Rabu, 09 April 2014

TEORI TENTANG UANG


BAB I

PENDAHULUAN

Pada awalnya manusia memenuhi kebutuhannya sendiri yang dikenal dengan periode prabarter.  Namun dengan semakin bertambahnya keutuhan dan jumlah manusia,  maka terjadi pertukaran banrang yang disebut dengan barter.  Seiring dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal  yang tidak praktis jika seseorang harus menemukan orang yang  barang yang dibutuhkannya dan di waktu bersamaan membutuhkan barang dan jasa yang dimilikinya (double coincidence of wants). Dan  ini akan mempersulit muamalah antar manusia. Karenanya diperlukan suatu alat tukar yang dapat diterima oleh semua pihak. Alat tukar demikian disebut uang. Pertama kali, uang dikenal dalam peradaban Sumeria dan Babylonia.
Dalam penggunaan uang, bangsa Arab telah mengenal solidus, mata uang emas yang dipakai sejak zaman Romawi, dan dirham perak yang dipakai Bangsa Persia, sebelum Islam datang.  Setelah Islam datang, dan selama kehidupan Nabi Muhammad SAW, pemakaian solidus dan dirham tetap diteruskan.
Dalam Al Qur’an secara eksplisit disebutkan emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai mata uang, sebagai harta atau sebagai lambang kekayaan yang dimiliki. Disamping disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an, Dinar dan Dirham disebutkan banyak sekali  dalam Hadits Nabi Muhammad SAW.
1.      Dinar dengan  Dirham, tidak ada kelebihan di antara keduanya (jika  dipertukarkan); dan Dirham dengan Dinar dan tidak ada kelebihan di antara keduanya jika dipertukarkan.
2.      Dalam Hadits yang lain Nabi Muhammad menggunakan istilah wariq; “Uang logam perak yang jumlahnya di bawah lima auqiyah tidak ada kewajiban zakat atas nya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari kilasan di atas, maka dalam makalah kali ini kita akan membahas mengenai uang dalam pandangan ekonomi konvensional, permintaan uang dan uang dalam pandangan ekonomi islam.





BAB II

PEMBAHASAN

TEORI TENTANG UANG

A.    Pengertian Uang
Secara umum uang adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran utang, atau sebagai alat untuk melakukan pembel;ian barang dan jasa[1].
Dalam sistem perekonomian mana pun, fungsi utama uang adalah sebagai alat tukat (medium of exchange). Dari funmgsi utama uang tersebut, diturunkan fungsi-fungsi yang lain seperti uang sebagai pembakuan (standard of value), penyimpanan kekayaan (store of value), sdan sebagai  satuan penghitungan (unit of account)[2]. Namun dari dari berbagai fungsi uang yang dijelaskan tersebut, terjadi perbedaan antara pandangan ekonomi konvensional dan ekonomi Islam.

B.     Uang Dalam Ekonomi Konvensional
Menurut ekonomi konvensional uang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi hukum dan dari sisi fungsi. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang sebagai uang. Sementara secara fungsi, uang adalah segala sesuatu yang menjalankan fungsinya sebagai uang.[3]
Dalam sistem ekonomi konvensial uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah (legal tender) melainkan juga sebagai komoditas, sehingga uang juga dapat diperjual-belikan dengan kelebihan, lebih jauh dari cara pandang yang demikian, maka uang  juga dapat disewakan (liasing).[4]
Ketika uang diperlakukan sebagai komoditas oleh sistem ekonomi konvensional, berkembanglah apa yang disebut pasar uang. Terbentuknya pasar uang ini menghasilkan dinamika yang khas dalam perekomonian konvensional, terutama pada sektor moneternya.
Pasar uang ini kemudian bekembang dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan turunan dari pasar uang. Pasar derivatif ini menggunakan instrumen bunga sebagai harga dari produk-produknya. Transaksi dari pasar uang dan pasar derivatif ini tidak hanya berlandaskan motif transaksi yang riil sepenuhnya, bahkan sebagian besar darinya mengandung motif spekulasi. Maka tak heran jika perkembangan dipasar moneter konvensional begitu spektakuler.[5]

