perbuatan, perjanjian atau mu’amalah (kerja sama) sesama manusia.
2.
Sumber Naqli (Illahi) : Al-Sunnah/Al-Hadits
As-Sunnah
menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) yang
berasal dari Rasulullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang
disadarkannya kepada Rasulullah saw, maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada 3
macam, Yakni:
1) Sunnah
qauliyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka
tujuan dan kejadian. Misalnya Sabda beliau yang artinya: Tidak ada
kemudharatan dan tidak pula memadharatkan. (Rw. Malik.) adalah suatu
sunnah-qauliyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak
membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Demikian juga sabda
beliau yang artinya: Ia suci airnya lagi halal bangkainya. adalah
sunnah qauliyah yang menjelaskan kesucian air laut serta halalnya ikan-ikan
yang mati di dalamnya walaupun tanpa disembelih.
2) Sunnah
fi’liyah ialah segala tindakan Rasulullah saw. Sebagai Rasul. Misalnya
tindakan beliau mengerjakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara,
syarat-syarat dan rukun-rukun melaksakan, menjalankan ibadah haji, memutuskan
perkara berdasarkan bukti atau saksi dan mengadakan penyumpahan terhadap
seorang pendakwa.
3)
Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat yang
telah disetujui oleh Rasulullah saw. Secara diam-diam atau tidak dibantahnya
atau disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perbuatan
yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh
beliau sendiri. Sebagai contoh misalnya periwayatan salah seorang sahabat yang
menceritakan bahwa: Ada dua orang sahabat bepergian. Kemudian setelah datang
waktu sembahyang mereka bertayamum, karena mereka tidak mendapatkan air.
Setelah mereka melanjutkan perjalanan kembali, ditengah jalan mereka
mendapatkan air, sedang waktu shalat masih ada. Lalu salah seorang dari mereka
berwudlu terus mengulang sembahyang kembali, sedang yang lain tidak berbuat
demikian. Ketika kedua orang tersebut melaporkan kepada Rasulullah saw. Apa
yang telah mereka lakukan, maka beliau membenarkan tindakan yang telah mereka
lakukan masing-masing. Beliau berkata kepada oaring yang tidak mengulang
sembahyangnya: “Perbuatanmu adalah sesuai dengan sunnah, karena itu shalat
yang sudah kamu kerjakan itu sudah cukup.” Kepada orang yang mengulang
shalatnya beliau berkata: “Kamu bakal memperoleh pahala dua kali.”
Kehujahan
As-Sunnah
Seluruh kaum muslimin telah bulat pendapatnya bahwa sabda, perbuatan dan taqrir
Rasulullah saw. Yang dimaksudkan sebagai undang-undang dan pedoman hidup ummat
yang harus diikuti dan yang sampai kepada kita dengan sanad (sandaran) yang
shahih, hingga memberikan keyakinan yang pasti atau dugaan yang kuat bahwa hal
itu datangnya dari Rasulullah, adalah sebagai hujjah bagi kaum muslimin dan
sebagai sumber syari’at tempat para mujtahid mengeluarka hukum-hukum syara’.
Hukum-hukum yang dipetik dari as-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum
yang diistimbatkan dari Al-Qur’an.
Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahakan kaum muslimin
agar mentaati Rasulullah saw. Dengan ungkapan yang berbeda-beda. Misalnya
firman Allah yang artinya: Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika
kamu berpaling, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.(ali Imran:
32)
Didalam
surat an-Nisa’: 80, Allah menjelaskan bahwa taat kepada Rasulullah saw. adalah
sama dengan taat kepada Allah, firman-Nya yang artinya : Barang siapa yang
mentaati Rasul, sungguh telah mentaati Allah…(an-Nisa’: 80)
Ayat-ayat di
atas menetapak bahwa setelah ketaatan kepada Allah kemudian dibarengi mentaati
Rasulullah Saw.[3] di tempat lain Allah mencela orang mu’min dan
mu’minah yang mengadakan pilihan menurut pendapatnya sendiri, padahal Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan ketentuannya. Ayat-ayat tersebut, biarpun dengan
ungkapan yang berbeda-beda, tetapi mafhumnya sama, adalah sebagai bukti bahwa
apa yang disyari’atkan oleh Rasulullah saw., juga syari’at Ilahi yang wajib
ditaati oleh seluruh kaum muslimin.
Nisbah
(Hubungan) as-Sunnah dengan Al-Qur’an
Nisbah (hubungan) as-Sunnah dengan Al-Qur’an ditinjau dari segi penggunaan
hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at adalah bahwa as-Sunnah itu sebagai
sumber hukum yang sederajat lebih rendah daripada Al-Qur’an. Artinya ialah
bahwa seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa tidak akan
mencari dalam as-Sunnah lebih dahulu, kecuali bila ia tidak mendapatkan
ketentuan hukumnya didalam Al-Qur’an. Hal itu disebabkan karena Al-Qur’an
menjadi dasar perundang-undangan dan sunber hukum yang pertama. Apabila ia
memperoleh ketentuan hokum yang dicarinya didalam Al-Qur’an, harus diikutinya
dan apabila tidak mendapatkannya, maka ia harus mencari didalam as-Sunnah dan
bila ia mendapatkannya dari as-Sunnah hendaklah diikutinya.
Adapun nisbah
as-Sunnah dengan Al-Qur’an dari segi materi hukum yang terkandung didalamnya
ada tiga macam. Yakni:
a. Menguatkan (muakkid)
hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an. Dengan
demikian hukum peristiwa tersebut ditetapkan oleh dua buah sumber. Yakni
Al-Qur’an sebagai sumber yang menetapkan hukumnya dan as-Sunnah sebagai sumber
yang menguatkannya. Misalnya shalat,dan zakat telah ditetapkan
hukumnya di dalam Al-Qur’an yang artinya: ..... Dan dirikanlah sembahyang
dan bayarlah zakat..... (an-Nisa’: 77)
Berpuasa telah
ditetapkan hukumnya oleh Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu
agar kamu bertaqwa. (al-Baqarah: 183) dan menunaikan haji telah
ditetapkan oleh Allah yang artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan
perjalanan kepadanya.(ali Imran: 97)
Kemudian perbuatan-perbuatan tersebut dikuatkan oleh
Rasulullah dalam sabda beliau ketika berwawancara dengan malaikat Jibril
(Tentang Rukun Islam)
b. Memberikan Keterangan (bayan)
ayat-ayat al-Qur’an.
1. Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal.
(seperti halnya perintah shalat dalam al-qur’an). Yang diterangkan oleh hadits
: Shallu kamaroaitumuni Usholli.
2. Membatasi
Kemutlakannya. (seperti dalam berwasiat, maka hadits memberikan batasan
sepertiga.
3. Mentakhsiskan keumumannya. (seperti keharamanan
bangkai, hadits mengecualikan bangkai ikan, belalang dll)
4. Membuat hukum baru yang tiada terdapat dalam
al-qur’an (seperti keharaman binatang buas dan bertaring)
1.
Sumber Naqli Taba’iy: Ijma’
Ijma menurut istilah ahli ushul ialah kesepakatan para
mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap
suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.
Sebagai
realisasi dari ta’rif tersebut adalah apabila terjadi suatu peristiwa
dimana hukumnya belum ada didalam al-qur’an atau hadits, dan peristiwa tersebut
memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah peristiwa itu dikemukakan
kepada para mujtahid, mereka lalu mengambil kesepakatan terhadap hukum
peristiwa tersebut.
Oleh karena
ijma itu adalah persesuaian pendapat para mujtahid, maka ijma itu
tidak akan terealisir sekiranya tidak memenuhi empat (4) macam rukun sebagai
berikut :
1.
Pada masa terjadinya perististiwa itu harus ada beberapa orang mujtahid. Sebab
istilah kesepakatan pendapat itu tidak akan berwujud sekiranya tidak ada
beberapa macam pendapat yang masing-masing pendapat itu bersesuaian
dengan pendapat yang lain. Jikakalau dalam masa terjadinya peristiwa itu
tidak ada seorang mujtahid sama sekali, atau tidak ada tetapi hanya seorang
saja, maka tidaklah terjadi suatu ijma yang dibenarkan syara. Oleh karena itu
pada waktu Rasulullah SAW masih hidup ijma itu tidak akan terjadi, karena
beliau sajalah satu-satunya mujtahid pada waktu itu.
2.
Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara yang telah mereka putuskan itu dengan
tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
3.
Kesepakatan itu hendaknya dilahirkan secara tegas terhadap peristiwa itu, baik
lewat perkataan maupun perbuatan.
4.
Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh
mujtahid.
Apabila
rukun-rukun ijma ijma tersebut telah terpenuhi, maka hukum hasil dari ijma itu
merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya
tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu tempat berijtihad
baru.
Kehujahan
Ijma
Sebagaimana
halnya Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaati Allah dan
Rasul-Nya, juga memerintahkan untuk mentaati para pemimpin mereka yang
berkuasa, sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Nisa : 59, yang artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan
orang-orang yang memegang kekuasaan antara kamu sekalian ..(Q.S An-Nisa :
59)
Demikian
pula banyak hadits-hadits yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari
bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan, sebagaimana sabdanya yang artinya :”Umatku
tidak sepakat untuk membuat kekeliruan” (HR. Ibnu Majah)
Oleh karena
itu ijma terhadap hukum syara harus dibina di atas sandaran syari’at. Sebab
setiap mujtahid muslim terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh
dilampauinya.
2. Sumber ‘Aqliy
(insaniy)
a. Qiyas
Qiyas menurut para ahli ushul fiqh adalah
mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum
suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya
dari kedua peristiwa itu.
Sesuai
dengan tarif di atas tersebut, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah
ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui menurut
suatu dari cara-cara mengetahui illat-illat hukum, kemudian didapatkan suatu
peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nash, tetapi
illat hukumnya adalah sama dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah
mempunyai nash tersebut, maka hukumnya peristiwa yang tidak ada nashnya ini
disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan
illat hukum pada kedua peristiwa itu.
Setiap qiyas
memiliki empat rukun, yaitu :
1.
Ashal (pokok), yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat
mengkiyaskan. Ashal itu juga disebut dengan maqis ‘alaih (yang dijadikan
tempat mengkiyaskan) atau mahmul alaih (tempat membandingkannya) atau musyabbah
bih (tempat menyerupakannya).
2.
Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa
itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya. Disebut juga
maqia (yang dikiyaskan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3.
Hukum Ashal, yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki
untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
4.
Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal, yang karena
sifat itu maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena
sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu
dengan hukum peristiwa yang ashal.
Oleh karena
itu, menurut Jumhur Ulama maka qiyas itu menjadi hujjah syar’iyah (sumber
hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia. Dan berada pada
tingkat keempat dari dalil-dalil syari’at.
b.
Istihsan
Istihsan
ialah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak
nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukm kulli untuk menjalankan
hukum istisna’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika
membenarkannya.
Maksudnya
adalah bila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang tidak ada nash yang
menetapkan hukumnya, sedang untuk mencari hukumnya terdapat dua jalan yang
berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dapat memberi ketetapan hukumnya dan
jalan yang lain samar-samar, lalu meninggalkan jalan yang nyata tersebut
untuk menempuh jalan yang samar-samar tadi.
Dengan
memperhatikan ta’rif di atas, maka istihsan ada dua macam yaitu:
a.
Mentarjih qiyas yang tidak nyta (samar-samar) atas qiyas yang nyata,
berdasarkan suatu dalil. Istihsan semacam ini dinamakan dengan
istihsan-qiyas atau qiyas khafi.
b.
Mengecualikan hukum juziyah dari hukum kulliyah dengan suatu dalil. Istihsan
semacam ini dinamakan istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kulli
tersebut adalah karena darurat atau karena suatu kepentingan yang
mengharuskan adanya penyimpangan untuk menghindari kesulitan.
Berdasarkan
uraian di atas jelas bahwa ihtihsan bukan sebagai sumber hukum yang berdiri
sendiri. Sebab dalil hukum istihsan macam pertama adalah qiyas khafi yang
mengalahkan qiyas jali, sedang dalil hukum istihsan macam kedua, adalah
kemaslahatan yang merupakan pengecualian hukum juz’i dari hukum
kulli.
Ditinjau
dari sanadnya, terdapat 4 macam istihsan, yaitu :
1.
Istihsan yang sanadnya qiyas, yang menjadi dasar di sini adalah kemudahan dan
menghilangkan kesempitan sesuai, dengan ayat al-Qur’an (Al-Baqarah : 185)
2.
Istihsan yang sanadnya ‘urf yang sahih, seperti halnya jual
beli anak kecil.
3.
Istihsan yang sanadnya nash, seperti larangan Rasulullah di dalam jual
beli yang barangnya ma’dum atau memandang sahnya puasa orang-orang
yang karena lupa makan dan minum.
4.
Istihsan yang sanadnya dharurat, seperti membersihkan sumur yang karena najis
dengan menuangkan air ke dalam sumur supaya bersih, maka sumur tersebut tidak
mungkin bersih karena airnya walaupun sedikit akan kena najis lagi. Berdasarkan
istihsan dengan telah dibersihkannya sumur tadi, maka dia tidak najis lagi
walaupun tidak sempurna karena tidak ada jalan lain untuk membersihakannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari tulisan yang kami tulis di atas dapat ditarik
suatu kesimpulan, bahda dalam membentuk hukum islam yang akan dijalankan
nantinya, kita bersumber kepada dua pusaka yan ditinggalkan oleh rasulullah Saw
yaitu al- Quran dan sunnah, namun tidak semua hukum bisa kita temukan dalam
al-Qur’an. Maka untuk melengkapi kebutuhan manusia terhadap hukum yang tidak
bisa di temukan dalam al-Qur’an tersebut, kita msih membutuhkan Akal kita,
yaitu berupa ijma’, qiyas dan istihsan.
DAFTAR
PUSTAKA
Asasriwarni, sejarah peradilan islam, (padang, IAIN
Prees:2008)
Beni
Ahmad Saebani, filsafat hukum islam, (Bandung,
pustaka setia: 2008)
Djajuli, HA dan I.Nurol Aen. Ushul Fiqh
(Metodologi Hukum IslaM, .2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar