Rabu, 09 April 2014

SUMBER DAN DASAR HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
Rasa puja dan puja syukur kita tidak akan habis-habisnya kita ucapkan kepada Allah Tuhan semesta alam, yang telah selalu melimpahkan rahmad dan karunia-Nya kepada kita, Shalawat dan salam juga buat junjungan kita Nabi Muhammada Saw.
Pada kesempatan kali ini kami mencoba menulis sebuah makalah untuk memenuhi tugas di mata kuliah Filsafat hukum islam tentang sumber dan dasar hukum Islam. Dari makalah yang kam tulis ini akan disajikan mengenai berbagai macar sumber yang digunakan dalam membentuk atau menetapakn hukum islam, sumberyang digunakan tersebut selain Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama dalam penetapan hukum, namun apabila tidak ditemukan dalamkedua sumber tersebut, maka kita terpaksa menggunakan akal kita dalam menetapkan hukum tersebut, yaitu dengan cara ijma’, qiyas, istihsan dan dengan cara lainnya.
Dalam makalah kali ini kami telah mencoba untuk menyajikan dengan sebaik mungkin, namun karena satu dan lain hal, makalah ini tentu masih memilki kekurangan, untuk itu kami minta kritikan dan saran dari pembaca agar kami bisa memperbaikinya untuk tugas-tugas selanjutnya.














BAB II
SUMBER DAN DASAR HUKUM ISLAM
Hukum Islam sebagaimana hukum-hukum yang lainnya mempunyai sumber hukum. Istilah sumber hukum dalam Islam sama dengan Ushul al-Hukm (al adilah atau dalil-dalil hukum). Yang dimaksud dengan  dalil hukum adalah hukum syara yang amaliah dari dalil. Dalil (sumber hukum) ini dapat ditinjau dari beberapa segi, diantaranya dari segi asalnya.
Dalil (sumber hukum) dari segi asalnya ini terdiri dari dua macam, yaitu :
1.      Dalil Naqli, yaitu dalil-dalil yang berasal  dari nash langsung, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
2.      Dalil aqli yaitu dalil-dalil yang bukan dari nash langsung tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu ijtihad. Sebagai dalil dari ijtihad ini bisa kita lihat dari hadis nabi kepada muaz, ketika muaz diutus nabi untuk menjadi khalifah di suatu daerah[1], yaitu:
 “Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”. (HR. al-Thabrani, lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15, hal 96)

Dalil naqli yang bersumber dari al-Qur’an ini merupakan dalil yang sudah jelas dan kebenarannya tidak diragukan lagi, karena berasal dari dari Allah SWT dan dijamin kemurnian atau keasliannya. Demikian pula dalil naqli yang berasal dari al-Hadits, yang merupakan ucapan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah SAW yang selamanya berada dalam bimbingan Allah SWT. Sedangkan dalil naqli yang bersumber dari potensi insani dengan menggunakan akal pikirannya yang berupa ijtihadi muncul apabila hukum tersebut tidak dapat ditemukan pada dalil naqli. Oleh karenanya Allah dan Rasul-Nya memberikan kewenangan kepada potensi insani yang berupa akal untuk menggali, sehingga mampu menemukan serta menetapkan hukumnya. Namun tetap hal ini yang menjadi sandaran pokoknya adalah Al-Qur’an dan al-Hadits.
Di samping itu terdapat pula pendapat lainnya yang mengemukakan, bahwa sumber hukum Islam berasal dari potensi-potensi  sumber Illahi dan insani atau dengan kata lain sumber naqliyah  dan aqliyah. Penggabungan kedua sumber ini melahirkan sumber ketiga, yakni kasyfiyyah, yaitu kebenaran yang bersumber dari instuisi atau kebenaran intuitif. Sumber hukum naqliyyah  ada yang bersifat  orsinal (ashliyyi) dan ada pula yang bersifat tambahan (taba’iyy). Sumber hukum naqliyyah yang bersifat tambahan ini adalah ijma. Oleh karena itu, sering kali para pakar hukum Islam menyatakan bahwa sumber hukum Islam itu ada tiga, yaitu : Pertama  al-Qur’an, kedua al-Hadits dan ketiga Ijtihad.
Selanjutnya, kalau kita lihat berbagai literatur yang membahas tentang sumber-sumber hukum, bahwa dalil (sumber hukum) yang dipergunakan para ahli hukum, berturut-turut sebagai berikut :
1.      Al-Qur’an
2.      Al-Hadits,
3.      Ijma,
4.      Qiyas
5.      Al-Ihtihsan
Sedangkan menurut Ashidieqi bahwa al-Qur’an, al-Hadits maupun Ijma yang dijadikan kaidah, asas atau mabda atau aturan-aturan yang digunakan untuk mengendalikan  masyarakat Islam dinamakan Filsafat Hukum Islam. Hukum Islam adakalanya dipetik  dari sumber yang tegas lagi qath’i tsubut  dan dalalahnya, baik dari al-Qur’an  ataupun Hadits Rasul, ataupun dipetik  dari yang bukan nash tetapi para mujtahidin  telah berijma menetapkan hukum. Di samping itu sumber hukum  yang digunakan menurut Ashiddieqi, ditambah syadz al-Dzari’ah..