C.    Teori Permintaan Uang
  1. Teori Permintaan Uang dalam Ekonomi Konvensional
Teori permintaan uang dalam ekonomi konvensional dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu teori permintaan uang sebelum Keynes, teori permintaan uang menurut Keynes, dan  teori perminataan uang setelah Keynes
a.      Teori Permintaan Uang Sebelum Keynes
Dalam teori permintaan uang ini Irving Fisher mengasumsikan bahwa keberadaan uang pada hakikatnya adalah flow concept dimana keberadaan uang atau permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga akan tetapi besar kecilnya uang akan ditentukan oleh kecepatan perputaran uang tersebut.
Sedangkan menurut kaum Cambridge yang diwakili Marshall dan Pigou, uang adalah alat penyimpan kekayaan, dan bukan sebagai alat pembayaran. Menurut Cambridge permintaan uang tunai dipengaruhi oleh tingkat bunga, jumlah kekayaan yang dimiliki, harapan tingkat bunga dimasa yang akan datang, dan tingkat harga. Namun dalam jangka pendek faktor-faktor tersebut bersifat konstan atau berubah secara proporsional terhadap pendapatan.
b.      Teori Permintaan Uang Menurut Keynes
Terkait dengan tujuan-tujuan masyarakat untuk meminta (memegang) uang, maka dapat diklasifikasikan atas 3 motif utama, yaitu :
1.      Motif transaksi (transaction motive), motif ini timbul karena uang digunakan untuk melakukan pembayaran secara reguler terhadap transaksi yang dilakukan. Besarnya permintaan uang untuk tujuan transaksi ini ditentukan oleh besarnya tingkat pendapatan. artinya semakin besar tingkat pendapatan yang dihasilkan, maka jumlah uang diminta untuk transaksi juga mengalami peningkatan demikian sebaliknya.
2.      Motif berjaga-jaga (precautionary motive), selain untuk membiayai transaksi, maka uang diminta pula oleh masyarakat untuk keperluan di masa mendatang yang sifatnya berjaga-jaga. Besarnya permintaan uang untuk berjaga-jaga ditentukan oleh besarnya tingkat pendapatan pula. Semakin besar tingkat pendapatan permintaan uang untuk berjaga-jaga pun semakin besar.
3.      Motif spekulasi (speculation motive), pada suatu sistem ekonomi modern diman lembaga keuangan masyarakat sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat mendorong masyarakatnya untuk menggunakan uangnya bagi kegiatan spekulasi, yaitu disimpan atau digunakan untuk membeli surat-surat berharga, seperti obligasi pemerintah, saham, atau instrumen lainnya. Faktor yang mempengaruhi besarnya permintaan uang dengan motif ini adalah besarnya suku bunga, dividen surat-surat berharga, ataupun capital gain.
c.       Teori Permintaan Uang Setelah Keynes
Menurut Friedman jumlah uang yang diminta tergantung tingkat pendapatan nasional. Perbedaan friedman dan Keynes adalah Friedman menyatakan bahwa nilai k bukan sesuatu yang konstan. Nilai k dapat berubah-ubah tergantung perubahan tingkat bunga dan faktor lain yang dapat diramalkan, dan Friedman tidak menganggap bahwa pendapatan selalu terjadi pada tingkat full employment, tapi bisa saja terjadi pada tingkat di bawah full employment

  1. Teori Permintaan Uang dalam Ekonomi Islam
Fungsi Uang Dalam Ekonomi Islam:
·         Sarana penukar
·         Penyimpan Nilai
·         Bukan barang dagangan/komoditi
Teori Permintaan Uang Menurut Mazhab Iqtishoduna
·         Menurut mazhab ini, permintaan uang hanya ditujukan untuk transaksi dan berjaga-jaga atau untuk investasi.
·         Permintaan uang untuk transaksi merupakan fungsi dari  tingkat pendapatan yang dimiliki oleh seseorang (berhubungan positif)
Permintaan Uang menurut Mazhab Mainstream
·         Menurut Metwally permintaan uang dikategorikan untuk transaksi dan berjaga-jaga
·         Landasan filosofis dari teori dasar permintaan uang untuk berjaga-jaga, bahwa Islam mengarahkan sumber daya yang ada untuk alokasi secara maksimum dan efisien.Pelarangan penimbunan Uang atau Hoarding money merupakan kejahatan penggunaan uang yang harus diperangi.
·         Pengenaan pajak terhadap aset produktif yang menganggur merupakan strategi utama yang digunakan mazhab ini. 
Permintaan Uang menurut Mazhab Alternatif
·         Menurut Choudhury, (1997), permintaan uang adalah representasi dari keseluruhan kebutuhan transaksi dalam sektor riil. Semakin tinggi kapasitas dan volume sektor riil meningkat, maka permintaan uang akan meningkat


D.    Uang Dalam Ekonomi Islam
Berbeda dengan ekonomi konvensional, dalam islam apapun yang berfungsi dengan uang maka fungsinya hanyalahsebagai alat tukar atau medium of exchange. Ia bukan suatu komiditas yangbisa diperjual-belikan dengan dengan secara kelebihan. Uang hanya diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi.[6]
Sebelum diperkenalkan uang sebagai alat tukar, perdagangan dalam masyarakat dunia menggunakan sistem barter. Sebagaimana diketahui, barter dilakukan dengan cara menukarkan barang atau komoditas diantara pihak-pihak yang bertransaksi, namun transaksi dapat dilakukan jika si A, misalnya, memang membutuhkan barang yang ditawarkan si B, demikian pula dengan si B. Singkat kata, dalam ekonomi barter ini, transaksi hanya dapat terjadi bila kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, atau menurut Lipsey dan Courant (1996) harus terjadi double coincidence of wants.
Apabila dilihat dalam sejarah perekonomian Islam, mata uang sudah mulai dikenal di awal kekhalifahan. Hal itu bisa kita lihat ketika masa khalifah Umar dan Utsman r.a., mata uang telah dicetak dengan mengikuti gaya dirham Persia, dengan perubahan pada tulisan yang tercantum di mata uang tersebut. Meskipun pada masa awal pemerintahan khalifah Umar r.a pernah timbul ide untuk mencetak mata uang dari kulit, namun akhirnya dibatalkan karena tidak disetujui oleh para sahabat yang lain. Mata uang khilafah Islam yang mempunyai ciri khusus baru dicetak pada masa pemerintahan Ali r.a. meskipun peredarannya masih terbatas.
Mata uang dengan gaya Persia dicetak pula di zaman Muawiah dengan mencantumkan gambar gubernur dan pedang. Gubernur Irak pada masa pemerintahan Muawiah, yakni Ziad, juga mengeluarkan dirham dengan mencantumkan nama khalifah. Pencantuman gambar dan nama kepala pemerintahan pada uang, sampai sekarang masih dipertahankan, termasuk Amerika sekalipun.
Pada masa Abdul Malik (76 H) nilai tukar dinar-dirham relatif stabil pada jangka waktu yang panjang dengan kurs dinar-dirham 1:10. Pada masa itu perbandingan emas-perak adalah 1:7 sehingga satu dinar 20 karat setara dengan sepuluh dinar 14 karat. Reformasi mone ter pernah dilakukan oleh Abdul Malik, yaitu dirham diubah menjadi 15 karat, dan pada saat yang sama dinar dikurangi berat emasnya dari 4,55 menjadi 4,25 gram. Di zaman Ibnu Faqih (289 H), nilai dinar menguat menjadi 1:17, namun kemudian stabil pada kurs 1:15. Setelah reformasi moneter Abdul Malik, maka ukuran-ukuran nilai adalah seperti berikut : satu dinar 4,25 gram, satu dirham 3,98 gram, satu uqiyya 40 dirham, satu mitsqal 22 karat, satu ritl (liter) 12 uqiyya setara 90 mitsqal, satu qist 8 ritl setara dengan setengah sa', satu qafiz 6 sa' setara seperempat artaba, satu wasq 60 sa', satu jarib 4 qafiz.
Sekian ratus tahun kemudian, cukup mengejutkan memang, kurs 1:15 ini juga berlaku di Amerika pada 1792-1834 M. Berbeda dengan langkah yang diambil Abdul Malik dengan reformasi moneternya, Amerika tetap mempertahankan kurs ini walaupun di negara-negara Eropa nilai mata uang emas menguat pada kisaran kurs 1:15,5 sampai 1:16,6. Walhasil, mata uang emas mengalir keluar dan mata uang yang lama mengalir masuk ke Amerika.[7]















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah kita melihat dari paparan di atas, maka kita bisa membedakan padangan ekonomi konvensional dengan pandangan ekonomi islam tentang uang. Kalau dalam ekonomi konvensional uang itu tidak hanya sebagai alat tugas, namun juga berfungsi sebagai komoditas yang bisa diperjual belikan. Namun dalam ekonomi islam, uang itu hanya sebatas sebagai alat tukar, sehingga uang tidak boleh diperjual belikan.
Dalam perkembangan perekonomian, termasuk di dunia ekonomi Islam bentuk dan bahan dasar pembuatan uang telah terjadi perkembangan, yang pada awalnya terbuat dari emas dan perak berkembang menjadi uang kertas.





















DAFTAR PUSTAKA
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Bank Lainnya, Jakarta- PT Raja Grafindo Persada, 2002
Mujahidin ,Akhmad, Ekonomi Islam, Jakarta- PT Raja Grafindo Persada, 2007
Nasiotion ,Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta- Kencana, 2006



[1] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Bank Lainnya, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet.1, H.13
[2] Mustafa Edwin Nasiotion, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta, Kencana, 2006), H. 248
[3] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007), H.45
[4] Mustafa Edwin Nasiotion, Op-cit
[5] Ibid, H. 249
[6] Ibid, 249
[7] Ibid, H. 248

PRASANGKA SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan bermasyarakat tentu tidak dapat dipisahka dari interaksi social yaitu ; suatu hubungan timbale balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kellompok. Dalam hubungan tersebut tekadang terdapat kekurangpahaman antarasatu sama lain baik dari individu maupun kelompok. Sehingga muncul persepsi masing-masing yang ahirnya akan menimbulkan prasangka masing-masing.
 Berbagai teori-teori tentang prasangka telah dikemukakan oleh para ahli. Adanya prasangka antara satu sama lain pihak Sangatlah menghawatirkan, karena prasangka cenderung mengarah pada tindakan yang negatif seperti tindakan-tidakan diskriminasi  yang dilakukan oleh pihak yang  berprasangka kepada pihak yang diprasangkai tersebut. Adanya prasangka akan cenderung membawa dampak negative terhadap perkembangan kehidupan dalam masyarakat, untuk itu sangat dibutuhkan cara-cara yang efektif agar prasangka dapat diatasi. Sehingga perkembangan kemajuan dalam segenap lapisan dalam masyarakat tidak terhambat  adanya prasangka-prasangka yang ada.
 Karena pentingnya pemahaman tentang prasangka, maka dalam makalah ini penulis berusaha menyajikan  materi-materi penting tentang prasangka yang telah kami rangkum sebagai berikut.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian prasangka
Prasangka merupakan evaluasi kelompok atau seseorang yang mendasarkan diri pada keanggotaan dimana seorang tersebut menjadi anggotanya, prasangka merupakan evaluasi negative terhadap  outgroup.[1]Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan , ras, atau kebudayaan yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial yang terdiri dari attitude-attitude  social yang negative terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi.
Awal mulanya prasangka hanya berupa sikap-sikap perasaan negative tetapi lambat laun akan dinyatakan dalam bentuk tindakan yang diskriminatif terhadap orang yang diprasangkai itu tanpa alasan yang objektif pada orang yang dikenai tindakan-tindakan yang diskriminatif.[2]
Contohnya seperti di Amerika Serikat, di sana terdapat prasangka social terhadap golongan Negro atau golongan kulit hitam terutama di Amerika bagian selatan[3]. Dari prasangka social tersebut keduanya sama-sama melahirkan tindakan-tindakan diskriminatif terhadap masing-masing pihak yang diprasangkai. Bahwasanya tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka social akan merugikan masyarakat  Negara itu sendiri, Sebab perkembangan  potensi-potensi manusia masyarakat tersebut akan sangat diperhambat.

B.     Sebab-Sebab Timbulnya Prasangka
Ada beberapa faktor  yang menyebabkan prasangka:
1.      Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam
Dalam berusaha , seseorang mengalami kegagalan atau kelemahan, dan penyebab dari kegagalan itu tidak dicari pada dirinya sendiri tetapi pada orang lain. Orang lain inilah yang dijadikan kambing hitam sebagai sebab kegagalannya[4].
2.      Orang berprasangka, karena memang ia sudah dipersiapkan didalam lingkungannya atau kelompoknya untuk berprasangka. Misalkan: seorang anak Amerika (kulit putih) dilahirkan didalam keluarga kulit putih. Didalam keluarga itu sudah dianut atau ditegakkan suatu norma tertentu yaitu bahwa orang Negro itu pemalas, bodoh, tidak tau kesusilaan dan kotor.
Anggapan  semacam ini sudah tertanam pada diri anak sejak kecil, sehingga anak akan mengikuti pula anggapan semacam ini. Berdasarkan ini maka tidak mustahil bila terjadi seorang anak kulit putih telah berprasangka terhadap orang Negro, meskipun anak tersebut belum pernah bergaul dengan orang Negro. Hal semacam itu tentu saja merugikan perkembangan anak
3.      Prasangka timbul karena adanya perbedaan, perbedaan disini bisa meliputi :
a. perbedaan fisik
b. Perbedaan lingkungan
c. Perbedaan kekayaan
d. Perbedaan status sosial
e. Perbedaan kepercayaan
Dan masih banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya.
4.      Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Misalnya: bangsa yang dijajah dengan bangsa penjajah. Kesan dari bangsa yang dijajah adalah bahwa penjajah itu kejam, mengharuskan kerja paksa, merampas kebebasan dan sebagainya. Dengan kesan atau pengalaman semacam  ini terjajah akan berprasangka terhadap penjajah.
5.      Prasangka timbul karena adanya anggapan yang sudah menjadi pendapat umum atau kebiasaan didalam lingkungan tertentu. Misalnya, orang slalu berprasangka terhadap status ibu tiri atau anak tiri.
C.    Teori-teori tentang prasangka
1. Teori belajar sosial
Teori belajar sosial merupakan salah satu teori dalam belajar, teori ini dikemukakan oleh bandura yang berpendapat bahwa belajar itu terjadi melalui model atau contoh. Prasangka seperti halnya sikap, merupakan hal yang terbentuk melalui proses belajar.[5]
Attitude-attitude yang dimiliki manusia tidaklah dibawa sejak ia dilahirkan. Tetapi bermacam attitude itu dipelajari dan terbentuk pada manusia selama perkembangannya. Awalnya anak-anak kecil tidak mempunyai attude-attitude, kemudian mereka memperoehnya untuk yang pertama melalui primary group yaitu orang tua dan keluarganya. Demikian pula dengan prasangka social, Prasangka social juga tidak dibawa manusia sejak manusia dilahirkan. Prasangka social juga terbentuk selama perkembangan manusia, baik dari didikan atau pun dengan cara identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka.[6]
Teori ini juga mengemukakan bahwa anak mempelajari sikap negatif terhadap suatu kelompok kelompok sosial tertentu sering kali karena mereka dikenalkan dengan pandangan-pandangan semacam itu oleh lingkungannya. Orang  tua, guru, saudara dan media masa sangat berpengaruh bagi perkembangan proses belajar sosial seorang anak dalam pembentukan prasangka.[7]
Teori belajar social memandang  prasangka sebagai sesuatu yang dipelajari dengan cara yang  sama, seperti bila orang mempelajari  nilai-nilai social yang lain; prasangka disebarluaskan dari orang yang satu ke orang yang lain  sebagai bagian dari sejumlah norma.  Prasangka merupakan norma dalam budaya atau sub budaya seseorang. Prasangka diperoleh seorang anak melalui sosialisasi. Anak mempelajari sikap berprasangka untuk dapat diterima oleh orang lain. Terakhir,  penyebar luasan dan pengungkapan prasangka  yang terus-menerus akan memperkuat peranannya sebagai norma budaya ( Ashmore & Delboca, 1980)[8]
2.      Teori Motivasional
Teori ini memandang prasangka sebagai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan individu atau elompok untuk mencapai kesejahteraan (satisfy). Teori ini mencakup beberapa teori yaitu;
a.       Pendekatan psikodinamika
Teori ini menganalisis prasangka sebagai suatu usaha untuk mengatasi tekanan motivasi  yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Jadi teori ini menekankan pada dinamika dari pribadi individu yang bersangkutan (specific individual personality).[9]
b.      Konflik Kelompok Realitas (Realistic group conflict)
Konflik kelompok realitas. Teoeri ini menyatakan bahwa dua kelompok bersaing merebutkan kelompok yang langka, mereka akan saling mengancam, dan akhirnya menimbulkan permusuhan diantara mereka sehingga menciptakan nilai negative yang bersifat timbal balik.[10]
Konflik antar kelompok akan terjadi apabila kelompok-kelompok tersebut dalam keadaan berkompetisi. Ini menyebabkan  adanya permusuhan antara kedua kelompok tersebut yang kemudian bermuara pada adanya saling berprasangka satu dengan yang lain, saling memberikan evalauasi yang negatif. Dengan demikian, prasangka tidak dapat dihindarkan sebagai akibat adanya konflik yang nyata antara kelompok yang satu dengan yang lain.[11]
c.       Kekurangan Relatif (relative deprivation)
 Teori ini berkaitan dengan ketidakpuasan yang tidak hanya timbul dari kekurangan objektif , tetapi juga dari perasaan kurang secara subjektif yang relative lebih besar dibandingkan orang lain atau kelompok lain.[12]
Dalam konflik kelompok yang nyata, prasangka timbul sebagai respons terhadap frustasi yang riil dalam kehidupan antara kelompok satu dengan yang lain. Tetapi kadang-kadang orang mempersepsi diri sendiri atau mereka mengalami kerugian secara relatif terhadap pihak lain, walaupun dalam kenyataanya tidak demikian. Persepsi ini dapat membawa permusuhan antara kelompok yang satu dengan yang lain, dan sebagai akibatnya yaitu dapat menimbulkan prasangka. 



D.    Usaha mengurangi prasangka sosial
Usah-usaha mengurangi prasangka sosial antara golongan itu kiranya jelas harus di mulai pada didikan anak-anak di rumah dan di sekolah oleh orang tua dan gurunya.[13] jelasnya bahwa orasangka sosial itu sebenarnya adalah karena salah sangka, miss informasi, miss interprestasi. Oleh karena itu usah untuk mengurangi atau menghilangkan prasangka tetap di jalankan , di kembangkan dan di usahakan perbaikannya. Usaha mengurangi prasangka ini di bedakan atas atas dua usaha .
1.      Usaha preventif: ini berupa usaha jangan sampai orang atau kelompok terkena prasangaka. Menciptakan situasi atau susasana yang tentram, damai, jauh dari rasa permusahan. Melainkan dalam arti lapang dada dalam bergaul dengan sessama manusia meskipun ada perbedaan, perbedaan bukan berarti pertentangan , memperpendek jarak sosial sehingga tidak sempat timbul prasangka. Usaha ini sebaiknya harus di lakukan oleh orang tua pada anak, guru terhadap anak didiknya, masyarkat, media dan sebagainya.
2.      Usaha curatif. Usaha ini menyembuhkan orang yang sudah terkena prasangka, usaha disini berupa usaha menyadarkan. Prasangka adalah hal yang selalu merugikan tidak ada hal yang bersifat positif bagi kehidupan bersama , justru adanya prasangka itu pihak luar/pihak ketiga melahan dapat menarik kuntungan dengan jalan memperalat atau menimbulkan suasana panas dan kacau dari golongan yang diprasangkai demi keuntungan pihak ketiga.

E.     Prasangka, Propaganda, Desas-desus dan Stereotip.
Prasangka
PrasangkaBerasal dari kata pra = sebelum; sangka = dugaan, pendapat yang didasarkan atas perasaan hati, syak, kesangsian, keraguan.
Prasangka : anggapan dan pendapat yang kurang menyenangkan atau penilaian negatif yang tidak rasional, yang ditujukan pada individu atau suatu kelompok tertentu (yang menjadi objek prasangka), sebelum mengetahui, menyaksikan, menyelidiki objek-objek prasangka tersebut.
Prasangka juga dapat dikatakan sebagai attitude-attitude sosial negatif, yang ditujukan pada individu atau golongan lain dan hal ini mempengaruhi tingkah laku golongan individu yang berprasangka tersebut.
Prasangka mulanya hanya merupakan sikap-sikap negatif, tapi lama kelamaan akan memunculkan tindakan-tindakan yang menghambat, merugikan bahkan mengancam kehidupan pribadi golongan tertentu’
Propaganda
Propaganda adalah alat meyakinkan seseorang terhadap suatu pandangan/citacita seseorang. Bermacam-macam propaganda antara lain:
  • Progresif, yaitu mengganti ideologi lama dengan ideologi baru.
  • Reaksioner, yaitu mencegah perkembangan sosial dan timbulnya ideologi baru.
  • Konservatif, yaitu memepertahankan ideologi.
Desas-desus
            Desas –desus adalah suatu gejala sosial psikologis yang menarik perhatian bagi ahli psikologi, karena : 1. desas – desus itu terjadi dimana saja, didalam tiap – tiap masyarakat 2. desas – desus mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, dan orang dalam masyarakat.
jadi, desas – desus adalah pemberitahuan lisan/tulisan dari orang perorang pada orang lain. Macam-macamnya bisa desas-desus yang merembes, berkoar, dan bertahan.
Stereotip
Stereotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu seseorang terhadap individu/kelompok yang diprasangkai.
Menurut Johnson & Johnson stereotipe  dilestarikan dan  di kukuhkan  dalam empat  cara,:
1. Stereotipe mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tin-dakan orang-orang dari kelompok lain.
2. Stereotipe membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. Individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
3. Stereotipe dapat menimbulkan pengkambing hitaman.





BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan materi di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa prasangka mrupakan hasil evaluasi seseorang atau keompok terhadap seseorang atau kelompok. Adanya prasangka social lebih berdampak kearah negatif seperti tindakan-tindakan diskriminasi y ang jelas-jelas merugikan salah satu pihak. Ada beberapa teori tentang prasangka yang telah dikemukakan, diantaranya yaitu;
1.       Teori belajar social
2.       Teori Motivasional atau Decision Making Theory
3.       Teori Kognitif
Untuk megatasi adanya prasangka maka usaha yang bias digunakan ada dua cara sehingga prasangka bias  berkurang bahkan menghilangkan prasangka sosial, caranya yaitu; Dengan cara mengadakan direct intergroup contact dan mengadakan cooperative interdependence
Adapun ciri-ciri pribadi berprasangka atau mempertahankan prasangka dalam dirinya, di antaranya yaitu; tidak toeransi, kurang mengenal aka dirinnya sendiri, kurang berdaya cipta, merasa tidak aman, memupuk khayalan-khayalan yang agresif[14][14]

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami susun. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sekalian. Kami sadar bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam makalah kami, baik dari penulisan maupun materi yang kami sampaikan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian sangat kami harapkan guna perbaikan makalah kami selanjutnya. 




DAFTAR PUSTAKA
Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta, Cv. Andi Ofset, 2003)
W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung, Refika Aditama, 2002)
 Abu Ahmadi dkk, Psikologi Sosial, {jakarta, Rineka Cipta, 2002)
Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial suatu pengantar, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010)

David O. Sears. Dkk, Psikologi Sosial, (Jakarta, Erlangga, 1994)



[1] Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta, Cv. Andi Ofset, 2003), Hal. 95
[2]W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung, Refika Aditama, 2002), Hal. 166
[3]Abu Ahmadi dkk, Psikologi Sosial, {jakarta, Rineka Cipta, 2002), hal. 209
[4]Ibid
[5]Bimo Walgito,Op. Cit, Hal. 96
                [6]DR. W.A. Gerungan, Op. Cit, Hal. 173
[7]Fattah Hanurawan, Psikologi Sosial suatu pengantar, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010), Hal.76
[8]David O. Sears. Dkk, Psikologi Sosial, (Jakarta, Erlangga, 1994), Hal. 158
[9][7]Bimo Walgito, Op. Cit, Hal. 98 
[10][8] David. O. Sears, Op, Cit. Hal. 155
[11][9] Bimo walgito, Op. Cit, Hal.
[12][10] David. O. Sears, Op. Cit, Hal. 156
[13]Abu Ahmadi dkk, Op-cit, hal. 215
[14]W.A. Gerungan, Op. Cit, Hal. 176