 Sumber-Sumber Hukum Islam
A.    Sumber Naqli (Illahi) : Al-Qur’an
Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata[2]. Diantara beberapa nama itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur’an.
Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al Qur’an memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat nama al Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan didalam qira’ah terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitab-kitab suci lain dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir (sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu mencatatnya dengan jujur dan cermat.
Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur. Dikatakan Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).
Qur’anan dalam hal ini berarti juga qira’atahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u” seperti “gufran”  dan “syukran”. Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa qur’anan, artinya sama saja yakni  maqru’ (apa yang dibaca) atau nama Qur’an (bacaan).
Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagainama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.
“dan apabila dibacakan Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf [7]:204).
Secara terminologi al Qur’an menurut beberapa ulamaUshul fiqh, mendefenisikan al-Qur’an sebagai  “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf , dimulai dari surat al fatihah dan ditutup dengan surat an Nas.
Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab dengan perantara Malaikat Jibril, sebagai hujjah (argumentasi) bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta sebagai media untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membacanya.
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu :
a.       Hukum-hukum I’tiqadiyah, yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan  kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
b.      Hukum-hukum Khuluqiyah, yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban orang mukallaf  untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat tercela.
c.       Hukum-hukum Amaliah , yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian atau mu’amalah (kerja sama) sesama manusia.

2.      Sumber Naqli (Illahi) : Al-Sunnah/Al-Hadits
As-Sunnah menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang disadarkannya kepada Rasulullah saw, maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada 3 macam, Yakni:
1)  Sunnah qauliyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya Sabda beliau yang artinya: Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memadharatkan. (Rw. Malik.)  adalah suatu sunnah-qauliyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Demikian juga sabda beliau yang artinya: Ia suci airnya lagi halal bangkainya.  adalah sunnah qauliyah yang menjelaskan kesucian air laut serta halalnya ikan-ikan yang mati di dalamnya walaupun tanpa disembelih.
2)  Sunnah fi’liyah ialah segala tindakan Rasulullah saw. Sebagai Rasul. Misalnya tindakan beliau mengerjakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukun melaksakan, menjalankan ibadah haji, memutuskan perkara berdasarkan bukti atau saksi dan mengadakan penyumpahan terhadap seorang pendakwa. 
3)  Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat yang telah disetujui oleh Rasulullah saw. Secara diam-diam atau tidak dibantahnya atau disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri. Sebagai contoh misalnya periwayatan salah seorang sahabat yang menceritakan bahwa: Ada dua orang sahabat bepergian. Kemudian setelah datang waktu sembahyang mereka bertayamum, karena mereka tidak mendapatkan air. Setelah mereka melanjutkan perjalanan kembali, ditengah jalan mereka mendapatkan air, sedang waktu shalat masih ada. Lalu salah seorang dari mereka berwudlu terus mengulang sembahyang kembali, sedang yang lain tidak berbuat demikian. Ketika kedua orang tersebut melaporkan kepada Rasulullah saw. Apa yang telah mereka lakukan, maka beliau membenarkan tindakan yang telah mereka lakukan masing-masing. Beliau berkata kepada oaring yang tidak mengulang sembahyangnya: “Perbuatanmu adalah sesuai dengan sunnah, karena itu shalat yang sudah kamu kerjakan itu sudah cukup.” Kepada orang yang mengulang shalatnya beliau berkata: “Kamu bakal memperoleh pahala dua kali.”
Kehujahan As-Sunnah
            Seluruh kaum muslimin telah bulat pendapatnya bahwa sabda, perbuatan dan taqrir Rasulullah saw. Yang dimaksudkan sebagai undang-undang dan pedoman hidup ummat yang harus diikuti dan yang sampai kepada kita dengan sanad (sandaran) yang shahih, hingga memberikan keyakinan yang pasti atau dugaan yang kuat bahwa hal itu datangnya dari Rasulullah, adalah sebagai hujjah bagi kaum muslimin dan sebagai sumber syari’at tempat para mujtahid mengeluarka hukum-hukum syara’. Hukum-hukum yang dipetik dari as-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistimbatkan dari Al-Qur’an.
            Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahakan kaum muslimin agar mentaati Rasulullah saw. Dengan ungkapan yang berbeda-beda. Misalnya firman Allah yang artinya: Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.(ali Imran: 32)
Didalam surat an-Nisa’: 80, Allah menjelaskan bahwa taat kepada Rasulullah saw. adalah sama dengan taat kepada Allah, firman-Nya yang artinya : Barang siapa yang mentaati Rasul, sungguh telah mentaati Allah…(an-Nisa’: 80)
Ayat-ayat di atas menetapak bahwa setelah ketaatan kepada Allah kemudian dibarengi mentaati Rasulullah Saw.[3] di tempat lain Allah mencela orang mu’min dan mu’minah yang mengadakan pilihan menurut pendapatnya sendiri, padahal Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan ketentuannya. Ayat-ayat tersebut, biarpun dengan ungkapan yang berbeda-beda, tetapi mafhumnya sama, adalah sebagai bukti bahwa apa yang disyari’atkan oleh Rasulullah saw., juga syari’at Ilahi yang wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin.
Nisbah (Hubungan) as-Sunnah dengan Al-Qur’an
            Nisbah (hubungan) as-Sunnah dengan Al-Qur’an ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at adalah bahwa as-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah daripada Al-Qur’an. Artinya ialah bahwa seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa tidak akan mencari dalam as-Sunnah lebih dahulu, kecuali bila ia tidak mendapatkan ketentuan hukumnya didalam Al-Qur’an. Hal itu disebabkan karena Al-Qur’an menjadi dasar perundang-undangan dan sunber hukum yang pertama. Apabila ia memperoleh ketentuan hokum yang dicarinya didalam Al-Qur’an, harus diikutinya dan apabila tidak mendapatkannya, maka ia harus mencari didalam as-Sunnah dan bila ia mendapatkannya dari as-Sunnah hendaklah diikutinya.
Adapun nisbah as-Sunnah dengan Al-Qur’an dari segi materi hukum yang terkandung didalamnya ada tiga macam. Yakni:
a.       Menguatkan (muakkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian hukum peristiwa tersebut ditetapkan oleh dua buah sumber. Yakni Al-Qur’an sebagai sumber yang menetapkan hukumnya dan as-Sunnah sebagai sumber yang menguatkannya. Misalnya shalat,dan zakat telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an yang artinya: ..... Dan dirikanlah sembahyang dan bayarlah zakat.....     (an-Nisa’: 77)
Berpuasa telah ditetapkan hukumnya oleh Allah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.  (al-Baqarah: 183) dan menunaikan haji telah ditetapkan oleh Allah yang artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.(ali Imran: 97)
Kemudian perbuatan-perbuatan tersebut dikuatkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau ketika berwawancara dengan malaikat Jibril (Tentang Rukun Islam)
b.   Memberikan Keterangan (bayan) ayat-ayat al-Qur’an.
1. Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal. (seperti halnya perintah shalat dalam al-qur’an). Yang diterangkan oleh hadits : Shallu kamaroaitumuni Usholli.
2. Membatasi Kemutlakannya. (seperti dalam berwasiat, maka hadits memberikan batasan sepertiga.
3. Mentakhsiskan keumumannya. (seperti keharamanan bangkai, hadits mengecualikan bangkai ikan, belalang dll)
4. Membuat hukum baru yang tiada terdapat dalam al-qur’an (seperti keharaman binatang buas dan bertaring)
1.      Sumber Naqli Taba’iy: Ijma’
Ijma menurut istilah ahli ushul ialah kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.
Sebagai realisasi dari ta’rif tersebut adalah apabila  terjadi suatu peristiwa dimana hukumnya belum ada didalam al-qur’an atau hadits, dan peristiwa tersebut memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah peristiwa itu dikemukakan kepada para mujtahid, mereka lalu mengambil kesepakatan terhadap hukum peristiwa tersebut.
Oleh karena ijma itu adalah persesuaian  pendapat para mujtahid, maka  ijma itu tidak akan terealisir sekiranya tidak memenuhi empat (4) macam rukun sebagai berikut :
1.      Pada masa terjadinya perististiwa itu harus ada beberapa orang mujtahid. Sebab istilah kesepakatan pendapat itu tidak akan berwujud sekiranya tidak ada beberapa macam pendapat yang masing-masing pendapat itu bersesuaian  dengan pendapat yang lain. Jikakalau dalam masa terjadinya  peristiwa itu tidak ada seorang mujtahid sama sekali, atau tidak ada tetapi hanya seorang saja, maka tidaklah terjadi suatu ijma yang dibenarkan syara. Oleh karena itu pada waktu Rasulullah SAW masih hidup ijma itu tidak akan terjadi, karena beliau sajalah satu-satunya mujtahid pada waktu itu.
2.      Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara yang telah mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
3.      Kesepakatan itu hendaknya dilahirkan secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan.
4.      Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Apabila rukun-rukun ijma ijma tersebut telah terpenuhi, maka hukum hasil dari ijma itu merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu tempat berijtihad baru.
Kehujahan Ijma
Sebagaimana halnya Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, juga memerintahkan untuk mentaati para pemimpin mereka yang berkuasa, sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Nisa : 59, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan antara kamu sekalian ..(Q.S An-Nisa : 59)  
Demikian pula banyak hadits-hadits yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan, sebagaimana sabdanya yang artinya :”Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan” (HR. Ibnu Majah)
Oleh karena itu ijma terhadap hukum syara harus dibina di atas sandaran syari’at. Sebab setiap mujtahid muslim terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampauinya.


2.      Sumber ‘Aqliy (insaniy)
a.      Qiyas
Qiyas menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan  hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
Sesuai dengan tarif di atas tersebut, apabila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui  menurut suatu dari cara-cara mengetahui illat-illat hukum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan  oleh suatu nash, tetapi illat hukumnya adalah sama dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka hukumnya peristiwa yang tidak ada nashnya ini disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa itu.
Setiap qiyas memiliki empat rukun, yaitu :
1.      Ashal (pokok), yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengkiyaskan. Ashal itu juga  disebut dengan maqis ‘alaih (yang dijadikan tempat mengkiyaskan) atau mahmul alaih (tempat membandingkannya) atau musyabbah bih (tempat menyerupakannya).
2.       Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya. Disebut juga maqia (yang dikiyaskan) dan musyabbah (yang diserupakan).
3.      Hukum Ashal, yaitu hukum syara yang ditetapkan oleh suatu nash dan dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
4.      Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal, yang karena sifat itu  maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu  terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang ashal. 
Oleh karena itu, menurut Jumhur Ulama maka qiyas itu menjadi hujjah syar’iyah  (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia. Dan berada pada tingkat  keempat dari dalil-dalil syari’at.


b.      Istihsan
Istihsan ialah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan  qiyas yang tidak nyata  (samar-samar) atau meninggalkan hukm kulli untuk menjalankan  hukum istisna’i (pengecualian)  disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.
Maksudnya adalah bila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedang untuk mencari hukumnya terdapat dua jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dapat memberi ketetapan hukumnya dan jalan yang lain samar-samar, lalu meninggalkan jalan yang nyata  tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar tadi.
Dengan memperhatikan ta’rif di atas, maka istihsan ada dua macam yaitu:
a.       Mentarjih qiyas yang tidak nyta (samar-samar) atas qiyas yang nyata, berdasarkan suatu dalil. Istihsan semacam ini dinamakan  dengan istihsan-qiyas atau qiyas khafi.
b.      Mengecualikan hukum juziyah dari hukum kulliyah dengan suatu dalil. Istihsan semacam ini dinamakan istihsan darurat. Sebab penyimpangan dari hukum kulli tersebut adalah karena darurat  atau karena suatu kepentingan yang mengharuskan adanya penyimpangan  untuk menghindari kesulitan.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa ihtihsan bukan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Sebab dalil hukum istihsan macam pertama adalah qiyas khafi yang mengalahkan qiyas jali, sedang dalil hukum istihsan macam kedua, adalah kemaslahatan yang merupakan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli.  
Ditinjau dari sanadnya, terdapat 4 macam istihsan, yaitu :
1.      Istihsan yang sanadnya qiyas, yang menjadi dasar di sini adalah kemudahan dan menghilangkan kesempitan sesuai, dengan ayat al-Qur’an (Al-Baqarah : 185)
2.      Istihsan yang sanadnya ‘urf  yang sahih,  seperti halnya jual beli anak kecil.
3.      Istihsan yang sanadnya nash, seperti  larangan Rasulullah di dalam jual beli yang barangnya ma’dum  atau memandang sahnya puasa orang-orang yang karena lupa makan dan minum.
4.      Istihsan yang sanadnya dharurat, seperti membersihkan sumur yang karena najis dengan menuangkan air ke dalam sumur supaya bersih, maka sumur tersebut tidak mungkin bersih karena airnya walaupun sedikit akan kena najis lagi. Berdasarkan istihsan dengan telah dibersihkannya sumur tadi, maka dia tidak najis lagi walaupun tidak sempurna karena tidak ada jalan lain untuk membersihakannya.
















BAB III
KESIMPULAN
Dari tulisan yang kami tulis di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahda dalam membentuk hukum islam yang akan dijalankan nantinya, kita bersumber kepada dua pusaka yan ditinggalkan oleh rasulullah Saw yaitu al- Quran dan sunnah, namun tidak semua hukum bisa kita temukan dalam al-Qur’an. Maka untuk melengkapi kebutuhan manusia terhadap hukum yang tidak bisa di temukan dalam al-Qur’an tersebut, kita msih membutuhkan Akal kita, yaitu berupa ijma’, qiyas dan istihsan.





















DAFTAR PUSTAKA
Asasriwarni, sejarah peradilan islam, (padang, IAIN Prees:2008)
Beni Ahmad Saebani, filsafat hukum islam, (Bandung, pustaka setia: 2008)
Djajuli, HA dan  I.Nurol Aen. Ushul Fiqh (Metodologi  Hukum IslaM, .2000



[1] Asasriwarni, sejarah peradilan islam, (padang, IAIN Prees:2008), h. 3
[2] HA.Djajuli dan  I.Nurol Aen. Ushul Fiqh (Metodologi  Hukum Islam).2000 hal  114

[3] Beni Ahmad Saebani, filsafat hukum islam, (Bandung, pustaka setia: 2008), h.109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar