Rabu, 09 April 2014

tarbiyah islamiyah


BAGIAN I
AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH (ASWAJA)
A.    Kemunculannya
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah yaitu generasi Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu[1]  berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

Artinya : Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu." [Ali Imran: 106]
Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah ahlu bid’ah dan sesat.”
Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah di antaranya[2]:
1.      Ayyub as-Sikhtiyani Rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata, “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”
2.      Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghuraba’(orang yang terasing). Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
3.      Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah [4] (wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”
4.      Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallaam Rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Imaan: “...Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, ber-tambah dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah  (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab Ahlul ‘Ilmi, Ash-habul Atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul j dan para Shahabatnya, dari semenjak zaman para Shahabat Radhiyallahu Ajmai'in hingga pada masa sekarang ini...”
5.       Imam Ibnu Jarir ath-Thabary Rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum mukminin akan melihat Allah pada hari kiamat, maka itu merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa ahli Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
6.       Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawy Rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang masyhur (‘Aqidah Thahawiyah): “...Ini adalah penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal umat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak untuk melawan Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlu Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Barbahary, Imam ath-Thahawy serta yang lainnya.
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Ahli Hadits ini mulai populer ketika telah tejadi perpecahan, munculnya berbagai golongan, serta banyaknya bid’ah dan berbagai golongan, serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahli Sunnah menampakkan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik dalam aqidah maupun manhaj mereka. Namun pada hakikatnya, mereka itu hanya merupakan proses kelanjutan dari apa yang di jalankan Rasulullah  SAW. dan para shahabatnya.
Cobaan itu muncul pada permulaan abad ketiga masa pemerintahan al-Ma’mun dan (saudaranya) al-Mu’tashim, kemudian al-Watsiq pada saat kaum Jahmiyah menafikkan sifat-sifat Allah dan menyerukan menusia agar mengikuti paham mereka. madzab ini dianut oleh tokoh-tokoh Rafidlah (periode terakhir) yang mendapat dukungan pihak penguasa.
Terhadap penyimpangan tersebut, Madzab Ahli Sunnah tentu menolak. oleh karena itu, mereka sering mendapat ancaman ataupun siksaan. Adapula yang di bunuh, ditakut-takuti, ataupun dibujuk rayu. Namun dalam menghadapi situasi yang seperti ini, Imam Ahmad tetap tabah dan tegar sehingga mereka memenjarakan beliau sekian beberapa waktu lamanya. kemudian mereka menantang mereka untuk berdebat. dan terjadilah berdebatan yang amat panjang.
Dalam perdebatan tersebut, demikian menurut Imam Ahmad, dibahas masalah-masalah mengenai sifat-sifat Allah dan yang berkaitan dengannya, mengenai nash-nash, dalil-dalil, antara pihak yang membenarkan dan menolak. dengan adanya perbedaan pandangan itu akhirnya ummat terpecah belah menjadi berkelompok-kelompok.
Pada dasarnya ahlus sunnah wal jamaah di bidang tauhid (Asy’ari dan Maturidi) adalah madzhab yang memiliki beberapa pandangan atau keyakinan mengenai sifat-sifat Allah, Qodimnya Al-quran dan beberapa hal lainnya yang bertentangan dengan madzhab lainnya, terutama dengan madzhab mu’tazilah, keyakinan mereka tersebut antara lain[3]:
a)     Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Menurut ulama tauhid ASWAJA tuhan memiliki sifat sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, bahwa Allah mengetahui dengan sifat ‘ilm-Nya, berkuasa dengan sifat Qudrat-Nya, Hidup dengan sifat Hayat-Nya, Mendengar dengan sifat Sama’-Nya , melihat dengan sifat Bashar-Nya dan seterusnya.
b)     Perbuatan manusia
Menurut ulama ASWAJA perbuatan manusia itu diciptakan oleh tuhan bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Gambaran tentang hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan tuhan dikemukakan dalam teorinya al-kasb (perolehan). Yang dimaksud dengan al-kasb adalah berbarengan antara kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Namun, karena alkasb juga adalah ciptaan Tuhan, maka arti keaktifan itu menjadi hilang. Manusiapun bersifat fasif dalam perbuatannya.
Dasar yang sigunakan oleh al-Asy’ari untuk mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan Tuhan adalah ayat 96 surat al-Shaffat:
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

c)     Keadilan Tuhan
Al-Asy’ari menolak paham Mu’tazilah mengenai keadilan Tuhan. Menurut al-Asy’ari, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang baik ke Surga dan memasukkan orang jahat ke Neraka, semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan yang berkuasa dan segala-galanya adalah milik.Nya. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surge bukan berarti Tuhan tidak adil. Sebaliknya, jika Tuhan memasukan seluruh manusia ke dalam  neraka bukan berarti Tuhan itu Zalim. Tuhan adalah penguasa mutlakdan tidak ada yang lebih kuasa, bahkan sebanding dengan-Nya.
d)     Qadimnya al-Quran
Menurut ulama ASWAJA al-Quran itu adalah Qadim, bukan makhluk. Hal ini didasarkan pada ayat :
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ  
Artinya: Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia. (an-Nahl: 40)

e)     Melihat Tuhan
Ulama  ASWAJA berpendapat  bahwa Tuhan dapat di lihat oleh hambanya di Akhirat nanti, dasarnya antar lain adalah :
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
kepada Tuhannyalah mereka melihat. (al-Qiyamah:22-23)

Imam Ahmad dan Imam-imam lainnya dari Ahli Sunnah serta Ahli Hadits sangat mengetahui kerusakan Madzhab Rafidlah, Khawarij, Qodariyah, Jahmiyah, Mu’tazilah dan Murji’ah. Namun karena adanya cobaan, maka timbullah perdebatan. Dan Allah mengangkat kedudukan Imam (Ahmad) ini menjadi Imam Sunnah sekaligus sebagai tokohnya. Predikat itu memang layak di sandangnya karena beliau sangat gigih dalam menyebarkan, menyatakan, mengkaji nash-nash dan atsar-atsarnya, serta menjelaskan segala rahasianya. Beliau tidak mengeluarkan statement-statemen baru, apalagi pandangan bid’ah.
Kegigihan beliau dalam memeperjuangkan Ahli Sunnah tidak dapat diragukan lagi, sampai-sampai sebagai ulama di Maghrib mengatakan, ‘Madzab itu milik Malik dan Syafi’i, sedangkan kepopulerannya milik Ahmad. Maksudnya, madzab para Imam Ushul itu merupakan satu madzab seperti apa yang dikatakannya’.
Imam Malik rahimahullah, ketika ditanya tentang ahul sunnah, beliau menjawab dengan mengatakan: “Ahlus sunnah adalah orang-orang yang tidak memiliki laqab (gelar tertentu) yang mereka dikenal dengannya. Mereka bukanlah Jahmiyyun (pengikut pemahaman Jahmiyah), bukan Qadariyyun (pengikut pemahaman Qadariyyah) dan bukan pula Rafidiyyun (pengikut pemahaman Syi’ahRafidhah).”
Dari sini kita sepakat, seperti apa yang telah dikatakan Dr. Mustafa Holmy: “Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah pelanjut pemahaman kaum muslimin pertama yang ditinggalkan oleh Rasulullah  dalam keadaan beliau ridha terhadap mereka, sedangkan kita tidak bisa membuat batasan permulaan (munculnya mereka) yang kita bisa berhenti padanya, sebagaimana yang dapat kita lakukan pada kelompok-kelompok yang lain. Tidak ada tempat bagi kita untuk menanyakan tentang sejarah munculnya ahlus sunnah, seperti halnya jika kita bertanya tentang sejarah munculnya kelompok-kelompok yang lain.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitabnya Minhaju As-Sunnah: “Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah madzhab yang terdahulu dan telah terkenal sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad. Ia adalah madzhab para shahabat yang diterima dari Nabi mereka. Barangsiapa yang menyelisihi (madzhab) tersebut, maka dia adalah Ahlul Bid’ah menurut (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa Ahli Sunnah Wal jama’ah merupakan kelanjutan dari jalan hidup Rasulullah dan para sahabatnya. Kalaupun bangkit seorang Imam pada jaman bid’ah dan keterasingan Ahli Sunnah yang menyeru manusia kepada aqidah yang benar dan memerangi pendapat yang menentangnya, maka ia tidaklah membawa sesuatu yang baru. Ia hanya memperbaharui madzzab ahli sunnah yang sudah usang dan menghidupkan ajaran yang sudah terkubur. Sebab, aqidah dan sisitemnya (manhaj), bagaimanapun, tidak pernah berubah.
Dan jika pada suatu masa atau pada suatu tempat terjadi penisbatan madzab Ahli Sunnah terhadap seorang ulama atau mujaddin (pembaharu), maka hal itu bukan karena ulama tersebut telah menciptakan (sesuatu yang baru) atau mengada-ada. Hal itu pertimbanganya semata-mata karena ia selalu menyerukan manusia agar kembali kepada as-sunnah.
Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyah, padahal Asy’ariyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.Wallahu A’alam Bishawwab
TOKOH-TOKO AHLI SUNNAH WAL JAMAAH
1.      DIBIDANG TAUHID
Sebuah komunitas tentunya mempunyai tokoh yang mempelopori komunitas itu berdiri, begitu halnya Ahlussunah Waljama`a. Sebagai madzhab yang bisa dikatakan terbesar dan memiliki kwantitas umat terbesar tentunya memiliki tokoh-tokoh yang mempelopori dan menyusunnya. Mereka adalah Abu Hasan Al-Asy`ary dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagaiman telah kita maklumi besama bahwa Al-Asy`ary lah yang digembor-gemborkan bapak Ahlussunah Waljam`ah dan mengenyampingkan Al-Maturidi. Disini kita akan meneropong profil beliau sehingga kita tahu ada apa dan kenapa beliau dikesampingkan oleh umat.
Nama lengkap Abu Manshur al-Maturidi ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud. Dilahirkan di Maturid, sebuah daerah di Samarkand termasuk kawasan Ma Wara’ al- dan ia menimba ilmu pada pertiga terakhir abad ke-3 Hijrah, yakni pada masa Muktazilah mendapat kemarahan masyarakat sebagai balasan perlakuan mereka terhadap fuqaha muhadditsin pada pertiga pertama abat tersebut.
Tahun kelahiran Abu Manshur al-Maturidi tidak begitu diketahui dengan pasti. Akan tetapi, tampakanya ia dilahirkan pada sekitar pertengahan abad ke-3 Hijrah. A.K.M.Ayyub Ali menyimpulkan bahwa al-Maturidi lahir sekitar tahun 238 H/853 M. Dapat dipastikan, bahwa beliau belajar ilmu fikih dari Madzhab Hanafi dan ilmu kalam dari Nashr ibn Yahya al-Balakhi. garis ketururunan beliau bersambung dengan sahabat Abu Ayyub al-Anshory. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H / 847-861 M. Beliau  wafat pada tahun 333 H/944 M[4].
Abu Manshur al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologi yang ditimbulkan oleh Abu Manshur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah namun literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Manshur dan aliran al-Maturidiyyah tidak sebanyak literature mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyyah.
Ø  Pendidikan
Beliau mula-mula menuntut ilmu daripada Abu Nasr al Iadhi, dan pernah berguru dengan silsilah ulama yang bersambung sehingga Imam Abu Hanifah RA. Selain itu beliau pernah belajar dengan Muhammad bin Maqatil ar Razi dan Abu Bakr Ahmad al-Jawzajani. Bapaknya juga seorang ulama yang pernah berguru dengan Abu Ahmad al Iadhi, dan Abu Bakar al Iadhi.
Dalam kitab Miftah Assa`adah Wa Mishbah Assiyadah, Syeikh Tasy Kauthari Zadah berkata : “Ketahuilah bahawa ketua Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam bidang Ilmu Kalam ialah dua orang : Seorang daripadanya ialah bermazhab Hanafi, dan seorang lagi bermazhab Syafie. Orang yang bermazhab Hanafi itu ialah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al Maturidi, penghulu bagi petunjuk. Manakala seorang lagi yang bermazhab Syafie ialah Syeikh as Sunnah, dan ketua al Jamaah, Imam bagi ulama Ilmu Kalam, pendokong sunnah Penghulu bagi rasul-rasul (Nabi Muhammad SAW), pengukuh Agama, dan penyelusur di dunia memelihara Akidah Muslim, dia ialah Abu Hassan al Asy’ari.”
Ø  Karya Tulisnya
Dia meninggalkan beberapa karya tulis diantarnya, Ta’wilat Ahlus Sunnah atau Ta’wilat al-Qur`an, Di antara bukunya yang lain adalah Kitab Tauhid, Khaliqiyah dan Rububiyah ditambah dengan sedikit tauhid Asma’ wa Sifat
Abu Mansur Maturidi juga mengarang kitab Jadal dan Ma ‘akhiz Syarai’. Kedua-dua buku ini membincangkan Usul Fikah. Buku-buku dalam ilmu ketuhanan antaranya, Tauhid, Muqalaat, Ra’du Ala Qawashat, Bayan Wahm Muktazilah, Ra ‘du Amamah Libaddu Rawafaz dan banyak lagi. Apa yang mendukacitakan, buku-buku itu hilang begitu sahaja. Buku yang masih tersimpan adalah buku Tauhid dan Maqalaat Selain itu ada buku-buku beliau dalam ilmu yang lain.
·         Kitab Al Tawhid
·         Kitab Radd Awa'il al-Adilla, sanggahan terhadap Mu'tazilah
·         Radd al-Tahdhib fi al-Jadal, sanggahan terhadap Mu'tazilah
·         Kitab Bayan Awham al-Mu'tazila ('Kitab Pemaparan Kesalahan Mu'tazilah
·         Kitab Ta'wilat al-Qur'an.
·         Kitab al-Maqalat
·         Ma'akhidh al-Shara'i` dalam Usul al-Fiqh
·         Al-Jadal fi Usul al-Fiqh
·         Radd al-Usul al-Khamsa, sanggahan terhadap pemaparan Abu Muhammad al-Bahili' tentang lima prinsip Mu'tazilah
·         Radd al-Imama, sanggahan terhadap konsepsi keimaman syiah
·         Al-Radd `ala Usul al-Qaramita
·         Radd Wa`id al-Fussaq[5]
b.      Biografi Imam Al-Asy’ari
Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.
Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 260 H/875 M di Bashrah[6], Irak. Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.
Ø  Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah. Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as­-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ula­ma thabaqah mereka.

Ø  Dari Mu’tazilah ke Ahlusunnah waljama’ah
Menurut ibn Asakir, ayah al-Asy’ari adalah orang yang berfaham ahlussunnah dan ahli Hadis. Namun ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil dan kemudian ibu beliau kembali menikah dengan laki-laki tokoh mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’I (w. 303 H/915 H)[7]. Hal inilah yang menyebabkan Imam al- Asy’ari menganut paham Mu’tazilah pada awalny.
Namun Al-imam Abu Hasan Al Asy’ari mengikuti aliran mu’tazilah hingga berusia 40 tahun[8].Namun kemudian setelah sekian lama menjadi tokoh mu’tazillah dan tidak jarang mewaili gurunya Al Jubba’i dalam forum-forum perdebatan akhirnya Al Asy’ari keluar dan kembali kepada ajaran Ahlu sunnah waljama’ah.Pertanyaan yang patut di kemukakan di sini adalah”Apakah latar belakang keluarnya Al Asy’ari dari mu’tazilah kepada Ahlu sunnah waljamaah?
Menurut data sejarah yang pernah di sampaikan oleh para ulama seperti Al Hafizh ibn Asyakir Al Dimasyqi,Syamsudi Ibnu Kholikan,Al Imam Tajuddin Al Subki dll setidaknya ada 2 hal yang melatar belakangi perpindahan Al Asy’ari dari mu’tazilah ke Ahlu sunnah waljama’ah.
1).ketidakpuasan Al Asy’ari terhadap ideologi mu’tazillah yang selalu mendahulukan Akal tetapi tidak jarang menemukan jaln buntu dan mudah di patah kan oleh argumentasi akal yang sama.Ketidak puasan Al Asy’ari dapat di lihat  dengan memperhatikan beberapa hal’antara lain dengan memperhatikan riwayat yang menyatakan bahwa sebelum Al Asy’ari keluar dari aliran mu’tazilah dia tidak keluar rumah selama 15 hari,kemudian pada hari jum’at setelahnya dia keluar ke masjid ja’mi dan menaiki mimbar dengan berpidato : Sebenarnya saya telah menghilang selama 15 hari ini,selama itu saya meneliti semua dalil-semua ajaran yang ada,ternyata saya tidak menemukan jalan keluar.Dalil yang satu tidak lebih kuat dari pada dalil yang lain lalu aku memohon petunjuk kepada Allah ta,ala dan ternyata Allah ta,ala memberikan petunjuknya kepadaku untuk meyakini apa yang saya tulis dalam beberapa kitab ini.Mulai saat ini aku mencabut ajaran yang selama ini Aku yakini”.
Kemudian Al Asy’ari menyerahkan beberpa kitab yang  di tulisnya sesuai dengan ajaran Ahlu sunnah waljama’ah kepada orang-orang di sana di antaranya adalah kitab Al-luma fi al-radd’ala ahl al-zaygh wa al-bida kitab yang memaparkan kerancuan mu’tazilah yang bejudul kasyf al-astar wa hatk al asrar dan kitab-kitab lain.Setelah kitab tersebut di baca oleh kalangan Ahli hadits dan fuqoha dari kalangan Ahlu sunnah waljama’ah mereka mengambil isinya,menadopsinya,meyakini kehabatan Al Asy’ari dan menjadikannya sebagai panutan[9]. Ketidakpuasan Al Asy’ari dengan faham mu’tazilah tersebut dapat di lihat dengan memperhatikan riwayat lain yangmengisahkan perdebatannya dengan AlJubba’i :
Al Asy’ari    :”Bagaimana pendapatmu tentang nasib 3 orang yang meninggal dunia,satunya orang mukmin,satunya orang kafir dan satunya lagi anak kecil” ?
Al Jubba’i   : “orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi,orang kafir akan celaka dan anak kecil akan selamat.
Al Asy’ari     : “Mungkinkah anak kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah “?
Al Jubba’i   :”oh ‘tidak mungkin karena Allah akan berkata kepada anak itu”orang mukmin itu memperoleh derajat yang tinggi karena amalnya”,sedangkan kamu belum sempat beramal  jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu”.
Al Asy’ari  : “Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata”Tuhan itu bukan salah ku,”andaikan aku di beri umur panjang tentu aku akan beramal seperti orang mukmin itu”.
Al Jubba’i :”oh’tidak bisa,Allah akan menjawab “oh bukan begitu,justru aku telah mengetahui’bahwa apabila kamu diberikan umur panjang maka kamu akan durhaka,sehingga nantinya kamu akan di siksa,oleh karena itu demi menjaga masa depanmu akan kumatikan kamu sewaktu masih kecil sebelum kamu menginjak usia taklif”.
Al Asy’ari : “Bagaimana seandainya orang kafir tersebut menggugat kepada Allah dengan berkata,”Tuhan engkau telah mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku,tetapi mengapa engkau tidak memperhatikan masa depanku,dengan mematikan aku sewaktu masih kecil dulu,sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu dan engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi kafir dan akhirnya aku di siksa seperti sekarang ini”.
Mendengar pertanyaan Al Asy’ari tersebut  Al Jubba’i menemui jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban,Al Jubba’i hanya berkata”Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada”.
Al Asy’ari :”Aku tidak bermaksud merusak keyakinan yang telah ada,akan tetapi guru tidak mampu menjawab pertanyaanku”.
2).Bermimpi bertemu Nabi Saw.  pada malam ke-10, malam ke-20 dan malam ke-30 bulan Ramadhan,Al Asy’ari tertidur dan bertemu Nabi Saw,Beliau berkata :”Wahai Ali tolongalah pendapat-pendapat yang di riwayatkan dariku, karena itulah yang benar”.
Setelah terbangun,Al asy’ari merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya,dia terus memikirkannya apa yang dia Alami dalam mimpi itu.Pada pertengahan bulan Ramadhan,dia bermimpi lagi bertemu Nabi Saw,dan beliau berkata :”Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu”?
Al Asy’ari menjawab :”Aku telah memberikan pengertian yang benar terhadap pendapat-pendapat yang di riwayatkan darimu”.
Nabi Saw berkata :”tolonglah pendapat-pendapat yang di riwayatkan dariku,karena itu yang benar”.
Setelah terbangun dari mimpinya Al asy’ari merasa terbebani dengan mimpi itu.Sehingga dia bermaksud meninggalkan ilmu kalam,dia akan mengikuti hadits dan akan terus membaca Alqur’an. Tetapi pada malam 27 Ramadhan, tidak seperti biasanya rasa kantuk yang begitu hebat menyerangnya, sehingga diapun tertidur dengan rasa kesal dalam hatinya, karena meninggalkan kebiasaannya untuk beribadah kepada Allah ta,ala. Dalam tidur ia bermimpi bertemu lagi dengan  Nabi Saw untuk ketiga kalinya, Nabi Saw berkata : ”Apa yang kamu lakukan dengan perintah ku dulu”?
 ia menjawab :”Aku telah meninggalkan ilmu kalam dan berkonsentrasi menekuni alqur’an dan Alhadits”.
Nabi Saw berkata :”Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam,tetapi Aku hanya memerintahmu membela pendapat- pendapat yang di riwayatkan dariku,karena itu yang benar”.
Ia menjawab :”Wahai Rasullallah,bagaimana aku mampu meninggalkan madzhab yang yang telah aku ketahui masalah-masalah dan dalil-dalilnya sejak 30 tahun yang lalu hanya karena mimpi”?
Nabi Saw berkata:”Andaikan Aku tidak tahu bahwa Allah Akan menolongmu dengan pertolonganNya,tentu Aku menjelaskan semua jawaban masalah-masalah(ajaran mu’tazilah)itu.Bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini,Allah akan menolongmu dengan pertolonganNya”.
Setelah terbangun dari tidurnya Al asy’ari berkata :”selain kebenaran pasti hanya kesesatan”.
Lalu dia mulai membela hadits-hadits yang berkenaan dengan Ru’yah(melihat Allah di akhirat),syafa’at dan lain-lain.Ternyata setalah itu Al Asy’ari mampu memaparkan kajian-kajian dan dalil –dalil yang belum pernah di pelajarinya dariseorang guru,tidak dapat di bantah oleh lawan dan belum pernah di bacanya dalam suatu kitab.[10]
Ø  Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al­-Marwazi, Abu Abdillah bin Mu­jahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al­-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sara­khsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.
Ø  Tulisan-tulisannya
Di antara tulisan-tulisan be­liau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kita­bush Shifat, Kitabur Ruyah bil Ab­shar, al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy­-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jum­latu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al­-Mukhtazin, dan yang lainnya.
al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-­Asy’ari memiliki 55 tulisan.
Ø  Wafatnya                                                                      
al-Imam Abul Hasan al­-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H/. Semoga Allah meridhoi­nya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.

2.      DIBIDANG TASAWUF
Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusyukan untuk mengingat Dia.Ini adalah perkataan Syaikh al-Junayd al-Baghdadi, tokoh sufi termashur yang senantiasa disebut dalam do’a silsilah pengamal Tarekat Naqsyabandiyah naungan YPDKY selain Syaikh Abu Yazid al-Bistami (lahir 188 H/804 M dan wafat 261 H/875 M), dan Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani (lahir 470 H/1077 M). Berhubungan dengan kekhusyukan, Syaikh al-Junayd al-Baghdadi juga mengatakan,“Tuhan menyucikan ‘hati’ seseorang menurut kadar kekhusyuknya dalam mengingat Dia.” Berikut riwayat singkat imam al-Ghazali dan Syaikh al-Junaid al-Baghdadi.
a.      Imam Al-Ghazali
Ø  Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H/1058 M[11] dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Ø  Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Ø  Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).[12]
b.      Imam Junaid al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junayd ibn Muhammad ibn Junayd al-Baghdadi. Ia kemudian lebih popular dengan panggilan al-Junayd al-Baghdadi, dan terkadang juga dipanggil al-Junayd saja. Ia merupakan tokoh sufi yang besar pengaruhnya di Baghdad.  Al-Junayd lahir di Kota Nihawand, Persia, dan wafat pada 298 H/910 M[13]. Meskipun ia lahir di Nihawand, keluarga-nya bermukim di Kota Baghdad, tempat ia belajar hukum Islam menurut mazhab Imam Syafi’i, dan akhirnya ia menjadi qadi di Baghdad,kemudian ia menganut Mazhab Abu Tsawr.
Dalam disiplin sufi, ia adalah murid pamannya, Syaikh Sari al-Saqati (w. 253 H/867 H), saudara kandung dari ibunya sendiri. Di samping belajar dengan al-Saqati, ia berguru juga kepada Abu Abd Allah al-Haris ibn Asad al-Basri al-Baghdadi al-Muhasibi (165 H – 243 H/781 – 857 M), seorang sufi yang terkemuka di Baghdad ketika itu. Al-Junayd al-Baghdadi, bahkan dipandang sebagai murid terdekat dan paling banyak mendapatkan ilmu dari Haris al-Muhasibi tersebut.
Kehidupan al - Junayd al-Baghdadi,di samping sebagai sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada muridmuridnya, ia juga sebagai pedagang yang meneruskan usaha ayahnya, yaitu sebagai pedagang barang pecah-belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau ke rumah dan mampu mengerjakan shalat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.
Pada akhir perjalanan hidupnya, ia diakui banyak muridnya sebagai imam. Sehubungan dengan itu, dalam pandang Sa’id Hawwa, seorang tokoh sufi kontemporer, ada beberapa sufi yang dapat diterima oleh umat Islam, salah satunya adalah al-Junayd al-Baghdadi ini, di samping tokoh-tokoh lain, seperti al-Ghazali (w.505 H/1111 M). Al-Junayd meninggal dunia pada Jumat, 298 H / 910 M (versi lain: 297 H/910 M) dan dimakamkan di dekat makam pamannya sekaligus gurunya, Sari al-Saqati, di Baghdad.
Dalam masa-masa hidupnya, al-Junayd menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodoks.  Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka al-Junayd melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu terkunci.
Dari surat-suratnya atau risalahrisalah singkatnya dan keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya,dapat dipandang bahwa jalan hidup al-Junayd al-Baghdadi merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu,yakni Tuhan. Bagi al-Junayd al-Baghdadi,cinta spiritual (mahabbah) berarti, “Sifatsifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat pencinta.”
Al-Junayd memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT. Untuk itulah, dengan pahampaham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syaikh sufi yang kharismatik di kota Baghdad. Banyak terekat sufi yang silsilahnya melalui al-Junayd.
Al-Junayd terkenal sebagai tokoh sufi yang sangat konsen dengan dunia tasawuf yang digelutinya. Bahkan bagi beliau tidak ada ilmu di dunia ini yang lebih tinggi dari tasawuf. Dalam hal keteguhan pada tasawuf inilah beliau mengatakan,“Apabila saya mengetahui ilmu yang lebih besar dari tasawuf, tentulah saya pergi mencarinya, sekalipun harus dengan cara merangkak.”[14]
Ø  Wafatnya
Akhirnya kekasih Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah wafat di sisi As-Syibli, seorang daripada muridnya. Ketika sahabat-sahabatnya hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku pandai berkata-kata."[15]

3. DIBIDANG FIQIH
a.      Biografi Imam Hanafi / Abu Hanifah
Ø  Kelahiran dan latar belakang pendidikannya
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu Hanifah al –Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al –Taimiy, tapi ia lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ayahnya adalah keturunan bangsa Persia ( Kabul / Afganistan ) yang sudah menetap di Kufah, sehingga beliaupun dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H /699 M dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H /767 M, yakni di masa akhir dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan raja bani Umayyah ke-5 dan masa awal dinasti Abbasiyah[16].
Beliau diberi gelar Abu Hanifah karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu ( bapak / ayah ), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah.  Ada lagi satu riwayat yang mengatakan, beliau bergelar Abu Hanifah karena begitu taatnya beribadah kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab Haniif yang berarti condong atau cenderung pada yang benar. Akan tetapi, menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat ), dan kata haniif menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-teman dan gurunya.
    Pada mulanya Abu Hanifah gemar mempelajari ilmu qira’at, hadits, nahwu dan ilmu agama lainnya yang berkembang pada masa itu, bahkan iapun mempelajari teologi ( ilmu kalam ), sehingga ia menjadi salah seorang terpandang dalam ilmu tersebut. Karena ketajaman pemikirannya ia sanggup untuk menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Pada waktu itu kota Kufah merupakan pusat pertemuan ulama ilmu fiqh yang cenderung rasional, sehingga iapun menekuninya. Di kota ini terdapat madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah Ibn Mas’ud ( wafat 63 H / 682 M ). Kemudian berlanjut di bawah kepemimpinan Ibrahim al –Nakha’i lalu Hammad bin Sulaiman al –Asy’ari ( wafat 120 ).Dan dari Imam Hammad inilah Abu Hanifah belajar fiqh dan hadits. Imam Hammad sering mewakilkan kepada beliau dalam mengajarkan agama dan memberi fatwa. Kepercayaan ini diberikan karena keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam mengupas masalah fiqh.
    Abu Hanifah adalah seorang yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dan wawasan yang luas tentang ilmu agama, sehingga sangatlah tidak heran jika banyak kalangan yang memujinya dan mengakuinya. Hal ini bisa dilihat dari pernyatan dan pengakuan para ilmuan lainnya. Imam Ibn al – Mubarak mengatakan : “ aku belum pernah melihat seorang laki-laki lebih cerdik dan pandai dari pada Imam Abu Hanifah.” Imam Ali  bin Ashimpun berkata : “ jika sekitranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan”. Seorang raja, Harun ar –Rasyid kala itu juga menyatakan : “ Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya”
Imam Malik pernah ditanya oleh seseorang :” pernahkah anda melihat Abu Hanifah? Ya, saya melihatnya, ia adalah seorang laki-laki, jika anda bertanya tentang tiang ini supaya ia jadikan emas, niscaya dia akan memberikan alasan-alasannya”. Bahkan Imam Syafi’i pernah menyatakan :” manusia seluruhnya adalah keluarga dalam ilmu fiqh dan menjadi anak buah Imam Abu Hanifah”. Pengakuan dan pernyataan yang disampaikan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i cukuplah membuktikan betapa luasnya pandangan dalam mengulas hukum-hukum islam. Bahkan tidak  hanya dalam masalah fiqh, tentang haditspun beliau juga mempunyai kepandaian dan kecerdasan.
Beliau sendiri pernah berkata : “ jauhilah olehmu memperkatakan urusan agama Allah menurut pendapatmu sendiri, tidak menurut hadits-hadits Nabi “ Sehingga dalam perkembangan selanjutnya beliau lebih mengutamakan rasio ( analogi /qiyas ) dari pada hadits yang dipandang lemah”.
Dari sekian banyak riwayat yang menerangkan tentang kealiman, kebesaran dan kemuliannya tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa beliau adalah orang yang sangat berjasa bagi islam dan umatnya. Beliau juga seorang pilihan yang telah lulus dalam menempuh berbagai ujian berat, menderita dan sakit di dalam penjara sampai akhirnya beliau wafat tahun 150 H (576 M ) pada usia 70 tahun dan dimakamkan di pekuburan khizra, dan pada saat itu lahirlah Imam Syafi’i.
Sepeninggal beliau, pada tahun 450 H / 1066 M didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama jami’ Abu Hanifah. Ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara meridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki’ bin jarah Ibn Hasan al- Syaibah  dan lain-lain.
Ø  Karya-karya  Imam Abu Hanifah
Sepanjang hidupnya, Imam Abu Hanifah banyak mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, baik ilmu fiqh, ilmu kalam ataupun yang lainnya. Ini dikarenakan beliau adalah seorang yang mempunyai kepandaian dan kecerdasan yang luar biasa pada zamannya. Diantara para ulama terkenal yang memnjadi sahabat beliau dan berjasa dalam pengkodifikasian fatwa-fatwa beliau adalah :
a.      Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahin al- Anshary ( 113-182 h )
b.      Muhammad ibn Hasan al- Syaibany ( 132-189 H )
c.      Zufar ibn Huzailibn al- Kufy ( 110-158 H )
d.      al- Hasan ibn Ziyad al- Lu’lu’iy ( 133-204 H ).
Pada saat beliau masih hidup,fatwa-fatwa dan hasil ijtihad beliau belum dikodifikasikan, setelah beliau meninggal, barulah buah pikirannya itu dikodifikasikan oleh murid-murid dan para sahabatnya sehinggah menjadi mazhab ahli ra’yi yang hidup dan berkembang.
Dari sahabat dan murid beliau yang banyak menyusun buah fikiran Abu Hanifah adalah Muhammad al- Syaibany yang terkenal dengan ” al-Kutub al- Sittah ” ( enam kitab ) yaitu:  
1.      Kitab al -  Mabsuth
2.      Kitab al – Ziyadat
3.      Kitab al – Jami’ al – Shaghir
4.      Kitab al – Jami’ al – Kabir
5.      Kitab al – Sair  al – shaghir
6.      Kitab al – Sair  al – Kabir


Ø  Metode istimbat yang digunakan mazhab Hanafi  
Imam Abu Hanifah adalah ulama yang terkenal menggunakan rasio dalam ijtihad-ijtihadnya, sehinggah ia dikenal dengan ahl al- Ra’yu. Ia hidup selama 52 tahun pada masa dinasti umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyah. Pada masa hidupnya, ia sempat menyaksikan tragedi – tragedi besar di Kufah. Di satu sisi Kufah memberikan makna dalam kehidupannya sehingga menjadi seorang ulama besar al –Imam al –A’zam. Tapi disisi lain, beliau merasakan kota Kufah sebagai kota yang diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Kufah dan Bashra di Irak memang melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang seperti ilmu sastra, teologi, tafsir, hadits dan tasawuf,
Intelektualitas Abu Hanifah diwarnai oleh kedua kota bersejarah tersebut. Di tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertarungan tradisional antara suku Arab utara, Arab selatan serta Persi. Oleh karena itu, pola pikir  Imam Abu Hanifah dalam menetapka hukum sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya.
Secara hierarkis pokok-pokok pikiran mazhab Hanafi adalah:
1.                 al-Qur’an.
2.                  Al- sunnah Rasullah SAW  yang shohih saja
3.                 Al- Aqwal al-Sahabah ( fatwa-fatwa dari para sahabat
4.                  Al- Qiyas,
5.                  Al- Istihsan
6.                   ‘Urf ( adat istiadat) masyarakat muslim [17]
b.       Biografi Imam Malik
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93H/ 712 M dan wafat pada hari ahad, tahun 179 H/ 798 M di Madinah. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia[18].
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Ø  Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki[19].
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki
Adapun metode istimbat Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang kepada :
Ø  Al-Qur’an
Ø  Sunnah
Ø  Ijma’ Ahli Madinah
Ø  Fatwa Sahabat
Ø  Kabar ahad dan qiyas
Ø  Istishab
Ø  Maslahah mursaah
Ø  Sadduz zara’i
Ø  Istishabsyar’u man koblana syar’un lana
c.      Biografi Imam Syafi’i
Ø Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Ø  Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Ø  Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain.
Karena situasi politik ketika itu pergolakan antara Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah, beliau dituduh memihak kepada Bani Umaiyah yang telah diruntuhkan oleh Bani Abbasiyah, sehingga beliau di bawa ke baghdad untuk di adili, namun beliau bisa memberi alasan yang tepat di depab Khalifah Harun ar-Rasyid, sehingga akhirnya beliau di bebaskan di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Ø  Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Ø  Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Ø  Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.[20]
Ø  Pujian Ahmad bin Hanbal kepada Imam Syafi’i
Sewaktu di Baghdad, Imam Syafi’i selalu bersama Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cintanya pada Imam Syafi’i, sehingga putra-putri Imam Ahmad merasa penasaran kepada bapaknya itu. Putri Imam Ahmad memintanya untuk mengundang Imam Syafii bermalam di rumah untuk mengetahui perilaku beliau dari dekat. Imam Ahmad bin Hanbal lalu menemui Imam Syafi’i dan menyampaikan undangan itu. 
Ketika Imam Syafi’i telah berada di rumah Ahmad, putrinya lalu membawakan hidangan. Imam Syafi’i memakan banyak sekali makanan itu dengan sangat lahap. Ini membuat heran putri Imam Ahmad bin Hanbal. 
Setelah makan malam, Imam Ahmad bin Hanbal mempersilakan Imam Syafi’i untuk beristirahat di kamar yang telah disediakan. Putri Imam Ahmad melihat Imam Syafi’i langsung merebahkan tubuhnya dan tidak bangun untuk melaksanakan shalat malam. Pada waktu subuh tiba beliau langsung berangkat ke masjid tanpa berwudhu terlebih dulu. 
Sehabis shalat subuh, putri Imam Ahmad bin Hanbal langsung protes kepada ayahnya tentang perbuatan Imam Syafi’i, yang menurutnya kurang mencerminkan keilmuannya. Imam Ahmad yang menolak untuk menyalahkan Imam Syafi’i, langsung menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i. 
Mengenai hidangan yang dimakannya dengan sangat lahap beliau berkata: “Ahmad, memang benar aku makan banyak, dan itu ada alasannya. Aku tahu hidangan itu halal dan aku tahu kau adalah orang yang pemurah. Maka aku makan sebanyak-banyaknya. Sebab makanan yang halal itu banyak berkahnya dan makanan dari orang yang pemurah adalah obat. Sedangkan malam ini adalah malam yang paling berkah bagiku.” 
“Kenapa begitu, wahai guru?”
“Begitu aku meletakkan kepala di atas bantal seolah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW digelar di hadapanku. Aku menelaah dan telah menyelesaikan 100 masalah yang bermanfaat bagi orang islam. Karena itu aku tak sempat shalat malam.” 
Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada putrinya: “inilah yang dilakukan guruku pada malam ini. Sungguh, berbaringnya beliau lebih utama dari semua yang aku kerjakan pada waktu tidak tidur.” Imam Syafi’i melanjutkan: “Aku shalat subuh tanpa wudhu sebab aku masih suci. Aku tidak memejamkan mata sedikit pun .wudhuku masih terjaga sejak isya, sehingga aku bisa shalat subuh tanpa berwudhu lagi.” 
Dilain kesempatan Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “aku tidak pernah shalat sejak 40 tahun silam kecuali dalam shalatku itu aku berdoa untuk Imam Syafi’i.”  Abdullah, putranya lantas bertanya: “wahai ayahku, seperti apa sih Syafi’i, sehingga ayah selalu berdoa untuknya?” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “wahai anakku, Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi dunia dan seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah anakku, betapa pentingnya dua hal itu.”
Abdul Malik bin Abdul Hamid al-Maimuni berkata: “Aku berada di sisi Ahmad bin Hanbal dan beliau selalu menyebut Imam Syafi’i. Aku selalu melihat beliau mengagungkan Imam Syafi’i.
d.       Biografi Imam Hambali
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Beliau adalah Imam yang keempat dari fuqahak Islam. Beliau memiliki sifat-sifat yang luhur dan tinggi. Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164H. Beliau termasyhur dengan nama kakeknya Hambal, kerana datuknya lebih masyhur dari ayahnya.
Ibnu Hambal hidup dalam keadaan miskin, kerana ayahnya hanya meninggalkan sebuah rumah kecil dan tanah yang sempit. Beliau terpaksa melakukan berbagai pekerjaan. Beliau pernah bekerja di tempat tukang jahit, mengambil upah menulis, menenun kain dan kadangkala mengambil upah mengangkat barang-barang orang. Beliau lebih mementingkan makanan yang halal lagi baik dan beliau tidak senang menerima hadiah-hadiah.
Ketika ia masih berumur 14 tahun, Ahmad bin Hambal telah belajar menulis dan menghafal Al-Quran. Beliau bekerja keras dalam menuntut ilmu pengetahuan. Sebagai seorang ulama yang sangat banyak ilmunya, Ibnu Hambal pun seorang yang teguh imannya, berani berbuat di atas kebenaran. Dia tidak takut bahaya apa pun terhadap dirinya di dalam menegakkan kebenaran itu. Kerana Allah memang telah menentukan bahawa setiap orang yang beriman itu pasti akan diuji keimanannya. Termasuk juga para nabi dan rasul yang tidak pernah lepas dari berbagai ujian dan cubaan.
Imam Hambali berada di zaman kekuasaan kaum Muktazilah yang berpendapat bahawa Quran itu adalah makhluk. Pendirian ini begitu kuatnya di kalangan pemerintah, sehingga barangsiapa yang bertentangan pendirian dengan pihak pemerintah tentu akan mendapat seksaan. Sebelum Al-Makmun ini, yakni di zaman sultan Harun Al-Rasyid, ada seorang ulama bernama Basyar Al-Marisy berpendapat bahawa Quran itu adalah makhluk. Baginda Harun Al-Rasyid tidak menerima pendapat tersebut. Bahkan terhadap orang yang berpendapat demikian akan diberi hukuman. Kerana ancaman itu akhirnya Basyar melarikan diri dari Baghdad.
Tetapi setelah Sultan Harun Al-Rasyid meninggal dunia, kemudian diganti dengan puteranya Al-Amin barulah Syekh Basyar keluar dari persembunyiannya. Kembali ia mengeluarkan pendapatnya itu, bahawa Quran itu adalah makhluk. Al-Amin juga sependirian dengan ayahnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Ia mengancam berat terhadap orang yang mengatakan Quran itu makhluk.
Kemudian kepala negara pindah lagi ke tangan saudara Al-Amin iaitu Al-Makmun. Di zaman pemerintahan Al-Makmun inilah pendapat tentang Quran itu makhluk mula diterima. Al-Makmun sendiri telah terpengaruh dan ikut berpendapat demikian. Pada suatu kali oleh Al-Makmun diadakan pertemuan para ulama besar, untuk membincangkan hal itu, tetapi para ulama tetap berpendapat bahawa Al-Quran itu adalah makhluk. Al-Makmun mengharapkan supaya pendapat itu diterima orang ramai.
Pada masa itu satu-satunya ulama yang keras berpendirian bahawa “Al-Quran itu bukan makhluk?” Hanyalah Imam Hambali. Secara terus terang ia berkata di hadapan Sultan:“Bahawa Al-Quran bukanlah makhluk yang dijadikan Allah, tetapi ia adalah Kalamullah.”
Imam Hambali satu-satunya ulama ketika itu yang berani membantah, sedangkan yang lainnya diam seribu bahasa. Kemudian ia ditangkap dan dihadapkan ke hadapan baginda. Ia dipanggil bersama tiga orang ulama yang lainnya, yaitu Imam Hassan bin Muhammad Sajah, Imam Muhammad bin Nuh dan Imam Ubaidah bin Umar. Kedua ulama di antara mereka sama menjawab dan membenarkan pendapat baginda sementara Imam Hambali dan Imam Muhammad bin Nuh dengan tegas menjawab bahawa Quran itu bukanlah makhluk. Keduanya lalu dimasukkan ke dalam penjara. Setelah beberapa hari dalam penjara datang surat dari Tharsus yang meminta supaya keduanya dibawa ke sana dengan dirantai. 
Terhadap Imam Hambali mereka minta supaya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya. Baginda raja menerima usulan tersebut. Lalu Imam Hambali dihadapkan depan raja dan ditanyakan tentang pendiriannya. Namun ia tetap menyampaikan pendiriannya bahawa Al-Quran itu ialah Kalamullah bukan makhluk. Dan ia menegaskan lagi bahawa ia tidak akan berubah dari pendiriannya itu.
Akhirnya terjadilah persidangan yang dipimpin oleh baginda sendiri. Kemudian baginda memanggil Imam Hambali dan berkata: “Atas nama saya sebagai kerabat Nabi Muhammad SAW saya akan memukul engkau beberapa kali, sampai engkau membenarkan apa yang telah saya benarkan, atau mengatakan seperti yang saya kata?” Kerana Imam Hambali masih tetap dengan pendiriannya, maka baginda memerintahkan kepada perajuritnya untuk memukul Imam Hambali.
Ketika cambuk yang pertama singgah di punggung beliau, beliau mengucapkan “Bismillah.” Ketika cambuk yang kedua, beliau mengucapkan “La haula walaa quwwata illaa billah” (tiada daya dan kekuatan apa pun kecuali izin Allah). Ketika cambuk yang ketiga kalinya beliau mengucapkan “Al-Quran kalaamullahi ghairu makhluk” (Al-Quran adalah kalam Allah bukan makhluk). Dan ketika pada pukulan yang keempat, beliau membaca surah At-Taubah ayat 51.
Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang ditetapkan oleh Allah bagi kami.”. Sehingga seluruh badan beliau mengalir darah .
Akhirnya beliau dimasukkan ke dalam penjara kembali. Pada suatu hari ketika Imam Hambali dibawa ke Kota Anbar dengan tangan yang terbelenggu, seorang yang alim bernama Abu Ja’far Al-Anbari menghampiri beliau. Imam Hambali bertanya kepadanya: “Hai Abu Ja’far apakah engkau susah melihat keadaanku?” “Tidak wahai Imam, engkau adalah pemuka umat, kerana umat manusia ada di belakangmu. Demi Allah, bila engkau mahu menjawab bahawa Quran itu makhluk, pastilah umat akan mengikutimu, dan bila engkau tidak mahu menjawab, maka umat juga tidak mahu menjawab seperti apa yang ingin engkau jawab. Bila engkau tidak mati dibunuh orang, pasti engkau juga akan mati dengan cara yang lain. Maka janganlah engkau mahu menuruti kehendak mereka.”
Mendengar kata-kata Ja’far itu beliau mencucurkan air mata dan berkata: “Masya-Allah!, Masya-Allah!, Masya-Allah!. Kemudian beliau pun dikunjungi oleh bekas penjahat bernama Abdul Haitsam Al-Ayyar dan berkata kepada beliau: “Wahai Imam, saya ini seorang pencuri yang didera dengan beribu-ribu cambukan, namun saya tidak mahu mengakui perbuatan saya, pada hal saya menyedari bahawa saya salah. Maka janganlah Imam gelisah dalam menerima dera, sebab engkau dalam kebenaran.”
Ketika Khalifah Al-Makmun meninggal dunia pada tahun 218H (833 M) setelah memerintah 20 tahun lamanya, yang mengganti beliau ialah saudaranya yang bernama Ishaq Muhammad bin Harun Al-Rasyid yang bergelar dengan Al-Muktashimbillah. Sebelum Khalifah Al-Makmun meninggal dunia beliau telah berpesan kepada bakal penggantinya itu bahawa faham Al-Quran itu makhluk harus dipertahankan.”
Kebijaksanaan kerajaan yang menyiksa para ulama yang tidak sependirian dengan faham kerajaan itu atas dasar hasutan seorang ulama kerajaan yang bernama Qadhi Qudhoti Ahmad bin Abi Daud (Daud). Ulama inilah yang memberikan usulan kepada Al-makmun bahwa jika Imam Ahmad bin Hambal tetap tidak mahu mengikuti bahawa Al-Quran itu makhluk hendaklah dihukum dengan hukuman yang berat.
Pada bulan Ramadhan pengadilan terhadap Imam Hambali diadakan lagi. Khalifah Al-Muktashim bertanya: “Al-Quran itu adalah baru, bagaimana pendapat anda.” “Tidak!, Al-Quran adalah kalam Allah, saya tidak sejauh itu membahasnya kerana di dalam Al-Quran dan hadits tidak disuruh membahas soal tersebut.” Jawab beliau[21]. Beliau dicambuk sampai berdarah, pada hal ketika itu bulan puasa. Baginda berkata: “Kalau kamu merasa sakit dengan pukulan ini, maka ikutilah saya, dan akuilah bahawa Al-Quran itu makhluk, supaya kamu selamat.”
Kemudian Khalifah Al-Watsiq meninggal dunia dan digantikan dengan saudara beliau yang bernama, Al-Mutawakkil. Pada masa inilah dicabut tentang faham muktazilah dan diadakan pembebasan terhadap semua ulama yang ditahan, termasuk Imam Ahmad bin hambal. Sementara itu Imam Hambali setelah dibebaskan beliau diberi hadiah sebanyak l0,000 dirham, namun hadiah tersebut beliau tolak. Kerana dipaksa untuk menerimanya, akhirnya beliau terima dan dibahagi-bahagikan kepada fakir miskin.
Ø  Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!
Ø  Guru-Guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah[22]:
1.      Ismail bin Ja’far
5.      Imam Syafi'i
6.      Waki’ bin Jarrah
7.      Ismail bin Ulayyah
8.      Sufyan bin ‘Uyainah
9.      Abdurrazaq
Ø  Murid-murid Ahmad bin Hanbal
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
1.      Imam Bukhari
2.      Muslim
3.      Abu Daud
4.      Nasai
5.      Tirmidzi
6.      Ibnu Majah
7.      Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
8.      Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
9.      Keponakannya, Hambal bin Ishaq
Ø  Kewafatan Ahmad bin Hanbal
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menembuskan napas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
Ø  Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
1.      Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2.      Kitab at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3.      Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
4.      Kitab at-Tarikh
5.      Kitab Hadits Syu'bah
6.      Kitab al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
7.      Kitab Jawabah al-Qur`an
8.      Kitab al-Manasik al-Kabir
9.      Kitab al-Manasik as-Saghir
Ø  Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
1.      Kitab al-'Ilal
2.      Kitab al-Manasik
3.      Kitab az-Zuhd
4.      Kitab al-Iman
5.      Kitab al-Masa'il
6.      Kitab al-Asyribah ا
7.      Kitab al-Fadha'il
8.      Kitab Tha'ah ar-Rasul
9.      Kitab al-Fara'idh
10. Kitab ar-Radd ala al-Jahmiyyah







BAGIAN II
1.      ISLAM DI RANAH MINANGKABAU
Pendidikan menurut adat Minangkabau di Sumatera Barat sudah berjalan jauh sebelum kedatangan agama Budha masuk ke Minangkabau. Pendidikan itu disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan keberhasilan pendidikan itu dinilai dari penguasaan adat dan keahlian menyelesaikan masalah kehidupan. Untuk dapat menguasai pengetahuan dan pelaksanaan adat yang luas dan rumit itu dipelajari melalui contoh dan laku perbuatan dalam kehidupan sehari-hari yang disampaikan dalam bentuk prosa lirik.
Minangkabau telah lama dikenal sebagai suatu suku bangsa yang ahli dalam prosa lirik atau sastra lisan. Tiga ratus tahun sebelum Masehi, negeri di bawah angin ini telah dikenal sebagai bangsa ahli sastra yang tercantum dalam buku Kutub Khanah di Mesir. Hubungan itu telah terjalin juga dalam perdagangan kapur barus (kampher, lat.) yang diperlukan untuk pengawetan mummi raja-raja Mesir.
Pada masa kebudayaan Hindu berkembang di India, I-tsing seorang musafir dari Cina, sengaja membawa dua orang teman pada abad ke-7 untuk menyalin 200 buah pepatah-petitih di Malaya Giri (Gunung Malayu) yang terletak di tepi Batang Hari. Pada masa pemerintahan Adityawarman, didirikan tiga pusat pendidikan agama Budha yang sacral yakni di Biaro Pariangan, di Baso dan di Petok Pasaman dengan memanfaatkan bangunan tradisional surau. Adityawarman ikut memecahkan masalah sosial mengenai remaja di Minangkabau yang tidak mempunyai tempat tinggal di rumah gadang.
Dari Berbagai Sisi dan Penjuru
MASUKNYA AGAMA ISLAM KE RANTAU timur di masa itu tidak terlepas dari persaingan perdagangan dan pengaruh kerajaan-kerajaan, seperti melemahnya kekuasaan Sriwijaya, dan lahirnya kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam (840 M).
Berkembangnya Malaka dan Samudera Pasai menjadi kota dagang dan kerajaan Islam (1400 M), dan kalahnya Sriwijaya melawan Majapahit, sejak tahun 1477 M itu, pantai timur Ranah Minang di bawah kendali Majapahit hingga meninggalnya Hayam Wuruk, dan di masa itu kerajaan Pagarruyung di Minangkabau diperintah oleh keturunan Kertanegara dan Dara Petak, putri dari Minang, yaitu Adityawarman. Ketika itu, rantau Alam Minang sudah mulai dimasuki dan didominasi oleh pemeluk Islam, walau Adityawarman masih memeluk Budha, tetapi dinastinya berkuasa hingga 1581 M. Namun pernah tercatat 1411 M, raja-raja turunan Adityawarman sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku Maulana Malik Ibrahim. Kekuasaan kerajaan hanya sebatas simbol kekuasaan dan lambang persatuan.
Setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda, atau penghulu di rantau. Raja berdaulat dengan tiga kekuasaan serangkai Rajo Tigo Selo, di Pagarruyung, di Luhak Tanah Datar, yang terdiri dari Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat yang mempunyai daerah kedudukan masing-masing di Buo dan di Sumpur Kudus. Tiga serangkai kekuasaan ini diperkuat oleh dewan menteri Basa Ampek Balai, yang terdiri dari Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso, Indomo dari Sumanik, dan diperkuat lagi oleh Tuan Gadang dari Batipuh dalam urusan pertahanan. Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat setempat, seperti adaik mananti, syarak mandaki. Namun kegiatan yang erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang kala itu.
GERAKAN PEMBARUAN di dalam kehidupan beradat dan beragama di Minangkabau, dapat dikatakan satu gerakan pembaruan oleh para ulama zuama, yakni para cendekiawan yang hidup dengan latar belakang kehidupan adat Minangkabau yang kuat, dan kemudian menuntut mendalami ilmu pengetahuan agama Islam ke negeri-negeri sumber ilmu, sampai ke Mekah al Mukarramah, yang kemudian diwarisi sambung bersambung membentuk rantai sejarah yang panjang, dan bekelanjutan terus ke abad-abad sesudahnya.Masuknya Islam dan sejarah perkembangannya di Minangkabau sejajar dengan sejarah pertumbuhan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam.
Gerakan Dakwah Persuasif
Setelah Islam berkembang di Minangkabau, Syekh Burhanddin mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan agama Islam di Ulakan. Syekh Burhanuddin berhasil mendapat kesepakatan dengan Basa Ampek Balai dan Kerajaan Pagaruyung, bahwa adat dan Islam sama terpakai di Alam Minangkabau. Kedatangan Syekh Burhanuddin (Pono), yang berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkili di Aceh, dan kemudian mengembangkan Islam di Minangkabau dengan membuka surau atau sekolah agama seperti di Ulakan Pariaman, dan di Kapeh Kapeh Pandai Sikek, Padangpanjang, mulai melakukan gerakan pemurnian Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha, serta menghapuskan kebiasaan-kebiasaan anak nagari seperti minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat.
Istana Pagarruyung juga menjadi sasaran dakwahnya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama besar di Minang. Murid beliau mulai banyak dari darek atau dari Luhak nan Tigo. Semasa itu, sudah terjadi juga persilangan paham antara penghulu dalam hal setuju dan yang menentang ulama zuama, ulama cerdik pandai yang pulang dari berguru dan melakukan pemurnian terhadap kebiasaan adat yang salah menurut syarak.
Lambat laun, kesepakatan damai tercipta antara para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang, untuk saling mengakui kedudukan ulama dengan penghulu, sehingga ulama menjadi suluah bendang dalam nagari, tidak menjadi bawahan dari Penghulu seperti kedudukan panungkek, dan manti, dubalang. Semenjak itu lahir beberapa ungkapan petatah-petitih, syarak mandaki adaik manurun, syarak nan lazim adaik nan kawi, syarak babuhue mati adaik babuhue sintak, syarak balinduang adaik bapaneh, syarak mangato adaik mamakai, syarak batilanjang adaik basisampieng.
Kesepakatan ini lebih mudah dilaksanakan dan disetujui kedua belah pihak, karena Tarapang yang kemudian menjadi Tuan Kadi di Padang Ganting adalah teman seperguruan dengan Syeh Burhanuddin di Aceh. Kesepakatan yang disponsori oleh dua orang seperguruan itu lebih dikenal dengan nama Perjanjian Marapalam. Tamatan pendidikan dari surau Ulakan kemudian mengembangkan surau-surau di pedalaman Minangkabau.Bukan secara kebetulan, Islam mendapat tanah yang subur untuk berkembang di pedalaman tanah Melayu-Minangkabau. Ajaran Islam melahirkan spesialisasi dalam memperdalam ajaran agama di surau-surau meliputi ibadah, mualamalah dan ilmu alat. Surau di Kamang memperdalam ilmu alat, nahu dan sharaf, Tuanku nan Kecil di Koto Gadang dalam ilmu mantik dan maani, surau Tuanku Sumanik dlam ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh, surau Tuanku di Talang dalam ilmu sharaf, dan surau Tuanku di Salayo dalam badi’, maani dan bayan. Sedangkan surau Tuanku Nan Tuo dalam tabiyah, hadts, tafsir, dan mantik maaani. Keragaman mempelajari ajaran Islam demikian melahirkan kaum intelektual dengan statigrafi pengetahuan yang tercermin dari gelar yang disandang alumninya, seperti Kari, Pakih, Labai, dan Tuanku. Gelar ini kemudian diterapkan sebagai aparat alim ulama suku di Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat (1740 – 1803) di bawah kepemimpinan Tuanku Nan Tuo sebagai pelindung pedagang melahirkan pratagoni sehingga surau dapat memajukan perdagangan yang mendatang kesejahteraan penduduk Minangkabau dan menguasai pusat-pusat perdagangan. Gerakan ini ditunjang oleh Tuanku-tuanku generasi muda, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Damansiang Nan Mudo, Tuanku Lintau. Semua tuanku itu ikut memajukan kesejateran masyarakat lingkungannya, sehingga surau-surau mereka menjadi pelopor kemajuan perekonomian masyarakatnmya. Gerakan Kembali ke Syariat menyumbangkan ajaran Islam ke dalam adat Minangkabau. Di samping harta pusaka tinggi, difatwakan harta pencaharian, yang diperdapat dari perdagangan yang diwariskan untuk anak dan isteri.
Semenjak itu terjadilah proses pembauran yang kental antara syariat Islam dengan budaya Adat Minangkabau. Menyebarnya syariat Islam di Minangkabau dengan suasana damai merobah kebiasaan-kebiasaan adat yang bertentangan dengan Islam. Semenjak itu pula proses itu berlangsung sampai saat ini sehingga ulama dapat melibatkan masyarakat Minangkabau di dalam syariat Islam, sehingga melahirkan kepemimpinan adat dan agama dalam setiap lembaga masyarakat. Dalam kaum dan suku mempunyai penghulu (manti dan dubalang) dan malin (imam, khatib, dan bila) dan di nagari terdapat kepemimpinan Kerapatan Adat Nagari yang terdiri dari Penghulu, Imam Khatib dan Cadiak Pandai. Kepemimpinan ini dikenal dengan Tungku Tigo Sajarangan dengan pegangan masing-masing hukum adat, agama dan peraturan atau undang-undang, yang disebut tali tigo sapilin.
2.      PEMIKIRAN ISLAM DI MINAGKABAU
Dunia Melayu, nusantara termasuk di dalamnya Malaysia, Thailand, Filipina dan lainnya, merupakan wilayah yang kuat menganut Islam atas i’tikad Ahlus Sunnah wal Jam’ah dengan Mazhab Syafi’i serta ber-Tasawwuf lewat kearifan Tarikat-tarikat Sufi[23].
Hal ini telah menjadi kenyataan sejak berabad-abad ketika Islam masuk ke daerah ini. begitu pulalah Minangkabau. Ranah Minang pernah menjadi pusat keislaman yang kuat menganut amal sunni dalam akidah, mazhab Syafi’i dalam Syari’at dan Tarikat Sufi dalam Tasawuf.
Hal ini diperkuat oleh temuan manuskrip-manuskrip tua yang umurnya telah berabad-abad, yang mana kajian-kajian fiqih yang terdapat dalam lembaran-lembaran lama itu berdasarkan mazhab Syafi’i, kajian Tauhid berdasarkan Ahlussunnah dan kajian Tasawuf menurut jalur al-Ghazali dan al-Junaid. Berikut, Tambo-tambo lama yang ditulis tangan Arab Melayu, yang sangat kental dengan nuansa Islam, itupun tidak terbertik satu fragmentpun yang dinisbahkan kepada ajaran selain Sunni. Tidak ditemui satupun bukti yang meyakinkan bahwa Minangkabau dahulunya pernah didonimasi ajaran lain, seumpama Syi’ah atau Mu’tazilah.
Bagaimana dengan adanya Syi’ah yang dilontarkan oleh segelintir Sejarawan kemudian? Dalam Sejarah Minangkabau yang ditulis oleh MD. Mansur, dkk, menyebutkan bahwa Minangkabau pernah dihuni oleh Syi’ah, dipimpin oleh orang Syi’ah pula, rentang waktunya ialah lk. 1000-1350.
Namun, jika diteliti keterangan buku itu, maka tak sulit mengemukakan bahwa keterangan ini bersumber dari Mangaraja Onggang Parlindungan dalam buku-nya yang kontroversia “Tuanku Rao”, sebab sebelum Parlindungan tak ada satupun buku atau catatan Belanda yang menegaskan hal tersebut.
Dan menurut para ahli, disertai dengan seminar “Islam di Minangkabau” 23-26 Juli 1969 di Padang, menyimpulkan bahwa buku “Tuanku Rao” tidak lagi layak sebagai sumber sejarah, sebab kebanyakan isinya merupakan hal-hal baru yang tidak pernah ditemui dalam referensi lain, adapula yang tak masuk akal, ada lagi yang berseberangan dengan fakta.
Hal ini telah dikupas dengan jeli oleh buya Hamka dalam buku “Antara Fakta dan Khayal”-nya. Sehingga seketika itu jatuh harga buku itu, dari dielu-elukan, hingga dinyatakan “tamat” riwayatnya.
Bantahan Hamka mengenai buku itu dikokohkan oleh Seminar Tuanku Rao di Lubuk Sikaping, Pasaman, tahun 2008, yang dihadiri oleh Dr. Bachtiar Chamsah (Mensos RI), Ismail Hasan (Penasehat MUI Pusat), Drs. Syarnir Aboe Nain (Lembaga Kajian Gerakan Paderi), Haedar Nashir (PP Muhammadiyah), Prof. Gusti Asnan (Guru Besar Sejarah Unand), Dr. Saafroeddin Bahar (Dosen UGM), Dr. Ichwan Azhari (Pusat Studi Sejarah Universitas Negeri Medan), Prof. Mestika Zed (Guru Besar Sejarah UNP) dan tak ketinggalan Prof. Taufik Abdullah (LIPI), yang mana salah satu rumusan dari seminar tersebut bahwa buku “Tuanku Rao” dan buku yang senada tidak dapat dijadikan sumber sejarah. Namun, Sedjarah Minangkabau telah menjadi bacaan wajib ketika hendak mengkaji Sejarah Minang kemudian hari, sehingga Sirajuddin Abbas-pun bersikeras bahwa Syi’ah memang ada di Minangkabau. Begitulah halnya.
Tulisan terbaru mengenai keberadaan Syi’ah dalam lembar sejarah Minang ialah dalam Suluh Bendang Limbago Pucuak Adat (sebuah majalah yang dikeluarkan oleh Limbago Pucuak Adat Alam Minangkabau, Istano Silinduang Bulan Batusangkar, 2010), lewat sebuah tulisan yang bertajuk Sejarah Ringkas Sejarah Pagaruyung Darul Qarar dimana didalamnya disebutkan bahwa pada tahun 1403 kerajaan Pagaruyung masa itu dipimpin oleh Sultan Bekilap Alam, yang dinyatakan sebagai kerajaan Islam sekte Syi’ah Karamita yang dekat dengan sunnah.
Hal ini tentu mengherankan, sebab Syi’ah sekte Karamita sebenarnya termasuk aliran Syi’ah yang ghulat (melampaui batas) sangat bertentangan sunni. Sekte ini karena keterlaluannya bahkan mengajarkan bahwa shalat hanya 2 kali sehari, membolehkan nikah dengan ibu kandung atau anak gadis sendiri, minum tuak halal, prilaku homo ala kaum Luth legal, dan lainnya yang sesat-sesat.
Sedangkan Minang terkenal kuat adatnya, nikah dengan saudara sesuku saja dilarang, apatah lagi dengan ibu dan anak gadis kandung, Nauzubillah. Maka tak meleset kiranya bahwa sumber penulisan ini ialah sumber pertama tadi atau buku yang mengutip dari sumber pertama tersebut.
Sebab, bagaimanapun, menurut penyelidikan Hamka, tidak ada satu referensipun yang menegaskan bahwa Syi’ah memang ada di Minangkabau. Apakah itu catatan manuskrip atau hasil penyelidikan.
Kenyataannya, yang ada cuma indikasi dari beberapa tradisi yang sering dihubungkan dengan Syi’ah.Seorang sarjana Belanda memang pernah berujar “ada kemungkinan pengaruh syi’ah memang ada di Minangkabau.” Dengan bukti perayaan Tabut. Tapi kenyataannya, dalam riwayat dikemukakan bahwa Tabut mulanya berasal dari permainan rakyat yang kemudian dibawa-bawa ke ranah agama. Beberapa pemuka Syathariyah yang sempat di temui di Pariaman mengingkari (tidak setuju) dengan Tabut ini.
Adapula yang mengatakan bahwa ber-Shafar peninggalan orang Syi’ah. Maka pendapat ini juga keliru. Bershafar baru dimulai pada abad XIX, diperopori oleh Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi, dan Syekh Abdullah jelas-jelas sebagai pemuka Tarikat Syathariyah, bermazhab Syafi’i.
Kemudian ada lagi yang menyebutkan bahwa Kuntu merupakan basis Syi’ah, tapi tidak pula kejelasan. Menurut bagian Agama di-Kuntu, benda-benda kuno yang ditemui di daerah ini ada sebilah pedang dan sebuah kitab bertulis tangan yang berjudul Fathul Wahab. Naskah ini jelas merupakan kitab fiqih, ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, salah seorang ulama terkemuka al-Azhar beberapa abad silam, alim terkemuka dalam Mazhab Syafi’i.
Bila disebut Ulakan sebagai pusat Syi’ah, pendapat ini juga tertolak mentah-mentah. Sebab Ulakan dengan Syekh Burhanuddin-nya merupakan pusat Islam bermazhab Syafi’i dan bertasawuf dengan Tarikat. Andai pula dikatakan bahwa ada ditemui teks-teks yang menyebutkan kebesaran Ahli Bait (termasuk Ali), maka itu bukan pula bukti. Sebab menghormati Ahlil Bait dalam sunni memang dianjurkan.
Maka dengannya hingga saat ini belum ada bukti bahwa Minangkabau pernah didominasi oleh faham-faham diluar Ahlussunnah wal jama’ah (sunni), Mazhab selain Syafi’i atau Tasawwuf ghair mu’tabar.
3.      TOKOH-TOKOH ISLAM DI MINANGKABAU
A. SYEKH BURHANUDDIN, ULAKAN (1646 – 1704 )
Syekh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan, baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropah lainnya. Salah satu sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823. Buku ini menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syekh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syekh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syekh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf al Singkli.
Syekh Burhanuddin adalah salah seorang dari murid Syekh Abdur Rauf al Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syekh Kuala. Sekembali dari Aceh, Syekh Burhanuddin membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minang- kabau terus ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ).
Dalam catatan lain terdapat sederetan para ahli dan penulis yang menyelidiki riwayat dan peranan Syekh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan Thomas Diaz tahun 1684 yang diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini telah melibatkan rakyat dalam politik agama yang dikenal dengan nama “perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang kemudian hari melahirkan konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak. Penulis bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam (1961), Sidi Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (1962) dan Prof. Muhmud Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969) mengupas peranan ulama Syekh Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam yang berpusat di Ulakan.
Semua para penulis tersebut sepakat bahwa Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama dan pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang mengembangkan agama Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya di Ulakan.
Syekh Burhanuddin meninggal dunia pada hari rabu 10 Syafar tahun 1116H atau 1704 M di Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap tahun yang dikenal dengan nama “basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada hari Rabu, akan diperingati sebagai “basapa gadang” , bersapar besar-besaran. Menurut perhitungan Prof. Mahmud Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H atau tahun 1641 M di Sintuk, Lubuk Alung, dan memperdalam agama pada Syekh Abdur Rauf selama 10 tahun, dan meninggal pada tahun 1116 H dalam usia 53 tahun.
Ilmu pengetahuan agama yang dalam serta pengalaman kenegaraan yang diperdapat bersama gurunya, Syek Abdur Rauf yang menjadi seorang mufti pada Kerajaan Aceh, menciptakankan sistem pendidikan surau. Murid-murid yang diasuhnya kemudian menyebar di seluruh pelosok Minangkabau yang mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang melahirkan cendekiawan ke pedalaman Minangkabau.
Bahkan Syekh Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan Kerajaan Minangkabau yang menyatakan bahwa hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau. Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.  Peninggalan Syekh Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik, seperti bangunan Surau Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi monumen sejarah dalam membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung monumen itu. Peninggalan sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber penulisan sejarah Syekh Burhanuddin.Surau Syekh Burhanuddin. Peninggalan utama Syekh Burhanuddin yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung Medan dan komplek makam di Ulakan yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya sebagai rasa hormat kepada guru dan pengembang agama Islam di Minangkabau. Dari segi geografis, nagari Ulakan terletak di muara sungai Ulakan di tepi pantai barat Sumatra. Suatu kampung atau nagari yang terletak di tepi pantai paling cepat menerima perkembangan dan pertumbuhan.
Setelah bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, jalan dagang berpindah dari Aceh, pantai barat Sumatra, Banten, Giri di Jawa Timur, Goa dan Tello di Sulawesi, dan Ternate Tidore di Maluku. Di pantai barat Sumatra tumbuh kota-kota perdagangan seperti Meulaboh, Sibolga, Tiku Pariaman, Indrapura. Ulakan, sebagai kota pelabuhan dagang, mengalami kemajuan karena disinggahi oleh para pedagang berbagai daerah dan dari luar negeri seperti saudagar Gujarat, India, Arab dan Cina.Ulakan menjadi suatu pelabuhan penting dan pintu gerbang bagi daerah Minangkabau di masa itu, dan tempat bertemu saudagar-saudagar yang beragama Islam.
Masa Kecil Syekh Burhanuddin
`Tidak banyak keterangan mengenai masa kecil dan latar belakang kehidupan Syekh Burhanuddin yang berkubur di Ulakan itu. Nama kecilnya adalah Pono. Lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066H (1646 M). Ayahnya bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah, suku Koto. Ibunya bernama Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Kehidupan kedua orang tuanya beternak sapi.
Keluarga Pampak Sati gelar Karimun Merah meninggalkan kampung halamannya, Pariangan Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun ke Malalo, terus ke Bukit Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu Tanam. Dengan menghilirkan batang Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk. Jalan ini merupakan jalan dagang yang diawasi oleh Tuan Gadang dari Batipuh.
Di tempat inilah keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama dikembangkannya karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur. Pono dengan rajin dan patuh menggembalakan ternak ayahnya sehingga berkembang biak yang membawa keluarga Pampak termasuk keluarga terpandang di daerah baru ini.
Pono berjalan menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di nagari Tapakis, bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman baru, seorang pemuda sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo, suku Koto, berasal dari Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti yang halus. Di nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syekh Abdul Arif yang terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah. Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syekh Abdul Arif bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin dan Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syekh Abdur Rauf al Singkli dan sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Kosasih dan Syekh Abdul Qadir al Jailani di Madinah. Syekh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan. Anak nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama.
Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya. Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku Madinah meninggal dunia. Pono sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya Pono karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak mungkin ilmu gurunya itu menjadi gagal.
Dengan perasaan hiba dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau menyendiri dari pergaulan ramai, mengingat kemungkaran yang sering dilakukan anak nagari. Untuk mengobati hati yang luluh beliau dengan tekun dan sepenuh hati mengamalkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang diperoleh selama belajar dengan almarhum Tuanku Madinah. Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan teman-teman dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun agama Islam mulai meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk.
Dakwah Pono demikian tidak berlangsung lama. Tantangan demi tantangan datang dari anak nagari, terutama para penghulu suku dan pimpinan nagari. Mereka merasa wibawa mereka akan berkurang karenanya. Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya tantangan semakin menjadi. Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan kemudian dengan ancaman pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan musyawarah nagari untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan dakwahnya. Pono tidak mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk.
Memperdalam Ilmu ke Aceh.
Pada saat krisis ini menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali segar dalam ingatannya pesan almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar memperdalam ilmu agama kepada seorang ulama besar Abdur Rauf al Singkli. Pesan guru ini disampaikan dengan khidmat kepada kedua orang tuanya dan mereka merestuinya. Secara diam-diam mereka berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usia muda, 15 tahun, malam hari Pono meningalkan negari Sintuk menuju Aceh guna memenuhi pesan gurunaya, Tuanku Madinah. Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas kepergian anak tercinta. Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata terus membasahi pipinya. Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah pertama menuju Aceh kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan Islam di Minangkabau. Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh mata-mata pemimpin nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat serta penyerahan diri kepada Allah. Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan berguru kepada Syekh Abdur Rauf al Singkli, seorang ulama yang masyhur waktu itu memenuhi amanat almarhum gurunya yang pertama, Tuanku Madinah. Pono sudah berangkat. Nagari Sintuk sudah jauh ditinggalkan. Tanpa kawan ia menyusuri pesisir Samudra Indonesia. Secara kebetulan, dalam perjalanan ia bertemu dengan empat orang pemuda sebaya dengan dia. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata mereka mempunyai niat yang sama, hendak pergi ke Aceh untuk menuntut ilmu agama kepada Syekh Abdur Rauf. Mereka adalah Datuk Maruhum dari Padang Ganting, Tarapang dari Kubuang Tigo Baleh, Muhammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan.
Terjadilah persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah didapat kata sepakat, Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang diterimanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan, akhirnya dengan selamat mereka sampai di Singkil langsung menghadap dan memperkenalkan diri kepada Syekh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak dari kampung halaman disampaikan dengan sopan.Dengan segala senang hati Syekh Abdur Rauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya.

Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli (1620 -1693)
Syekh Abdurauf Singkel adalah seorang ulama terkenal dalam abad ke-17. Ia dilahirkan pada tahun 1620 di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan sekarang. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf al Ali al Jawi al Fansuri al Singkel. Syekh Abdurauf Singkel dimuliakan oleh rakyat Aceh sejak dahulu hingga sekarang. Banyak legenda mengenai Syekh Abduurauf yang terus hidupdan dikenal turun temurun. Archer dalam bukunya, Muhammadan Mysticism in Sumatera mengatakan, “Syekh Abdurauf Singkel, seorang cendekiawan muslim Aceh yang sekarang dikenal dengan nama Tengku Dikuala. Nama tertancap dalam lubuk hati rakyat sebagai ulama dan intelektual yang jenius pada zamannya.
Sesudah mendapat pendidikan di kampung halamannya dan diibu kota Kerajaan Aceh, ia melanjutkan studinya ke tanah Arab. Pada tahun 16423, ia berangkat ke Mekah. Selama 19 tahun lamanya di tanah Arab, di antaranya Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Batalfakih dan beberapa tempat lainnya. Syekh Abdurauf menyelesaikan studinya pada seorang ulama Tharikat Syattariah yang bernama Molla Ibrahim, pengikut Ahmad Qusyasyi. Pada tahun 1661, ia kembali ke Aceh. Sesampainya di Aceh, ia mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara sungai Aceh. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara orang datang ke tempatnya untuk belajar. Atas usaha murid-muridnya, Tharikat Syattariah yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia dan Semenanjung Malaya. Di antara muridnya yang terkenal ialah Syekh Burhanuddin di Ulakan seorang mubaligh yang terkenal di Minangkabau yang menyiarkan agama Islam secara intensif ke pedalaman Minangkabau. Di samping sebagai mubaligh dan ulama, Syekh Abdurauf terus menerus memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum. Sebuah karyanya dalam lapangan hukum berjudul, ” Hudayah Balighah ala Jum’at al Mukhasaman” yaitu sebuah kupasan mengenai hukum Islam tentang bukti, persaksian dan sumpah palsu. Pendapat Syekh Abdurauf di lapangan hukum syariat sangat dipatuhi rakyat Aceh dan buah pikirannya terus hidup sampai sekarang dan lebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh. Kesanggupan Syekh Abdurauf merumuskan hukum-hukum Islam sangat dikagumi sehingga syariat Islam dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat Aceh saat ini. Syariat Islam telah dijadikan Peraturan Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Karyanya yang berjudul, Miratul Tullab fi tasyil Makrifatul Ahkam Asysyar’iyah li Malikul Wahhab, merupakan sebuah buku pengantar Ilmu Fikih menurut Mazhab Syafi’i. Buku ini hampir sama dengan karya Nuruddin Ar Raniri yang berjudul Sirathul Mustaqim. Bedanya buku Nuruddin ar raniri hanya berisi soal-soal ibadah saja, tetapi buku Syekh Abdurauf berisi juga tentang mu’amalah. Kupasannya mengenai pokok-pokok ajaran tasauf termuat dalam bukunya berjudul Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, dan Umdat al Muhtadin. Tafsir al Quran dalam bahasa Melayu telah diterbitkan di Istambul pada tahun 1882. Kegiatannya sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada masa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin, seorang sultan yang memerintah selama 34 tahun. Masa pemerintahan pemerintahannya adalah masa yang penuh luka-luka karena kekalahan armada Aceh ketika menyerang Malaka pada tahun 1629. Sementara pertentangan faham agama tindakan kekerasan yang dilakukan semasa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin dalam membasmi ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dalam ajaran Syattariah tentang Wihdatul wujud. Bentuk dan sifat pertentangan antara Syekh Abdurrauf dan Ar Raniri dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasauf. Aliran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani bernama wihdatulwujud atau kesatuan ujud.
Wihdatusysyuhud ialah faham umum umat Islam yang menyatakan bahwa alam yang baru iniadalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi, bukkanlah alam itu sebagian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda adanya Tuhan. Pertentangan ini telah ada pada masa Iskandar Muda, namun atas kebijaksanaan Iskandar Muda tidak menimbulkan kekacauan. Namun dalam bidang kebudayaan, sinar kerajaan Aceh semakin bersinar. Aceh masyhur sebagai pusat kebudayaan dan intektual Islam di Asia Tenggara. Syekh Abdurauf adalah seorang ulama dan mubaligh yang membenarkan seorang wanita menjadi Sulthanah yang menunjukkan pikirannya yang maju untuk masanya. Bahkan sampai sekarang masih ada ulama yang tidak membenarkan wanita menjadi pemimpin bangsa. Pada hari Jum’at tanggal 4 Sya’ban 1114 H atau 1698 M, Syekh Abdurauf berpulang ke rahmatullah. Pada batu nisannya terlukis Al Waliyul Malki Syekh Abdurrauf bin Ali. Namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syiah Kuala. Sesudah ia meninggal dikenal dengan nama Tengku di Kuala atau Syiah Kuala. Ia mengambil tempat untuk mengajar di kuala (muara) Krueng (sungai) Aceh dan di sana pula ia dikuburkan.
Syekh Abdur Rauf berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Kemudian beliau kembali ke Aceh langsung mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara Krueng Aceh. Kegiatan rangkang ini maju pesat. Kemampuan Syekh Abdur Rauf merumuskan hukum-hukum Islam dalam bentuk sederhana dan mudah dicernakan, menyebabkan syariat Islam dapat diterima dan dilaksanakan masyarakat Aceh. Atas dasar pengetahuannya di bidang hukum agama, ia diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh.
Syekh Abdur Rauf adalah seorang sufi dari aliran Syattariah dan bermazhab Syafe’i. Fahamnya dalam tasauf tergolong dalam faham yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tidak berbeda faham pendirian Nuruddin Ar Raniri. Dalam polemik beliau menentang ajaran-ajaran Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As Sumatrani cukup tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana sehingga kekacauan dan peperangan agama tidak terjadi dalam masyarakat .
Sejak masa Sulthan Iskandar Muda telah tinggi perbincangan ulama-ulama dalam hal agama, yang terpenting pertentangan antara faham wihdatul ujud,”alam ini adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak ombak. Maka dalam alam zahir ini sebagai bahagian dari pada ketuhanan yang besar. Menurut ahli tasauf dari aliran ini, duania adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta.
Wihdatusyuhud ialah paham yang rata pada umat Islam, bahwa alam yang baharu ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi bukanlah alam ini sebagaian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda dari pada adanya Tuhan.
Karya-karya yang pernah beliau tulis, antara lain: 
1.      Hudayah Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu Pembahasan mengani hukum Islam tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya ini menjadi pedoman dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga dewasa ini.
2.      Miratul Tullab fi Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai pengantar Imu Fiqih menurut mazahab Syafii.
3.      Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan mengenai pokok-pokok ajaran tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam lapangan ini.
4.      Syair makrifat, karangan dalam bentuk puisi.
5.      Tafsir al Qur an, dalam bahasa Melayu.
Syekh Abdurrauf wafat tahun 1114 Hijriyah dimakamkan dekat muara sungai Aceh. Pada makam beliau dibuat orang hiasan tulisan yang berbunyi Al Waliyul mulki Syekh Abdur Rauf bin Ali, menunjukkan betapa besar peranannya dalam kerajaan Aceh pada waktu itu Setelah meninggal dunia beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku di Kuala atau Syekh Kuala.
Kepada ulama dan mubaligh inilah Pono menuntut ilmu dan memperdalam ajaan Islam selama 10 tahun. Lebih-lebih ketika Syekh Abdur Rauf al Singkli diangkat Sulthanat Syafiatuddin sebagai mufti Aceh, Pono dapat belajar tentang kehidupan istana dalam hubungannya dengan kegiatan masyarakat Aceh.
Syekh Abdur Rauf memberikan perhatian istimewa pula kepada Pono. Hubungan antara murid dengan guru terlihat sangat intim. Di samping belajar, Pono membantu guru menggembalakan ternaknya. Membuat dan memelihara kolam ikan sebagai bagian dari kegiatan rangkang ini. Murid-murid di rangkang Syekh Abdur Rauf harus berusaha sendiri dan mempunyai ketrampilan untuk memenuhi keperluan hidup.Pono diajak tinggal serumah dengan guru. Tugas Pono bertambah dengan mengasuh anak-anak sang guru. Pono sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Syekh Abdur Rauf.
Minat serta perhatiannya sungguh luar biasa diikuti dengan daya tangkap yang tinggi. Tidak mengherankan Pono termasuk murid yang terpandai di antara pelajar di sana. Karena itulah Syekh Abdur Rauf mencurahkan sekalian ilmu yang pernah dimilikinya, dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Pono. Ilmu yang dipelajarinya ialah ilmu syariat Islam dengan cabang-cabangnya tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits dan juga ilmu taqwim (hisab). Setelah melalui ujian-ujian berat dilengkapi dengan berkhalwat selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun, akhirnya Pono berhasil lulus dengan baik.
Syekh Burhanuddin kembali ke Minangkabau
Setelah cukup menerima ilmu pengetahuan selama beberapa tahan tibalah masanya Syekh Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri dengan perpisahan antara guru dan murid dengan penuh kasih sayang.Terjadi percakapan antara Syekh Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi sebagai berikut: “Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati. Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat 40 hari lamanya. Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak. Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan. Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.”
“Syukur Alhamdulillah”, kata Syekh Burhanuddin. “Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau. Kini, engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi. Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu.
Sesungguhnya nama Burhanuddin yang engkau pakai adalah nama pemberian guruku itu dan ia mengirimkan sepasang jubah dan kopiah. Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”
Hari ini adalah saat perpisahan antara guru dengan murid dan meninggalkan mesjid Singkil untuk selama-lamanya bagi Syekh Burhanuddin. Syekh Abdur Rauf melepas Syekh Burhanuddin dengan sebuah taufah dan menyediakan perahu disertai sembilan orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Nan Basarung dengan pesan supaya mengantarkan Syekh Burhanuddin sampai di kampung halamannya. Pada saat itu telah terjadi perubahan hubungan antara Aceh dengan Minangkabau. Daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh satu persatu ingin melepaskan diri. Demikian juga halnya dengan Minangkabau. Telah terjadi beberapa kali perkelahian dan peperangan yang banyak memakan korban. Di antaranya gugur seorang panglima bernama Sisangko, kemenakan panglima Kacang Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di Pulau Angso. Perahu Syekh Burhanuddin mendarat di Pulau Angso di muka pantai Pariaman untuk beristirahat dan meninjau keadaan di darat. Bersama dengan pengawalnya kemudian mereka mendekati pantai Ulakan. Perahu Syekh Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di sekitar pantai telah siap berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu Syekh Burhanuddin berpendapat lebih baik kembali ke Pulau Angso menunggu saat yang baik.
Namun, Tuanku Nan Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah mengantarkan orang kampung mereka sendiri yang telah merantau ke Aceh beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung sendiri ke pantai. Ia disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam melakukan tugas yang diembannya. Syekh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh. Ia berpesan kepada Syekh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di kampung halamannya dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung.
Melalui seorang nelayan, Syekh Burhanuddin mengirimkan sepucuk surat kepada teman akrabnya, Idris Majo Lelo yang menyatakan beliau sudah kembali dari Aceh dan sekarang berada di Pulau Angso. Perahu yang mendekati pantai Ulakan kemarin adalah perahu saya yang sengaja dikirim oleh Syekh Abdur Rauf. Setelah menerima surat tersebut, Idris Majo Lelo menyampaikan isi dan maksud surat tersebut kepada pemimpin dan rakyat Ulakan. Besoknya, Idris Majo Lelo diiringi beberapa orang menjemput ulama ini ke pantai Kenaur dekat Pariaman. Kedua teman ini berjabat tangan setelah sekian lama berpisah. Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam. Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia dikuburkan dekat pinago biru ini.
Menyebarkan Ajaran Islam
Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majo Lelo, pemberian dari Raja Ulakan. Ke sanalah Syekh Burhanuddin dibawanya. Dimulainyalah tugas suci mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama dilakukannya di lingkungan keluarga Idris Majo Lelo. Kemudian diikuti oleh tetangga terdekat. Walaupun mendapat tantangan dari golongan ninik mamak dan pemimpin mesyarakat lainnya yang khawatir pengaruhnya akan berkurang, namun akhirnya sebagian besar masyarakat Tanjung Medan sudah menganut agama Islam yang taat. Syekh Burhanuddin meresapkan agama Islam dengan cara lunak dan berangsur-angsur.
Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang berbunyi la iqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam menjalan agama.
Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syekh Abdur rauf.
Ternyata cara baru ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin bahwa kegagalan di Sintuk merupakan keberhasilan yang tertunda, yang baru menampakkan hasil setelah beliau melakukan dakwah islamiyah di dalam dan di luar nagari Ulakan. Dalam usaha meresapkan ajaran Islam terutama diarahkan kepada anak-anak yang masih “bersih” dan mudah dipengaruhi. Diusahakan oleh Syekh Burhanuddin agar anak-anak bermain di halaman surau.Syekh Burhanuddin ikut pula bermain bersama-sama dengan anak-anak tersebut. Setiap memulai permainan Syekh Burhanuddin selalu mengucapkan nama Tuhan, bismillahir rahmanir rahim dan bacaan doa-doa lain.
Itulah sebabnya anak-anak tertarik ingin belajar dan ingin mengetahui isi doa yang dibaca beliau. Setelah murid-murid makin banyak mengaji, akhirnya setelah dimusyawarahkan secara gotong royong dibangun sebuah surau di Tanjung Medan yang sampai sekarang dapat kita saksikan tempat mengaji bagi anak-anak dan santri.
Kesepakatan Bukit Marapalam
Berita kegiatan Syekh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain, ke Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung sendiri. Alam Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan mengintensifkan ke seluruh pelosok Minangkabau. Cara yang dilakukan ialah, dengan meminta restu kepada Raja Pagaruyung. Apabila Raja telah yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam Minangkabau akan mudah dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya belajar di Aceh, Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan Sabatang dan Ami Said, cucu Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian berbicara akhirnya Mangkuto Alam ditunjuk menghadap Daulat Raja Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan “Orang Nan Sebelas di Ulakan.”
Berangkatlah Syekh Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan Mangkuto Alam dan Orang Nan Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang seperlunya menghadap Daulat Yang Dipertuan Raja pagaruyung. Pertama yang ditemui Datuk Bandaharo di Sungai Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan” tersebut., minta izin menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau. Tempat sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum dan saling isi mengisi yang akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Inti sari konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak, sebagaimana disinggung oleh Scherieke dalam bukunya “Pergolakan Agama di Sumatra Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam suatu aksi politik agama.
Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan yang diterima dengan suara bulat. Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya mengembang agama Islam di seluruh Alam Minangkabau. Dalam pepatah adat disebutkan batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syekh Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Bagaimana usaha Syekh Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam waktu yang singkat dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran peranan gurunya di Aceh dengan filsafah “adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja, Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala) teralir dalam pikiran muridnya Syekh Burhanuddin di Ulakan. Daerah pesisir sebagai bagian dari rantau Yang Dipertuan Pagaruyung menentang kehadiran Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Sedang di daerah pesisir mulai berkembang surau-surau yang mengadakan perlawanan terhadap monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo. Antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau. Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam. Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syekh Burhanuddin bersama gurunya, Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau.
Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.
Syariat Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin telah menyinari Alam Minangkabau banyaklah orang yang menuntut ilmu agama. Dari mana-mana orang berdatangan ke Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam sudah masyhur. Surau Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau. Untuk menampung mereka dibangun lagi surau-surau disekeliling surau asal. Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang merupakan satu kampus, permulaan sistem pesantren yang kita kenal sekarang.
Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Syekh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum meninggal dunia, Syekh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan dan pendidikan.
Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syekh Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin yang akan menggantikan kedudukan, “khalipah” kelak. Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan Abdul Rahman sebagai khalipah I. Idris Majo Lelo, teman akrab Syekh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam. Sebagai kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi Khatib nagari Tanjung Medan dan jabatan itu berlangsung sampai sekarang.
Peninggalan Syekh Burhanuddin
Pada batu nisan Syekh Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal 10 Syafar 1116 H bertepatan dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal pada umur yang masih muda, 45 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun 1646. Ketika berangkat ke Aceh ia berumur 15 tahun dan masa belajar di Aceh selama 10 tahun, kegiatan dakwah berlangsung selama 20 tahun.
Di kiri kanan makam Syekh Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang disebut khalipah bernama Abdur Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan, Idris Majolelo. Ketiga makam ini terletak di bawah bangunan empat persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh sebuah masjid kecil yang mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada loteng tergantung tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang rombongan baru tirai itupun diganti. Pengganti-pengganti Syekh Burhanuddin adalah Tuanku-tuanku yang menjadi khalipah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin sampai khalipah ke-16, Tuanku Mudo. Di halaman bangunan berkubah terdapat beberapa makam para pengikutnya, khalipah-khalipah atau pewarisnya. Kebanyakan telah rata dengan tanah. Sebagai pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya batu nisan terbuat dari batu alam berbentuk persegi panjang. Di bagian muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm. Lokan-lokan ini dianggap para pengikutnya mempunyai berkah yang dapat menyembuhan berbagai penyakit. Dekat makam terdapat pula sebuah bangunan yang berguna celengan bagi orang yang berwakaf.
Tanah lokasi surau Syekh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya semasa Syekh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam.Benyak lagi tokoh-tokoh minang yang telah mengembangkan Islam di ranah Minang, namun tidak mungkin kami tiliskan biografi mereka satu-persatu dalam buku ini, sehingga sebagian dari ereka kami cantumkan foto-foto mereka yang dapat kami temukan, sebagai berikut

ANGKU MUDO ABDUL JALIL BONJOL
BUYA H. RUSLI ABDUL WAHID
                                                                                   















BUYA MUHAMMAD DALIL Dt MANUNJUN

BUYA SIRAJUDIN ABBAS







SYEKH ABDUL GHANI BATU BASUREK
SYEKH ABDUL MANAN








SYEKH ABDUL WAHID AS-SALIHI
SYEKH AHMAD TABIANG PULAI MUNGKA
                                                                                     







SYEKH ARIFIN BATU HAMPAR
SYEKH DATUAK HAJI TAEH BUKIK
                                                                                                








SYEKH JA’FAR PULAU GADANG
SYEKH MUKHTAR TUANGKU LAKUANG
                                                                                                         








SYEKH TUANGKU SHALIAH KERAMAT PARIAMAN
SYEKH YUNUS TUANGKU SASAK
                                                                                                                 






                           
SYEKH SULAIMAN AR-RASULLI
SYEKH MUHAMMAD JAMIL JAHO








SYEKH ZAKARIA LABAI SATI
SYEKH ZAKARIA LABAI SATI


                                                                                                                         






BUYA TAHARUDIN LABAI SUTAN
DJINANG PAKIAH MADJO LELO TUANKU LIMO PULUAH








KITAB-KITAB KARANGAN ULAMA MINANGKABAU
1.      Kitab karangan syekh Burhanudin Ulakan
Kitab Tanbihul Ghaby Syarh al-Hikam

2.      Kitab karangan Syekh Ahmad Katib al-Minangkabauwi
Khuttatul Mardhiyyah fi Radd man Qala bibid'ah Talaffuzh bin Niyyah [1906

3.      Kitab karangan Syekh Abdur Rauf Sengkel
Bayan Tajalli dan Daqa'iqul Huruf [Ms. Padang]

4.      Kitab karangan Syekh Ahmad Katib al-Minangkabauwi
Risalah (Izhar, al-Ayat al-Bayyinat dan as-Saiful Battar) [1908]




5.      Kitab karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Kitab Asal Pangkat Penghulu


6.     Kitab karangan Syekh Muhammad Jamil Jaho
Kasyafatul 'Awishah fi Syarh al-Ajurumiyah


7.      Kitab karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Kitab Enam Risalah [1920]

8.     Kitab karangan Syekh Muhammad Jamil Jaho

Tazkiratul Qulub fi Mu'amalati Alamal Ghuyub [1957]


9.      Kitab karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Dawa'ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya'qub [1924

10. Kitab karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan [1923]
11. Kitab karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Qur'an [1929]
12. Kitab karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Kisah Muhammad 'Arif (Pedoman Hidup di Alam Minangkabau) [1939]

BAGIAN  III
TABIYAH ISLAMIYAH
A.   Proses Berdirinya Tarbiyah Islamiyah
Tarbiyah Islamiyah adalah suatu organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh beberapa orang ulama besar Sumatera Barat pada tanggal 5 mei 1928 M / 15 zulkaedah 1346 H tempatnya di canduang, bukittinggi. Untuk mendirika Tarbiyah Islamiyah ini tentu tidak akan mudah, untuk mendirikan suatu lembaga sosial kemasyarakatan sekaligus menjadi lembaga pendidikan tentu sangat membutuhkan sosok tokoh yang sangat berpengaruh di temngahtengah masyarakat. Untuk itu ada tiga tokoh yang sangat sentral untuk  mempelopori berdirinya Tarbiyah Islamiyah ini, yaitu:
·        Maulana Syekh Sulaiman Ar-Rasuly (Inyiak Canduang)
·        Maulana Syekh Muhammad Jamil Jaho (Inyiak Jaho)
·        Maulana Syekh Muhammad Sa’ad Mungka
Sejak awal Tarbiyah Islamiyah ini berdiri, para pendirinya sudah menyatakan komitmennya bahwa Tarbiyah Islamiyah berpaham kepada paham ahli sunnah waljama’ah dan untuk mazhab fiqhnya mereka menganut mazhab syafi’i.
Pada dasarnya pendidikan keagamaan sudah bejalan cukup lama di ranah minang, tapi pada saat itu masih belum efektif karna masih berbetuk sistem pendidikan klasik. Oleh karna siklus dari reformasi yang dilakoni oleh inyiak canduang, maka beliau melakukan sebuah gebrakan untuk  membentuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
Proses berdirinya madrasah ini diawali oleh musyawarah antara ulama-ulama yang menganut paham ahlisunnah waljama’ah yang ada di Sumatera Barat pada tanggal 5 mei 1928. Dan akhirnya pada musyawarah ini disepakati bahwa ada reformasi sistem pendidikan dari klasik menjadi sistem Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Ada beberapa ulama yang menghadiri musyawarah tersebut, diantaranya adalah :
        Syekh Sulaiman Ar-Rasuly
        Syekh Abbas Al-Qhadi (Ladang Laweh, Bukittinggi)
        Syekh Ahmad (Suliki)
        Syekh Muhammadjamil Jaho (Jaho, Padang Panjang)
        Syekh Abdul Wahid Ash-Sholeh (Suliki)
        Syekh Muhammad Arifin (Batu Hampar)
        Syekh Alwi (Koto Nan Ampek, Payakumbuh)
        Syekh Jalaluddin (Sicincin, Pariaman)
        Syekh Abdul Madjid (Koto Nan Gadang)
        Mhs Sulaiman (Bukittinggi)
Seiring dengan bergantinya waktu dan melihat perhatian masyarakat yang semakin tinggi terhadap pendidikan agama Islam, sehingga dengan waktu relatif singkat berdirilah beberapa Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) di sumatera barat, dan sekarang sudah ada sekitar 216 MTI yang berdiri di sumatera barat. menurut  urutan tahun berdirinya  ada tiga Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI)  yang mula-mula berdiri di Sumatera Barat, Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) itu adalah:
·        MTI CANDUANG di Candung Bukittinggi  yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuly pada tahun 1928 M. Tetapi pada dasarnya pendidikan di sana sudah ada sebelum Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) ini didirikan, karna sebelum itu di candung ini sudah ada pendidikan pesantren. Jadi tida berarti dalam tahun 1928 tersebut dimulai kelas satu, malah pada saat itu sudah banyak santri yang telah menguasai seluk beluk ajaran agama.
·        MTI JAHO di jaho padang panjang yang didirikan  oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho pada tahun 1929 M. sama halnya dengan Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) yang pertama di jaho ini juga sudah terdapat pengajian-pengajian yang belum formal, tetapi baru di formalkan pada tahun ini yaitu dengan berdirinyan Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) Jaho ini.
·        MTI MALALO di padang laweh malalo yang didirikan oleh Syekh Zakaria Labia Sati bertepatan dengan  tahun 1930 M. hal ini sesuai dengan catatan yang tertera pada papan petunjuk nama Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo.
Dan dalam rangka keikutsertaan organisasi Tarbiyah Islamiyah untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan republik Indonesia maka pada tanggal 28 mei 1930 Syekh Sulaiman Ar-Rasuly mendirikan Persatuan Tarbiyah  Islamiyah (PERTI). Pada dasarnya PERTI hanya sebagai organisasi yang bertujuan untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Namun disebabkan gejolak revormasi yuang terjadi pada tahun 1946 maka organisasi PERTI beralih fungsi menjadi partai politik yang dipelopori oleh K.H Sirajudim Abbas murid dari syekh Sulaiman ar-Rasuli  sendiri.
Peralihan ini terjadi bukan karna gejolak revormasi pada saat itu saja , tetapi juga ada faktor lain, seperti maklumat NO.X/1945 pada bulan november yang dikeluarkan oleh wakil Presiden Moh. Hatta (Bung Hatta), yang isinya  mendorong agar semua  masyarakat  Indonesia ikut serta bergabung dengan partai  politik,  bahkan dianjurkan untuk membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi di tanah Nusantara tercinta.
Maka dengan adanya beberapa faktor tersebut yang membuat K.H Sirajudjin Abbas berinisiatif untuk mendirikan paratai politik yang berbasis tarbiyah islamiah, lalu beliau meminta izin kepada sesepuh atau para pendiri Tarbiyah Islamiyah, dan bak Gayung bersambut kata terjawab para pendiri pun setuju untuk mendirikan patai tersebut, dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokoknya yaitu pendidikan, dakwa, kegiatan sosial keagamaan dan keummatan.
Sehingga pada bulan desember 1946 melalui KONGRES Tarbiyah Islamiyah di bukittinggi diputuskan persatuan tarbiya islamiyah membuat suatu partai yaitu PI PERTI (Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah) sekaligus mengangkat K.H. Sirajudin Abbas sebagai ketua umumnya. sehingga PERTI pun ikut mengambil andil dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun seiring dengan berlalunya waktu, terjadi perpecahan di dalam tubuh  PI PERTI itu sendiri, karna perebutan kursi kekuasaan dan setelah munculnya perbedaan pandangan di kalangan internal organisasi ini, apalagi selama 23 tahun partai ini berjalan telah meluputkan perhatian pada tujuan semula dalam bidang pendidikan karena lebih terfokus pada masalah-masalah politik,
 Sehingga hal tersebut membuat  kecewanya para pendiri Tarbiyah Islamiyah terutama Syekh Sulaiman ar-Rasuly, maka untuk menmyelamatkan organisasi ini, beliaupun mengambil suatu keputusan dangan mengeluarkan dekrit pada tanggal 1 mei 1969 agar  PI PERTI kembali ke khitahnya sebagai organisasi yang bergerak dibidang sosial seperti pada awal berdirinya 1928.
Sehingga dalam perkembangannya setelah tahun 1970an, organisasi Tarbiyah berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik (yang bukan partai politik), yaitu Golongan Karya.

Tujuan Tarbiyah Islamiyah
Kalau kita berbicara mengenai apa tujuan berdirinya Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo, tentu saja kita akan mendapat jawabannya melalui Mars Tarbiyah yang selalu dinyanyikan oleh santi/santriwati yaitu WUJUDNYA TARBIYAH adalah untuk mendidik manusia dengan ilmu berlaku baik beramal shaleh,melarang kita berbuat dosa di dunia ini.Untuk lebih jelasnya izinkanlah kami menyampaikan butir-butir dari tujuan berdirinya sebagai berikut :
a.      Kita harus melanjutkan sistem pendidikan Rasulullah sehingga umat Islam benar-benar dapat hadir sebagai sosok manusia yang memiliki kekuatan vital untuk membangun peradaban manusia yang di redhai Allah SWT.
b.      Membentuk moralitas muslim sejati dengan harapan semoga terdapatnya suatu zaman yang disana akan lahir nanti para muslim dengan kepribadiannya yang cemerlang sehingga mampu menghadirkan zaman keemasan bagi Islam kembali.
c.      Untuk meningkatkan ketaqwaan dan mempertebal iman pada Allah Swt, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi perkerti dan mempertebal semangat keagamaan.
d.      Mendalami ajaran islam Ahlussunnah wal jam’ah bermazhab Syafri’ah.
e.      Menghindarkan umat islam terjerumus ke dalam tradisi-tradisi jahiliyah bahkan bertentangan dengan ajaran tauhid, iman mereka luntur dan kabur.
f.       Membantu pemerintah dalam membangun mental seperti termuat dalam GBHN “Pendidikan itu mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia Pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa”.
g.      Ikut serta melaksanakan tujuan pendidikan seperti yang disarankan oleh pemerintah yaitu “ membentuk manusia Indonesia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
h.      Membantu pemerintah membebaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan bangsa lain sebelum Indonesia merdeka seperti mengusir bangsa Jepang dan Belanda yang tidak berperikemanusiaan pada zaman dahulu.
i.        Menyalurkan aspirasi masyarakat dan minat belajar yang tinggi dalam mendalami ajaran islam yang dibawa oleh Rasulullah yang bersumberkan Al-Qur’an,Hadist,Ijma’dan Qiyas apalagi sekarang sudah banyak hukum-hukum islam menjadi beku tersudut dan tak berlaku.
j.        Juga merupakan wadah bagi masyarakat yang ekonomi lemah khususnya di Malalo yang tidak bisa menyerahkan anaknya ke sekolah di luar Malalo.
k.      Mengangkat derajat manusia yang rendah dari pandangan mata manusia yang mendewakan kekayaan dan pangkat, menjadi manusia yang berilmu pengetahuan agama yang bisa menyelamatkannya dunia akhirat.
Selain tujuan yang telah dicantumkan di atas, ada beberapa keinginan lagi yang hendak dicapai oleh Tarbiyah Islamiyah, diantara tujuan yang sangat luhur itu, baik untuk diri pribadi atau untuk kehidupan berkeluarga dan masyarakat serta bangsa dan tentunya untuk agama Islam.Tujuan tertinggi dari Tarbiyah Islamiyah adalah membentuk manusia yang baik dan bettaqwa kepada Allah, sebagaimana ungkapan Al Qur'an:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ    
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al Hujurat: 13).
Sedangkan tujuan Tarbiyah Islamiyah secara umum  adalah, “Menciptakan keadaan yang kondusif  bagi manusia untuk hidup di dunia secara lurus dan baik, serta hidup di akhirat dengan naungan ridha dan pahala Allah SWT”.
Bagi kalangan santri, tujuan Tarbiyah Islamiyah apabila dijabarkan ada beberapa bagian penting sebagai berikut:
Tujuan Tarbiyah untuk Kepribadian (individu)
Tujuan tarbiyah Islamiyah pada dasarnya ditujukan kepada diri pribadinya terlebih dahulu, sebelum akhirnya nanti memberikan kontribusi bagi yang lain. Adapun tujuan Tarbiyah bagi pribadi santri adalah:
a.     Membentuk seorang Muslim yang sempurna
Tujuan Tarbiyah yang pertama kali adalah membentuk kepribadian sebagai muslim yang paripurna. Seluruh aspek kemanusiaan muslim hendaknya ditumbuhkan sehingga akan melahirkan potensi yang optimal. Baik segi ruhaniyah (spiritual), fikriyah (intelektual), khuluqiyah (moral), jasadiyah (fisik), dan amaliyah (operasional).
Menurut Syaikh Hasan Al Banna, kepribadian Islam meliputi sepuluh aspek, meliputi hal-hal sebagai berikut:
·        Salimul Aqidah. Setiap individu dituntut untuk memiliki kelurusan aqidah yang hanya dapat mereka peroleh melalui pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah.
·         Shahihul Ibadah. Setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan tuntunan syari’at. Pada dasarnya ijtihad bukanlah hasil ijtihad seseorang karena ibadah tidak dapat diseimbangkan melalui penambahan, pengurangan,  atau penyesuaian dengan kondisi dan kemajuan zaman.
·        Matinul Khuluq. Setiap individu dituntut untuk memiliki ketangguhan akhlaq sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwat.
·        Qadirun alal Kasbi. Setiap individu dituntut untuk mampu menunjukkan potensi dan kreativitasnya dalam kebutuhan hidup.
·         Mutsaqaful Fikri. Setiap individu dituntut untuk memiliki keluasan wawasan. Ia harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengembangkan wawasan.
·        Qawiyul Jismi. Setiap individu dituntut untuk memiliki kekuatan fisik melalui sarana-sarana yang dipersiapkan Islam.
·        Mujahidun linafsihi. Setiap individu dituntut untuk memerangi hawa nafsunya dan mengokohkan diri di atas hukum-hukum Allah melalui ibadah dan amal shalih. Artinya, setiap pribadi dituntut untuk berjihad melawan bujuk rayu setan yang menjerumuskan manusia ke dalam kebathilan dan kejahatan.
·        Munazhamun fi Syu’uniha. Setiap individu dituntut untuk mampu mengatur segala urusannya sesuai dengan aturan Islam. Pada dasarnya segala pekerjaan yang tidak teratur hanya akan berakhir pada kegagalan.
·        Harisun ala Waqtihi. Setiap individu dituntut untuk mampu memelihara waktunya sehingga akan terhindar dari kelalaian. Setiap individu juga dituntut untuk mampu menghargai waktu orang lain sehingga tidak akan membiarkan orang lain melakukan kesia-siaan.
·         Nafi’un li Ghairihi. Setiap individu harus menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain.
Tarbiyah bagi seorang  muslim hendaknya mampu menumbuh kembangkan berbagai sifat positif dalam kepribadian, sehingga lahirlah pribadi mempesona, buah dari proses tarbiyah yang berkesinambungan.

b.     Membentuk seorang  Da’i yang handal
Setelah kepribadian Islam pada diri seorang muslim terbentuk, mereka harus dipersiapkan pula untuk menjadi aktifis dakwah atau seorang da’i. Islam tidak hanya menuntut seseorang untuk sholeh secara individual, akan tetapi juga sholeh secara sosial. Untuk itulah tarbiyah menghantarkan seorang mulsim untuk memiliki kepribadian sebagai da’i yang aktif mengajak masyarakat melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari keburukan.
Allah Ta’ala menyebutkan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai karakter pokok laki-laki dan perempuan yang beriman :
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At Taubah 9 : 71).

c.      Memberikan pelatihan amal dan pengalaman
Seorang santri Tarbiyah juga diharapkan memberikan pelatihan (tadrib) amal dan pengalaman (tajribah) di lapangan. Mereka  harus mendapatkan pelatihan amal yang memungkinkannya memiliki penguasaan medan yang bagus. Pelaku dakwah harus memiliki pengalaman yang luas dan penguasaan yang matang, sehingga berbagai amanah bisa dikerjakan dengan optimal.
Tarbiyah bukan hanya berbentuk forum kajian keilmuan, akan tetapi ia juga praktek di lapangan. Mereka dilatih dengan penunaian tugas-tugas dakwah,. Selain itu juga dilibatkan dalam kegiatan kepanitiaan ataupun kelembagaan, sehingga memiliki pengalaman yang luas dalam berbagai medan dakwah.
Kepanitiaan dalam suatu kegiatan tertentu penting untuk melatih mereka  agar memiliki kemampuan beramal jama’i. Selain itu juga penting untuk menumbuhkan ruh ukhuwah dan ruh berjama’ah untuk mereka kembangkan dalam lingkungan masyarakat, menumbuhkan rasa tanggung jawab dan amanah. Dan Untuk melatih kemampuan berorganisasi, merancang kegiatan, berinteraksi dengan berbagai macam kalangan dan sifat manusia, maka aktivitas dalam kepengurusan sebuah organisasi adalah sarana pelatihan yang amat baik.  
Tujuan Tarbiyah bagi Masyarakat
Tarbiyah Islamiyah bagi para santri  bukan hanya bertujuan untuk kebaikan diri dan keluarganya, akan tetapi juga memiliki tujuan yang lebih luas lagi yaitu untuk masyarakat. Tarbiyah Islamiyah  tidak akan mencetak sosok pribadi yang puritan, anti sosial, dan tidak mengenal masyarakat. Justru diharapkan dengan tarbiyah Islamiyah akan mengoptimalkan peran-peran penting di tengah komunitas masyarakat. Di antara tujuan tarbiyah Islamiyah  dalam kaitannya dengan masyarakat adalah Menumbuhkan kepekaan dan jiwa  sosial
Tarbiyah bertujuan untuk membentuk seorang muslim yang memiliki kepekaan dan jiwa sosial, yang menyebabkan mereka tanggap terhadap problematika sosial kemasyarakatan. Mereka nantinya diharapkan menjadi pekerja sosial yang handal untuk menyelesaikan permasalahan keumatant. Mereka dilarang berpangku tangan apabila  melihat ketidakbaikan ditengah-tengah  masyarakat.
Kepekaan dan jiwa sosial ini memang harus senantiasa diasah agar tidak tumpul, dengan sebuah proses tarbiyah. Dengan demikian tarbiyah bukanlah proses yang eksklusif dengan perhatian yang senantiasa ke dalam diri sendiri, akan tetapi bermuatan inklusif dengan perhatian terhadap kehidupan sosial masyarakat. 

SEJARAH BERDIRINYA
PONDOK PESANTREN TARBIYAH ISLAMIYAH MALALO
Pada dasarnya sejarah berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo atau PPTI Malalo) itu secara garis besarnya memiliki dua periode, sebagaiman sejarah bangsa Indonesia. Karna berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Malalo itu terjadi pada saat Indonesia masih dalam keadaan terjajah oleh bangsa asing, hingga sekarang setelah Indonesia merdeka.
Karna berdirinya MTI Malalo didua periode yang berbeda, dan memiliki permasalahan atau kahidupan masyaraka yang berbeda pula, sehingga sejarah perjuangan berdirinya MTI Malalo juga akan memiliokji perbedaan antara sebelum kemerdaan dan sesudah kemerdekaan.
A.   Tarbiyah Islamiyah Malalo Sebelum Indonesia Merdeka
Jauh sebelum berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah di malalo, masyarakat yang hidup di pinggir danau Singkarak dan sekalis berada di bawah kaki bukit patah gigi ini sudah merasakan kebutuhan mereka terhadap ilmu agama, sehingga hal tersebutlah yang menuntun mereka untuk selalu berusaha mendalami  ilmu agama.
pada awalnya mereka mempelajari ilmu agama di mesjid-mesjid, atau di surau-surau dan rumah-rumah penduduk. Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan  masyarakat setempat adalah wirid atau pengajian, kegiatan ini sudah menjadi budaya yang selalu dilestarikan bagi masyarakat malalo yang tentunya beradat pada adat Minangkabau, karna mereka selalu menyadari filosofi adat minangkabau bahwa  Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.” Dan hal tersebut tidak akan bisa mereka bantah lagi.
Tapi wirid yang dilakukan tersebut masih belum memuaskan keinginan masyarakat, karna wirid tersebut belum mempelajari kajian agama yang menedalam. Apalagi melihat apresiasi masyarakat yang semakin tinggi terhadap pendidikan ilmu agama, sehingga  timbullah suatu gagasan dari pemuka masyarakat setempat , alim ulama serta cerdik pandai untuk mendirikan sebuah sekolah agama di Nagari Malalo.
Melalui kerja sama seluruh lapisan anggota masyarakat akhirnya Alhamdulillah sebuah sekolah yang diberi nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah berdiri di Malalo pada tahun 1930 M tepatnya di dusun padang laweh. Madrasah ini dipimpin oleh Yarhamukallah Abuya Syech H.Zakaria Labai Sati. Abuya sangat dikenal oleh masyarakat sebagai seorang ulama yang mempunyai pandangan basyirah yang dalam, hingga banyak sekali masalah agama yang belum tahaqiq serta menjadi perdebatan ditengah-tengah masyarakat beliau selesaikan. Beliau juga seorang tokoh yang berani mempertahankan kebenaran meski apapun halangannya, asal masih dijalan Allah tidak  pernah merasa takut untuk melakukannya, dan hal tersebut yang seharusnya kita contoh. Serta bantuan  oleh guru-guru yang lain seperti Abuya Dt.Pangulu Kayo dan Engku Lukman Hakim.
tahun demi tahun Madrasah ini semakin populer ditengah-tengah masyarakat. Terbukti dengan banyaknya santri yang berdatangan yang berdatangan ke Madrasah ini tentunya dengan tujuan menuntut ilmu agama. Santri tersebut berasal dari berbagai daerah  di Indonesia, seperti Palembang, Tapanuli, Pekanbaru, Jawa Timur, Tanjung Pinang, Bengkulu, Aceh,   serta dari Sumatra Barat sendiri.
Tetapi berdirinya Madrasah ini tentu tidak akan semudah yang kita bayangkan, karna pada saat itu daerah Nusantara masih dalam jajahan pemerintahan Belanda. Tentu proses belajar mengajar akan sangat terganggu dengan keadaan yang seperti ini.
Semakin tahun jumlah santri semakin banyak,dengan keadaan tersebut tentu Madrasah memerlukan pemondokan untuk sarana tinggal mereka selama belajar di Madrasah ini.Maka dibangunlah sebuah Mushalla yang dikenal dengan sebutan Surau Tinggi sebagai tempat tinggal Kepala Sekolah sekaligus Asrama Putri.Sementara untuk putranya di tampung dirumah-rumah penduduk yang berada di sekitar nagari padang laweh Malalo bahkan sampai ke nagari tetangga karna meluapnya santri di Madrasah Tarbiyah Islamiyah, dan hal ini dilakukan dengan penuh rasa kekeluargaan. Karna semua warga juga memberikan dukungan yang sangat tinggi  untuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah padang laweh malalo ini.
Di Madrasah ini santri dididik selama 7 (tujuh ) tahun,tingkat pertama 4 (empat) tahun dengan menerima ijazah TSANAWIYAH dan tingkat keduanya 3 ( tiga ) tahun dengan menerima ijazah ALIYAH.
Selama masa pendidikan, para santri yang berprestasi ditugaskan untuk mengajar adik-adik kelasnya pada malam hari. Kegiatan ini dilakukan para santri tanpa pamrih, semata-semata bertujuan menyumbangkan ilmu yang sudah didapat dan menambah mantapnya ilmu tersebut serta mendidik mereka untuk  menjadi pemimpin ditengah-tengah masyarakat mereka nantinya. Hingga sekarang tradisi seperti ini masih tetap dipertahankan.
Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah ini banyak yang diminta oleh masyarakat kepada Abuya untuk menjadi tenaga pengajar di daerah mereka. Mengingat pada zaman itu tenaga guru agama masih sangat dibutuhkan dan Negara Indonesia ini masih dibawah kendali pemerinthan kolonial Belanda. Akibatnya alumni-alumni Madrasah ini banyak tersebar keberbagai penjuru Nusantara. Hal tersebut secara tidak langsung menambah harumnya nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah
B.   Tarbiyah Islamiyah Malalo Setelah Indonesia Merdeka
Kita telah banyak mendengar dan mengetahui betapa sengsaranya orang tua kita yang  hidup dimasa pemerintahan kolonial Belanda, karna selalu ditindas bahkan disiksa terus  menerus hanya untuk bangsa lain yaitu bangsa Belanda yang pada saat itu mereka menyebut masyarakat sebagai bengsa inlanders  yang artinya bangsa jajahan,tetapi dengan keadaan yang seperti itu mereka masih mampu untuk memperjuangkan pendidikan di atas bumi Indonesia ini, seperti para pejuang Madrasah Tarbiyah Islamiyah, yang selalu berusaha terus- menerus untuk menegakkan panji-panji pendidikan agama Islam di Negara Indonesia terutama di ranah alam Minangkabau.
Hasil perjuangan mereka tersebut bias kita lihat  setelah Indonesia mampu merebut kemerdekanya, contohnya saja ratusan alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang mereka tempa selama di madrasah mampu untuk membantu pemerintahan Indonesia diinstansi-instansi pemerintahan dan swasta bahkan banyak pula yang mendirikan Madrasah didaerah kelahiran mereka,seperti:
Abuya Zamzami di Sengkel – Aceh
Abuya Ibrahim di Lamno – Aceh
Abuya Adul Aziz – Calang
Engku Bakhtiar di Kampar – Riau
Abuya Ali Imran di Pariaman – Sumatra Barat
Muhibbittibri di Aek Nopan – Sumatra Utara

Juga banyak yang menjadi pimpinan Jama’ah tariqat dan Majlis Ta’lim,seperti:
Nuryamsi pimpinan jamah di Teluk Kuantan
Abdul Hamid pimpinan jamaah di Riau
Abdul Gafar pimpinan di jamaah Riau
Bahauddin pimpinan jamaah di Singkel
Engku Karim pimpinan jamaah di Tanjung Barulak
Namun untuk mencetak ornag seperti di atas tidak bisa lakukan begitu saja, karena dalam prosesnya Madrasah Tarbiyah Islamiah Malalo pernah ditutut dan dibuka kembali oleg Buya labai Sati karena beberapa hal atau kondisi yang menuntut untuk menutupnya. Seperti pada tahun 1959 sampai 1962 M Madrasah harus ditutup karena pergolakan PRRI yang sangat parah di daerah Sumatera Tengah pada waktu itu. Dan pada watu itu Buya pergi ke Aceh tepatnya ke daerah Labuan Haji, Mukek nama kempung kecilnya. Dan tepat pada tanggal 1 syafar 1962 M  Buya kembali ke Malalo dan Madrasah kembali dibuka. Pada saat itulah Buya ditawarkan untuk kerja di pemerintahan, namun Buya menolaknya.
Semenjak itu kegiatan belajar mengajar semakin ditingkatkan oleh Buya, baik yanh bersifat internal ataupun yang bersifat eksternal, seperti pada setiap selasa ba’da magrib selalu wirid besar atau tabliq akbar di mesjid Nurul Huda Padang Laweh. Penceramahnya selalu bergantian yang di ambil dari para santri Madrasah dan selalu ditutup dengan penyampaian ceramah dari Buya sendiri.Dan selalu diadakan kegiatan suluk di Surau tinggi menimal dua kali setahun.
Dan pada tahun 1968 M  tepatnya pada har jum’at kegiatan belajar mengaajat kembali terganggu kerena terjadi badai besar yang membuat atap sekolah rusak, namun pada waktu itu kegiatan belajar mengajar tidak berhenti secara total seperti masa PRRI kerena proses belajar mengajar masih dilakukan di tempat-tempat lainnya. Yang pada tahun itu Buya pergi ke Aceh untuk mencari dana untuk memperbaiki sekolah yang rusak tersebut, namun di perjalanan pulang Buya menghadapi Bahaya yang bembuat Buya terdampar di Pulau Dun-dun.
Tahun demi tahun santri Madrasah ini kian bertambah jumlahnya sehingga sarana pendidikan yang tersedia tidak mampu lagi menampung para santri.Pada tahun 1996 M,diatas sebidang tanah wakaf dibangunlah 7 ( tujuh ) lokal ruang belajar dengan dana swadaya masyarakat serta bantuan pemerintah.Kegiatan pembangunan lokal ini dilaksanakan oleh masyarakat dan santri secara gotong royong.
Dalam masa jayanya,pendidikan di Madrasah ini laksana obor yang menerangi kegelapan malam.Namun pada masa itu pula datang cobaan yang sangat berat bagi kelangsungan pendidikan di Madrasah ini.Dimana pada tahun 1973 M.Abuya selaku pendiri tulang punggung Madrasah berpulang ke Rahmatullah.Dapat kita bayangkan betapa haru dan sedihmya suasana yang menyelimuti Madrasah ini pada waktu itu.
Sepeninggalan Abuya kepemimpinan Madrasah ini dilanjutkan oleh Tengku Datuak Tianso Nan Putiah. Namun kepemimpinam beliau tidak berjalan lama,pada tahun itu juga kepemimpinan tersebut beliau serahkan kepada putra sepupu Abuya yaitu Tengku M.Yunus. Beliau memimpin Madrasah ini dalam waktu yang tidak begitu lama,karena tidak lama berselang kepemimpinan ini pun beliau serahkan kepada Abuya yaitu Tengku Aidarus Z. Seperti Tengku M.Yunus, Engku Aiduris Z juga menyerahkan kepemimpinan madrasah ini pada Ustadz Samsuardi. Masa pergantian kepemimpinan yang silih berganti ini terjadi selama  satu tahun setelah kepergian Abuya Syech H. Zakaria Labai Sati.
Pada akhir  tahun 1974 M kepemimpinan madrasah ini dipercayakan kepada putri Abuya Nur’aini Z. Dengan penuh keyakinan kepada kekuasaan Allah SWT untuk melanjutkan amanah dari para pendiri Madrasah,beliau melanjutkan perjuangan Madrasah ini dengan gigih dan pantang menyerah meskipun banyak hal yang beliau hadapi dimasa-masa kepemimpinannya.Dengan dibarengi semangat  kerjasama dengan pengurus,majlis guru dan masyarakat yang terukir dalam sebuah tekad untuk tidak akan membiarkan Madrasah ini mati atau tutup kecuali bila memang sudah ditakdirkan Allah SWT,perlahan-lahan laju pendidikan di Madrasah mulai bangkit lagi dari keterpurukkannya sepeninggalan Abuya.
Masa kebangkitan Madrasah Tarbiyah Islamiyah ini kembali mendapatkan cobaan dengan berpulangnya ibunda Nur’aini Z ke Rahmatullah,tepatya pada tanggal 26 September 1986 M .Kepemimpinan di tubuh Madrasah pun otomatis menjadi lumpuh.
Menanggapi keadaan ini para pemuka masyarakat mengadakan musyawarah guna mencari pengganti Ibunda Nur’aini Z untuk melanjutkan jalannya pendidikan di Madrasah ini musyawarah ini  menemukan  kata sepakat meminta kesedian Abuya H. Thaharuddin Labai Sutan untuk melanjutkan jalannya roda pendidikan Madrasah.Syukur Alhamdulillah permintaan masyarakat ini dapat beliau penuhi karena beliau sangat mencintai Madrasah dimana beliau pernah di tempa,meskipun pada saat itu beliau sedang bertugas menjadi Kepala Sekolah sebuah Madrasah di Tingkarang-Rao Mapattunggul Kabupaten Pasaman.Penugasan untuk menjadi guru di daerah ini beliau jalani karena perintah dari Abuya Syech H. Zakaria Labai Sati untuk memenuhi permintaan masyarakat daerah tersebut.
Abuya  H.Thaharuddin dilantik sebagai kepala sekolah Madrasah Tarbiyah Islamiyah oleh BUPATI TANAH DATAR  Ikasuma Hamid dan di hadiri pula oleh Pembantu Gubenur Wilayah II Hasan Basri pada akhir tahun 1986 M.
Tahun 1987 M adalah tahun dimana Abuya dihadapkan pada tantangan budaya modern yang sangat mempengaruhi minat orang tua untuk menyerahkan anaknya ke sekolah agama atau madrasah.Ditambah lagi dengan sarana belajar yang tidak mendukung serta pemondokan santri yang sudah tidak layak pakai karena di telan usia.Tantangan dan kekurangan yang ada memacu semangat Abuya untuk membuat Madrasah ini tetap berkiprah ditengah-tengah masyarakat.
Pada tanggal 28 Desember 1988 M Madrasah ini resmi menjadi PONDOK PESANTREN  dengan nama PONDOK PESANTREN TARBIYAH ISLAMIYAH MALALO yang diresmikan oleh Gubernur Sumatra Barat Azwar Anas.
Dalam perjalanan kepemimpinan Abuya H. Thaharuddin  Labai Sutan, santri di pesantren ini tahun ke tahun terus bertambah jumlahnya hingga mencapai 300 orang. Mengingat peran ganda yang dijalani Abuya selama ini sebagai pengurus pendidikan sekaligus pengurus pembangunan.
 Maka saat ini pembenaan fasilitas pendidikan adalah terfokus kepada pembangunan mengingat sarana dan prasarana yang ada sekarang tidak memadai lagi bila diukur dari angka pertumbuhan jumlah santri pertahunnya.
Saat ini sarana yang dimiliki pesantren adalah:Lahan seluas 5,348 M2,1 buah Mushalla (20x18) M2 ( sudah hancur karena bencana Gempa ), Asrama putri (25x11) M2, Asrama putra (20x11) M2,4 lokal permanent, 7 lokal semi permanent (sudah tidak layak pakai ).
Dan seiring bergantinya tahun demi tahun Abuya yang dulunya sehat dalam menjalankan aktifitasnya sebagai Pimpinan sekarang kesehatan Beliau telah berkurang.Maka supaya kegiatan sekolah ini tetap berjalan lancar,maka Bagian TSANAWIYAH diserahkan  kepada Dra. Sriwati begitu juga dengan ALIYAH diserahkan kepada Zulmas,S.Pd.I. Sementara Abuya hanya sebagai Pimpinan Pondok.
Tapi semakin hari kesehatan Abuya semakin menurun dan tidak dapat melaksanakan tugas Beliau dengan sepenuhnya.Untuk itu Abuya berinisiatif menyerahkan kepemimpinan Beliau kepada orang yang bisa mengantikan Abuya dengan baik.
Maka disepakati Kepemimpinan Abuya diserahkan kepada putra kandung  Almarhum Abuya H. Zakaria Labai Sati. Yaitu Izzuddin Datuak Panduko Nan Banso yang bertepatan dengan tanggal 4 Dzulhijjah 1432 H/11 Desember 2010 M. Dan pengukuhan  Kepemimpinan tersebut  dilaksanakan tanggal  27 Muharram 1432 H/2 januari 2011 M yang disaksikan oleh seluruh masyarakat dan para alumni. Untuk mendukung Kepemimpinan ini supaya kegiatan sekolah berjalan dengan lancar maka di bentuklah struktur kepegurusan Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo sebagai beriku








BAGIAN IV
BIOGRAFI
PARA PATRIOT
MADRASAH TARBIYAH ISLAMIAH
Mungkin banyak diantara saudara-saudara yang bertanya-tanya mengapa kami di sini memakai kata patriot, atau mungkin ada diantara saudara yang tidak setuju dengan kata-kata tersebut. Sebenarnya menurut kami hal tersebut tidak ada masalahnya, karna perbedaanlah kita bisa bisa jadi teguh dalam kehidupan ini.
Sebenarnya kami memakai kata petriot karna terinspirasi dari buku karangan Andrea Herata yang berjudul sebelas patriot. Disitu dia menceritakan tentang sebelas pesepak bola yang menurutnya adalah sebelas pahlawan bangsa, kalau dia mengatakan pesepak bola adalah pahlawan, jadi apa salahnya kalau ulama-ulama yang memperjuangkan Tarbiyah juga kita sebut dengan pahlawan bangsa bahkan Agama.
Demi memperluas pengetahuan kita tentang tarbiyah islamiyah. Maka ada baiknya bagi kita untuk mengetahui biografi dari para pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiah, tapi kami tidak dapat menyajikan biografi mereka secara lengkap, karna kekurangan referensi yang kami temukan. Dan mari kita lihat satu persatu dari perjalanan mereka dalam menuntut ilmu agama.
1.     Syekh Sulaima Ar-Rasuli (Inyiak Canduang)
Di sini sangatlah pantas apabila kita terlebih dahulu membahas biografi dari seorang ulama sumatera barat yang sangat fenomenal di zamannya, bahkan apa yang beliau usahakan di zamannya tersebut masih bisa kita rasakan sampai saat sekarang ini, beliau adalah orang yang sangat berperan besar dalam perjuangan berdirinya  Madrasah Tarbiyah Islamiah  secara khusus dan organisasi Tarbiyah Islamiah  secara umumnya. Beliau ialah Syekh Sulaiman Ar-Rasuly.
 Syekh Sulaiman Ar-Rasuly dilahirkan di candung yaitu sebuah desa yang kurang lebih sekitar 8 KM sebelah timur kota bukittinggi, tepatnya di kaki gunung merapi sumatera barat pada tahun 1871. Panggilan populer beliau adalah inyiak canduang. Inyiak canduang dilahirkan oleh pasangan angku Muhammad Rasul dan Siti Buliah. Kedua orang tua beliau merupakan orang yang taat beragama, bahkan ayah beliau adalah seorang ulama[24].
Dari bidang pengetahuan, beliau berguru atau menuntut ilmu kepada beberapa ulama yang ada di sumatera barat pada saat itu, diantara nya beliau berguru kepada :
Ø  Awalnya beliau belajar al-quran di Batu Hampar, Payakumbuh
Ø  Kemudian  belajar di Pesantren Tuanku Sami Ilmiyah di Baso
Ø  Syekh muhammad Thaib Umar di Sungayang, Batu Sangkar
Ø  Syekh Abdullah Halaban
Setelah itu, pada tahun 1903 beliau berangkat ke tanah suci makkah mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan memperkaya lagi ilmu  pengetahuan agamanya dengan ulama-ulama yang terkenal di sana, seperti :
Ø  Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy
Ø  Syekh Muchtar  ath-Tharid
Ø   Syekh Umar Bajened
Ø  Syekh Nawawi al-Banteny
Ø   Syekh Sayid Abbas al-Yamani
Sewaktu bermukim di Mekkah beliau belajar bersama empat orang sahabat beliau yang juga berasal dari tanah Minangkabau, yaitu: Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan Syekh Abbas Padang Panjang.
Setelah cukup lama beliau di makkah, maka bliau kembali ke ranah minang pada tahun 1907. Lalu beliau pun mengembangkan ilmu yang beliau dapat di tanah kelahiran beliau dengan cara membentuh halakah-halakah. Dan beliau juga ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan indonesia.
Selama beliau hidup beliau juga aktif  dalam mengarang beberapa buku dan kitab yang masih seputar agama Islam dan juga mengenai Islam di Minangkabau, di antara buku karangan beliau antara lain[25]:
·        Dlau-us Siraj fil mi’raj (mi’raj Nabi)
·        Shamaratul Ihsan fi wiladah Sayyidil Insan (Maulid Nabi)
·        Dawaul Qulub fi Qish-shah Yusuf wa Ya’kub (sejarah Nabi)
·        Risalah al-Aqwalul Washithah Fidz-dzikir war Rabithah (tasawuf)
·        Al Qulub Bayan fi Tafsiril Qur’an (ilmu Tafsir)
·        Al  jawahirul  Kalamiyah  (Ushuluddin)
·        Sabilus Salam fi  Wirid Saidiyah Ummah ( Doa-Doa)
·        Kisah Muhammad Arif (Tasawuf)
·        Perdamaian Adat dengan Syara’
·        Pertalian Adat dan Syara’ di Minangkabau
·        Pengangkatan OPewnghulu-Penghulu di Minangkabau
·        Al-Aqwalul Mardiyah (Tauhid)
Beliau meninggal dunia pada tanggal 1 agustus 1970. Dan beliau masih meninggalkan sebuah madrasah yang masih berdiri hingga detik ini, yang kita kenal dengan MTI Canduang. Semoga limpahan rahmat dan karunia selalu dicurahkan Allah kepada beliau. Aamiin ya Rabb..!!!!!!
Sebagai kenangan  bagi beliau yang telah membimbing masyarakat baik dalam ilmu agama dan juga dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara dan bangsa, maka pada tahun 1969 M pemerintah telah menetapkan beliau sebagai salah seorang perintis kemerdekaan. Dan pada tahun  1975 M Gubernur Sumatera Barat juaga telah menganugerahkan  kadapa beliau sebuah Piagam tanda Penghargaan sebagvai “ulama pendidikl, yang diserahkan kepada ahli waris beliau. Namun beliau juga opernah meneriama “ Bintang Perak” dari Pemerintah Belanda dan “Bntamng Sakura” dari Pemerintah Jepang.

2.     Syekh Muhammad Jamil jaho (inyiak jaho)
Beliau dihirkan di suatu desa atau suatu daerah kecil yang terletak di daerah tambangan, padang pajang, sumatera barat, nama daerah kecil tersebut adalah nagari jaho, pada tahum 1875. Beliau dilahirkan oleh pasangan Datuk Garang atau Tuanku Kadhi Tambangan (dari tambangan) dan Umbuik, seorang perempuan yang sangat di segani oleh masyarakat setempat pada masa itu[26].
Keluarga beliau adalah keluarga yang sangat relegius, sehingga latar belakang tersebut yang memdorong beliau untuk selalu mendalami ilmu agama dan membuat beliau haus akan ilmu agama itu sendiri.
Beliau belajar al-Qur’an langsung pada sang ayah, setelah beliau bisa baca tulis al-Qur’an, beliau pun belajar kitab-kitab perukunan (kitab-kitab arab melayu) jaga pada sang ayah. Di saat usianya mengijak 13 tahun, beliau sudah bisa menghafal al-Qur’an.
Setelah beliau hafal al-Qur’an, lalu ayahnya mulai mengajarkan kitab kuning (arab gundul) kepada beliau. Sehingga beliau pintar bahasa arab secara lisan maupun secara tulisan.
Selanjutnya beliau mulai belajar di halaqah-halaqah yang ada di daerahnya, yaitu di pesantren yang dibina oleh syekh al-Djafri di Gunung Rajo dan beliau pun menjadi murid kesayangan oleh syekh al-Djafri tersebut.
Pada tahun 1893 M beliau menyelesaikan belajar pada syekh al- Djafri dan melanjutkan ke seorang ulama fiqih terkenal di Tanjung Bungo  Padang Ganting yaitu syekh al-Ayyubi. Disinilah beliau kenal dengan syekh Sulaiman ar-Rasuly, dan beliaupun menjadi sahabat yang sangat dekat. Dan mereka belajar di sana selam 6 tahun. Lalu mereka berdua melanjutkan belajar ke Biaro Koto Tuo. Tempat berkumpulnya para ulama-ulama besar pada saat itu.
Pada tahun 1899 mereka pun menyelesaikan belajar di sana dan melanjutkan menuntut ilmu ke pada syekh Abdulla Halaban, yaitu seorang ulama yang sangat alim dibidang ilmu fiqih dan ushul fiqih. Disinilah syekh muhammad jamil jaho atau inyiak jaho dipercayai menjadi seorang pengajar atau guru (ustadz). Beliau juga sering di ajak olek syekh Abdullah Halaban pergi ke pengajian-pengajian keliling sumatera barat.
Pada tahun 1908 beliau berangkant ke makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menambah ilmu pengetahuan beliau disana. Tetapi, sebelum beliau berangkat, beliau mempersunting seorang gadis yang berasal dari tambangan yang bernama Saidah. Dan dari istri beliau yang inilah beliau dianugerahi dua orang putri kelaknya yaitu, yang mereka beri nama samsiiah dan syafiah.
A.Ginanjar  mengutip dari mukaddimah kita Tazdkirah al-Qulub karangan Iyiak Jaho sendiri mengungkapkan bahwa saat di makkah beliau berguru kepada beberapa orang ulama, diantaranya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, Syekh Alwi al-Mliki (guru fiqih mazhab Maliki) Syekh Muchtar al-Affani (guru fiqih mazhab hambali). Di sana beliau belajar bersama teman-teman beliau yag lain yang juga berasal dari Indonesia, diantaranya:
·        Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah dari buya Hamka)
·        Syekh Sulaiman Ar-Rasuly Canduang
·        Syekh Ibrahim Musa Parabek
·        Kiyai Ahamad Dahlan.
Menurut keterangan yang kami dapat hanya Inyiak Jaho dan Syekgh Karim Amrullah yang diberi dikesempatan untuk mengajar di Masjidil Haram Mekkah. Beliaua belajar disana selama 10 tahun sehingga beliau menerima 3 ijazah dari tiga orang ulama di sana, yaitu:
·        Syekh Ahmad Khatib (guru fiqih mazhab syafi’i)
·        Syekh Alwi al-Mliki (guru fiqih mazhab Maliki)
·        Syekh Muchtar al-Affani (guru fiqih mazhab hambali)
Setelah beliau kembali ke kampung haamannya, beliau mempelopori berdirinya Persatuan Ulama Minangkabau yang disebut “Ittihadul Ulama” yang di pimpin oleh Syekh Saads Mungka Lima Puluh Kota, sementara Inyiak Jaho dipilih sebagai penasehat tinggi bersama Syekh Abdul Karim Amrullah, syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman ar-Rasully, Syekh Muhammad Zein Simabukr, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang padang panjang, Syekh Muhammad Thaib Sungayang, Syekh Abbas Ladang Laweh Bukittinggi. Ittihadul ulama ini selalu bergerak di bidang dakwah melalui mimbar, juga aktif dalam menerbitkan majalah islam “araad wal Wadud”.
Seterusnya pada tahun 1924 beliau mendirikan surau dan membuat halaqah pengajian di kampung beliau, dan konon halaqah inilah yang berkembang menjadi sebuah  madrasah yang kita kenal dengan MTI Jaho.
Inyiak Jaho juga di kenal sebagai ulama yang berperan besar dalam kiprah Muhammadiyah di ranah minang terutama di padang panjamg kerena beliaulah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah di Padang Panjang bersama syekh Muhammad Zain Simabur, S.Y.St, Mangkuto dan Datuak Sati.
Tetapi beliau bersama syekh Muhammad Zain Simabur  mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi ini pada saat kongres/Mu’tamar Muhammadyah yang ke-16 di Pekalongan Jawa tengah pada tahun 1927. Alasannya  adalah  pada persoalan membuka peluang ijtihad yang terlalu bebas dan menolak ittiba’ kepada pendapat ulama yang terdahulu.
Karna beliau dan Inyiak Candung memang dikenal  ulama yang berpaham menolak pola ijtihat yang terlalu bebas dan menerima bersikap Ittiba’ kepada ulama-ulama terdahulu. Namun bukan berarti mereka tidak menerima ijtihat sama sekali. Karna mereka mengikuti cara berfikir syekh Yusuf Nabhani yang anti dengan pemikiran Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridha.
Lalu pada tahun 1928 mereka mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang telah kita bahas sebelumnya. Sebelum beliau wafat pada tahun 1360 H/ 1941 M, beliau sempat menulis beberapa karya tulis, di antaranya:
·        Tazdkiratul qulub fil muraqabah ‘allamul ghuyub (tasawuf)
·        Nujumul hidayah Firaddi ‘Ala Ahli Ghiwayah  (buku yang menolak paham Ahmadiyah Qodyan)
·         As-syamsul lami’ah fi Aqidah ad Diyaanah
·        Hujjatul balighah
·        Al-maqalah ar-radhiyah
·        Kasyful awsiyah.
3.     Syekh Zakaria al-Anshori Labai Sati
Syekh Zakaria al-Anshori Labai Sati adalah seorang ulama yang dilahirkan di malalo kecamatan Batipuah (sekarang Batipuh Selatan), Tanah Datar tepatnya di daerah padang laweh yang terletak kurang lebih satu kilo sebelum pasar Malalo tersebut, yang bertepatan pada tahun 1898 M.
Pada awalnya beliau hanya dikenal dengan panggilan buyuang dan orang luar malalo mengenalnya dengan nama buyuang malalo, walaupun  nama asli beliau adalah Zakaria. Beliau mengawali pendidikannya di sekolah formal waktu itu dikenal dengan SR atau Sekolah Rakyat, setelah itu beliau pergi mengaji atau mendalami ilmu agama Islam ke Koto Baru Padang Pajang bersama dengan kakak beliau yang bernama Tuangku Dt. Pangulu Kayo (ayah dari tuangku Muhammad Yunus yang pernah menjadi pimpinan PPTI) dan mareka mendalami ilmu agama di daerah tersebut.
Lalu beliau melanjutkan pendidikan beliau kedaerah padang pajang lainnya yaitu daerah Jaho Tambangan, tetapi pada saat itu beliau sudah fashih membaca kitab sehingga beliau pun menjadi murid yang sangat pintar dan menjadi murid kesayangan sang Guru yaitu Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Setelah cukup lama beliau menggali ilmu bersama Syekh Muhammad Jamil Jaho beliau pun kembali ke tanah kalahiran beliau untuk mengembangkan ilmu yang beliau dapat di tengah-tengah masyarakat. Sehingga tepat pada tahun 1930 beliau berinisiatif dan juga dukungan dari masyarakat setempat untuk mendirikan sebuah madrasah yang dikenal dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo).
Beliau memiliki beberapa orang istri dan beberapa orang anak, istri beliau yang pertama adalah Maimunah (almarhumah) dan dikarunia bebepara orang anak, yang kedua adalah Saunah di Dua Koto suatu daerah yang terletak di atas pasar Malalo dan memiliki 3 orang putri:
·        Nur’aini,
·         Syamsidar, dan
·         Hayatun Nufus.
Istri beliau yang ketiga adalah Jamiah di Padang Laweh   dan memilki 6 orang anak:,
·        Izzuddin Dt. Panduko nan Banso (pimpinan pondok sekarang),
·         Mulkhair
·        Habiburrahman,
·        Syhiruddin,
·        Nailus Sa’adah, dan
·        Azizatul Jannah
 istri beliau yang terakhir adalah Salamah yang berasal dari daerah Aceh dan dikarunia satu orang putri yang bernama Raudhatun Nur dan seoranga putra yang bernama Muhibbuttibri.
Pada tahun 1967 M beliau pergi menunaikan panggilan Allah ke Mekkah yang pada saat itu masih menggunakan kapal. Dalam perjalanan beliau itu beliau sempat singgah di Universitas yang sudah ada di Madinah al-Munawarah pada saat itu.
Ada beberapa kisah menarik dalam kehidupan beliau yang pernah penulis dengan dan penulis rasa pantas untuk dituangkan ke dalam buku ini, diantaranya:
A.    Tambahan al-Anshari pada nama beliau
Konon ceritanya gelar al-Anshori yang ada di belakang nama beliau itu buan dari orang tua atau sanak keluarga beliauy, tetapi diberi oleh sahabat beliau sendiri yang bernama syekh Muda wali Aceh[27], atau yang lebih dikenal dengan sebutan buya Aceh.
Cerita ini diawali ketika buya Aceh datang ke Suamatera Barat dan mendatangi daerah-daerah Suamatera Barat yang terkenal tinggi ilmu agamanya, dan akhirnya buya Aceh sampai ke madrasah Tarbiyah  Islamiyah Jaho pada  tahun 1940-an.
Dimalam harinya buya Aceh berkumpul dengan para santri senior dan terjadi aksi tanya jawab yang cukup tegang antara Buya Aceh dengan para santri Tarbiyah Islamiyah Jaho sampai akhirnya ada satu pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa mereka jawab pada saat itu. Pertanyaan tersebut mengenai masalah yang ditemui oleh Buay Aceh dalam suatu kitab yang menerangkan bahwa “ketika hari raya ID jatuh pada hari jum’at dan orang sudah melakukan sholat ID, maka orang tersebut tidak perlu sholat jum’at lagi, cukup sholat Dzuhur saja”.
Pada pagi harinya inyiak Jaho mengirim sebuah surat pada Buya Labai Sati atau yang dikenal pada saat itu dengan nama Buyuang Malalo.setelah Buya Labai Sati menerima surat tersebut, lalu beliau brangkat dari Malalo, dan disore harinya Buya Labai Sati sampai di Tarbiyah Jaho, sesuada sholat ‘isya mereka kembali berkumpul  untuk kembali melanjutkan diskusi/perdebatan yang masih ditunda semajak kemaren malamnya. Dan pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa dijawab itu akhirnya bisa dijawab oleh Buya Labai Sati. Karna perdebatan itu sangat panjang sehingga semua santri Tarbiyah Jaho yang ada di ruangan itu tertidur.
Karena tidak ada yang bertanya lagi,maka Buya Labai Sati memberikan satu pertanyaan kepada Buya Aceh, karena hal inilah nama Buya Labai Sati menjadi Syejkh Zakaria al-Anshari yang langsung diberikan oleh Syekh Muda Wali sendiri.
Dan semenjak pertemuan itulah Buya Labai Sati dan Buya Aceh menjadi sahabat yang sangat dekat, sehingga suatu ketika ada orang dari Maninjau yang membatalkan kajian tarekat,  mereka berdualah yang diutus oleh Buya Jaho untuk meluruskan masalah yang dikemukakan oleh orang Maninjau tersebut.
Kebersamaan beliau dengan buya Aceh juga berdampak pada kebiasaan biliau yang akhirnya berubah karena buya Aceh ini yaitu dalam menentukan awal bulan ramadhan. Awalnya buya Labai Sati melaksanakan Puasa terakhir sebagaimana kebanyakan orang Malalo pada saat itu. Namun hal ini tidak pernah dibantah oleh Buaya Aceh, karena rasa toleransi (tasamuah) mereka antara satu dengan yang lainnya sangat tinggi yang sangat kental dalam konsep ahlussunnah wal jama’ah.
Suatu ketika akan memasuki bulan ramadhan Buya Aceh mengajak Buya Labai Sati untuk melihat hilal ke padang, sesampainya di indaruang Padang, ketika waktu matahari tenggelam, dan pada saat itu mereka berdua langsung melihat hilal sudah ada, sehingga keesokan harinya mereka berpuasa, padahal biasanya Buya Labai Sati puasa terakhir, namun pada waktu itu beliau hurus puasa awal, karena beliau sendiri yang melihat hilal pada sorenya. Begitu juga juga saat menentukan awal syawal beliau kembali diajak oleh Buya Aceh untuk melihat hilal dan kejadian semula kembali beliau lihat. Sehingga selama tiga tahun berturut-turut selalu begitu dan akhirnya Buya Labai Sati menghilangkan kebiasaan lama beliau yang pergi melihat hilal setelah orang puasa, namun setelah kejadian itu beliau selalu meliahat hilal sebelum orang berpuasa.
Mereka berdua juga pernah pergi menemui Buya Sidi Talau di Pariaman seorang ulama Syaktari, di sana mereka membahas suatu kajian tentang Khutbah. Permasalahannya adalah mengenai khutbah bahasa Arab dan bahasa Indonesia, menurut keterangan yang ada dalam kitab Mahalli mengatakan (لايكفي بغير العربية) tidaklah syah selain dengan bahasa Arab. Namun walupun begitu beberapa mkalimat setelah dituskan لايضر غير العربية في غير الاركان و[28]. Sedangkan menurut Buya Labai Sati dan Buya Aceh tujuan khutbah tersebut adalah menasehati jama’ah agar meningkatkan ketaqwaan, apabila semuanya isi khutbah tersebut disampaikan dengan bahasa Arab, dan tidak semua orang yang mengerti dengan bahasa Arab, sehingga tujuan awal khutbah tersebut tidak tercapai. Maka atas pertimbangan mereka berdua, mereka mengambil kesimpulan bahwa rukun khutbnah tersebut tetap harus bahasa Arab,dan isinya boleh bahasa indonesia. Namun sebelum duduk antara dua khutbah rukun Khutbah yang pertama juga harus diulang kembali, supaya ketika khutbah dengan bahasa selain bahasa Arab yang tidak boleh menurut ulama Syafi’iyah juga terikuti, karena ketika mengulang membaca rukun khutbah pertama tersebut maka tidak ada lagi diselingi denga bahasa lain, maka khutbah  menjadi utuh dengan  bahasa Arab. Begitu hati-haitnya mereka dalam mengambil hukum.
Namun walaupun mereka telah menjadi teman yang akrab, mereka tidak menganggap kalau mereka adalah sahabat, mereka selalu menganggap guru antara satu dengan yang lainnya. Karena menurut Buya Labai Sati Buya Acehlah gurunya, sedangkan menurut Buya Aceh Buya Labai Satilah Gurunya.
B.     Terdampar di Pulau Dun-dun
Hari jum’at tahun 1968 ruangan tempat belajar santri Madrasah Tarbiyah Islamiyah rusak parah karena dihantam angin yang sangat dahsat, waktu itu adalah sebelum ujian kenaikan kelas. Karena kondisi madrasah yang tidak memungkinkan lagi dan memerlukan perbaikan total yang jelas membutuhkan dana yang lumayan besar, maka buya Labai Sati berinisiatif untuk berangkat ke Aceh untuk mencari dana yang dibutuhkan tersebut.
Setelah beberapa hari di Aceh beliau pun hendak kembali pulang ke Padang Laweh, namu ketika sampai di pelabuhan kapal yang rencananya akan beliau tumpangi rusak dan beliau sudah memiliki perasaan yang tidak enak, sehingga beliau kembali turun dari kapal tersebut, nama kapal tersebut adalah KM. PERTISA.
Namun selang beberapa saat beliau pun dijemput oleh awak kapal dan mengatakan bahwa kapal sudah selesai diperbaiki dan sudah bisa untuk berlayar. Akhirnya beliau berangkat sore itu dengan tujuan Sumatera Barat.
Ketika kapal sudah sampai ditengah laut cuaca menjadi mendung, selang beberapa saat hujan turun yang disertai dengan angin. karena KM. Kempertisa bukanlah kapal yang besar sehingga kapal tersebut menjadi oleng. Karena takut kapal akan tenggelam kapten kapal meminta kepada para penumpang agar semua barang dibuang ke laut untuk mengurangi beban kapal. Karena cuaca yang tidak juga membaik akhirnya kapal tersebut terdampar disebuah pulau karang yang bernama pulau Dun-dun[29].
Tetapi disaat itulah terjadi keajaiban dimana setiap kali mereka merasa lapar menepilah ikan-ikan yang dengan mudah mereka tangkap, lalu ikan-ikan itulah yang mereka bakar dan mereka makan selama satu minggu mereka di sana.
Karena mereka sudah merasa resah maka sang kapten bertanya kepada Buya Labai Sati, lalu pada jam 10.00 malam Buya melaksanakan sholat istikarah. Setelah beliau sholat istikarah beliau mengatakan bahwa akan datang bantuan  sebuah kapal besar yang bagus kepada kapten tersebut.
Besok paginya mereka melihat sebuah titik hitam kecil di tengah laut, pada jam 07.00 beliau kembali melaksanakan sholat istikarah sekali lagi, setelah sholat beliau mengatakan bahwa bantuan akan datang, namun setelah sampai jam 12.00 titik tersebut belum berubah atau bergerak juga, sehingga para penumpang yang lain mencemoohkan beliau. Beberapa saat setelah itu, barulah titik tersebut mendekat dan berubah bentuk menjadi sebuah kapal besar yang bernama kapal LENGKENG.
Setelah kapal besar tersebut menepi dan mereka naik kepal tesebut, lalu mereka bertanya kepada awak kapal Lengkeng ini, ternyata kapal ini dari Jakarta hendak pergi Sibolga, lalu awak kapal Lengkeng ini melihat ada sebuah bendera merah yang mengapung, ketika mereka ingin mengambilnya mereka mengalami kesusahan, karena bendera tersebut diapit oleh dua buah drum dan selalu didorong oleh arus kapal sehingga mereka susah untuk mengaambilnya, hal inilah yang menyebabkan mereka lama ditengah laut yang dilihat oleh para penumpang yang terdampar bersama buya Labai Sati tadi. Ketika mereka mendapatkan bendera itu mereka menemukan sebuah tulisan di bagian bawah bendera itu yang mengatakan “Kempertisa terdampar di pulau Dun-dun,” dan di bawahnya tertulis kata  “TOLONG.!!!!”.
Setelah sampai di Sibolga beliau disambut dan diinapkan di sebuah hotel untuk beristirahat karena sudah satu minggu terdampar di pulan Dun-dun. Dan akhirnya buya kembali ke kampung halaman Padang laweh dengan selamat, tetapi pada saat beliau sampai di Padang Laweh, beliau hanya menggunakan celana, jas dan sorban yang beliau kenakan, karena barang beliau yang disuruh lemparkan ke laut oleh kapten kapal kempertisa itu tidak bisa diselamatkan lagi.
C.    Mendapatkan Mursyid Ditarekat Naqsabandiyah
Syekh Zakaria atau lebih kita kenal dengan nama Buya Labai Sati mendapat atau mencapai derajat mursyid ditarekat Naqsabandi adalah di daerah Pulau Gadang. Pada awalnya beliau tidak hendak menuntut ilmu tarekat ke daerah itu, karena pada saat beliau menyelesaikan studi beliau di Jaho, beliau ingin merantau ke Malaya sebagaimana generasi muda Minangkabau lainnya, pada saat itu beliau tidak seorang diri, karena beliau pergi bersama dengan teman beliau yang bernama Tuangku Harun dari Sumagek Tangah XX Padang Laweh Malalo.
Namun sesampainya di tempat penyeberangan menuju daerah Malaya, beliau mendapat berita dari Kapten kapal yang akan mereka tumpangi itu, bahwa sedang ada konflik di tempat tujuan mereka tersebut, sehingga banyak ulama yang  dimsukkan ke dalam penjara oleh Raja setempat.
Sehingga setelah mempertingbangkannya bersama dengan sahabat beliau, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk kembali saja ke kampung halaman, karena perasaan beliau sudah merasa tidak enak lagi. Sebat tidak sumua yang beliau pandang baik belum tentu dipandang baik pula oleh masyarakat setempat.
Ketika beliau dan sahabatnya hendak kembali ke kampung Halaman, mereka singgah terlebih dahulu di aderah Pulau Gadang yang pada saat itu ada jama’ah yang sedang suluk, sehingga mereka memutuskan untuk ikut suluk terlebih dahulu supaya perjalanan beliau tidak sia-sia.
Namun baru beberapa jam bergabung dengan jama’ah suluk, tuangku Harun disuruh pulang oleh Mursyid, karena beliau melanggar suatu aturan suluk tersebut, sehingga tinggallah Buya Labai sati di sana sendirian.setelah tiga hari melaksanakan suluk, beliau disuruh pulang terlebih dahulu dan disuruh kembali pada bulan haji di tahun itu oleh buya Pulau Gadang. Buya Pulau Gadang merasa bahwa untuk tahap awal bagi beliau, karena buya Pulau Gadang melihat ketekunan dari beliau. Lalu beliau mengikuti saran yang diberikan oleh Mursyid beliau tesebut.
Setelah sampai dikampung halaman beliau kembali belajar di halaqah-halaqah yang sudah ada pada waktu itu dan mengamalkan kajian tarikat yang beliau bisa. Setelah sampai di bulan haji atau bulan dzulhijjah beliau kembali ke Pulau Gadang untuk melakukan suluk untuk yang kedua kalinya, dan pada suluk yang kedua inilah beliau mampu pada derajad Mursyid, sehingga beliau bisa mengembang ilmu Tarekat Naqsabandiyah di daerah kelahiran beliau sendiri.

D.    Keajaiban Saat Beliau Meninggal Dunia
Kisah ini diceritakan oleh engku Lasykar Harun yang di dapatnya dari istri beliau yaitu ibuk Nur ‘aini, anak buya zakariya sendiri, kata ibuk Nur’aini Buya Zakariya meninggal dua kali, dan buya Zakariyah meninggal bertepatan pada hari senin jam 4 dini hari 11 ramadhan 1349 H/8 oktober 1973 M dalam umur 75 tahun.
Ketila buya Zakariya Labai Sati meminpin kegiatan suluk di padang laweh, di mushallah beliau (lebih dikenal dengan nama Surau Tinggi), kegiatan ini hampir setiap bulan ramadhan beliau adakan, karna beliau seorang mursyid dalam Tarekat Naqsabandi yang bisa memimpin dalam kegiatan tawajjuh (Taqarrub ilallah dengan cara berzikir) dalam ajaran tariqat, dan memimpim di dalam suluk serta membai’at orang yang mau masuk tareqat naqsabandi tersebut.
Disaat beliau akan meninggal dunia. Mula-mula terdengar seperti orang tersedak di kerongkongan beliau oleh murid beliau engku Labai yaitu orang Gunung Rajo yang telah diangkat menjadi mursyid oleh buya, setelah suara  itu hilang, dilihat dan di raba buya oleh engku Labai, ternyata buya tidak bernafas lagi, pada waktu itu buya berada di kamar beliau. dan diangkat buya keluar dan diletakkan di mihrab musahllah serta di tutup beliau dengan kain panjang.
Namun tiba-tiba  beliau duduk sambil berkata kepada orang yang ada didekat didekat beliau, mendengar sapaan buya jama’a seluruhnya mendekat, jama’ah suluk beserta jama’ah sholat empat puluh, buya bertanya kepada mereka,” apa yang terjadi? Murid buya menjawab dan menceritakan kejadiannya bahwasanya tadi waktu buya didalam kamar kami lihat buya sudah tiada, lalu kami bawa buya kesini. Buya berkata” benar katamu lalu buya menyuruh untuk memanggil keluarga beliau yaitu:
·        Gapuak (kakak beliau)
·        Saunah (istri beliau yang di Sumagek)
·        Jami’ah (istri beliau yang di Padang Laweh)
·        Nur’aini (anak beliau atau istri engku Lasykar harun)
·         Salamah (istri beliau yang di Aceh)
Setelah keluarga buya datang, buya menceritakan kejadian yang dialaminya ,bahwasanya tadi datang seorang kawan kepadaku dan berkata kepadaku” disini buya rupanya, ayo berangkat kita lagi buya (kerahmatullah), ayolah kataku, di dalam perjalanan, aku teringat belum berwasiat kepada orang yang ku tinggalkan, dan sekarang aku berwasiat kapada kalian semua bahwasanya sekolah yang aku dirikan ini toloong jangan kalian tingkalkan dalam arti tolong hidupkan sekolah ini, dijaga dan di rawat.
Setelah itu buya bertanya kepada mereka “apa kalian sudah pahan dengan maksudku”, mereka menjawab” sudah buya”, lalu buya menghembuskan nafasnya yang terakhir, kata engku Lasykar sendiri beliau beliau meninggal waktu itu dalam keadaan tersenyum[30].
Dapat penulis pahami dari kisah kepergian buya Zakariya ini kerahmatullah yang begitu menabjubkan, itu semua karna amal kebaikan beliau yang begitu indah di sisi Allah SWT, sehingga malaikat maut sendiri segan kepada belia. Kalau bukan karna amal kebaikan beliau tak mungkin malaikat maut tersebut menuruti permintaan beliau begitu saja tuk mengembalikan roh beliau yang sudah terpisah dengan jasadnya mungkin ini suatu bukti dari firman Allah







Dan hadis Rasulullah




Artinya: siapa yang mengajak kepada kebaikan dia akan mendapatkan pahala, dan pahala orang-orang yang mengikut kebaikan kebaikan tersebut (riwayat Muslim).
Itulah yang selalu buya amalkan selama beliau hidup, belajar dan mengajarkan ilmu yang beliau dapat kepada orang yang belum mengetahui,
    
4.     Sekeilas Tentag  Ustadzah Nuraini .Z
Ustadzah Nuraini adalah anak kandung dari maulana syekh Zakaria Labai sati dari istri beliau yang pasar malalo, dan ustadzah Nuraini memiliki dua orang saudara yaitu Syamsyidar dan Hayatun Nufus. Z dan beliaulah anak tertua dari mereka semua. Beliau sendiri dibesarkan juga dilingkunan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, sebagaimana anak-anak Buya Zakaria lannya.
Namun memilki satu kelebihan, yaitu beliau merupakan orang cerdas, sehingga dengan mendengar doa-doa  yang dibacakan oleh ayah beliau, beliau sudah mampu mengingat doa tersebut., sehingga apabila Abuya tidak bisa mengaji dengan jamaah d surau tinggi, beliaulah yang menggantikan Abuya dengan cara mengajarkan doa-doa yang telah hafal oleh beliau tersebut. Begitu juga disaat jamaah bertanya kepada Abuya, maka biasanya Abuya akan menyuruh jamaah untuk bertanya kepada beliau. Dan yang sangat luar biasa itu, karena semua kegiatan ini beliau lakukan disaat beliau belum masuk sekolah dasar (SD) atau SR.
Untuk dunia pendidikan, sewaktu beliau kecil beliau belajar di MTI malalo terlebih dahulu baru beliau masuk SR, sehingga ketika beliau di SR beliau sudah lancar baca tulis, sehingga hanya dalam empat  tahun beliau sudah ditamatkan dari SR pada saat itu. Setelah itu beliau kembali belajar MTI malalo yang saat itu masih dipimpin oleh Syekh Zakaria Labai Sati yaitu ayah kendung beliau sendiri.
Setelah tamat dari MTI malalo, lalu beliau mengajar di MTI malalo itu juga. Beliau dinikahi oleh seorang terntara yang bernama Ahmad Damnahuri yaitu orang Pasaman (kalau sekarang di daerah Pasaman Barat) namun ayah dari bapak Ahmad Damnahuri ini adalah orang Tanjug sawah Malalo yaitu Tuangku Abdullah Thaat. Namun setelah beliau nikah lalu beliau dibawa oleh suaminya ke Medan, dan dari suaminya ini beliau memilki empat orang anak, yaitu:
·        Zulhelmi
·        Rasyidah
·        Rahimah
·         Zulfahmi
Lalu karena satu dan lain hal pada tahun 1965 beliau bercerai dengan suami beliau ini, kemudian beliau kembali mengajar di MTI malalo. Dan pada tahun 1974 beliau kembali menikah dengan Engku Lasykar Harun. Dari pernikahan beliau yang kedua ini beliau kembali dianugrahi tiga orang anak, yaitu:
·        Fakhrizah
·        Fakhriati
·        Rimzatul Fitriyah
Setelah  beliau melahirkan anak beliau yang pertama beliau jatuh sakit selama satu bulan 27 hari, ketika itu beliau sudah menjadi pimpinan MTI malalo, dan ketika beliau sakit ini MTI malalo dipimpin oleh Engku Syamsuardi. Dan setelah beliau sehat dari sakitnya kepemimpinan MTI malalo dikembalikan ke tangan beliau[31]
MTI Malalo dimasa kepemimpinan beliau
Dimasa kepemimpinan beliau ada beberapa hal penting yag perlu kita ingat, diantaranya adalah:
A.    Pada tahun 1976 sampai 1986 MTI malalo sudah mengadakan UN (ujian negeri), yang saat itu untuk tingkat tsanawiyah pergi ujian ke Batu Taba. Dan untuk tingkat Aliyah ke Sungayang. Sehingga pada saat itu santri di MTI malalo sudah mendapat 2 ijazah, yaitu satu ijazah negeri dan satu lagi ijazah Madrasah. Namun pada periode itu, beliau sangat kesulitan dalam masalah pendanaan, karena pada saat itu MTI malalo tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, sehingga konon katanya disaat itu MTI malalo pernah tidak menggaji guru-gurunya selama satu tahun. Namun semua guru-guru pada saat itu tidak pernah mempermasalahkannya, kerena rasa cinta mereka ke MTI malalo pada saat itu tidak bisa diukur dengan uang, terbukti tanpa uang pun mereka masih tetap bekerja secara profesional, mungkin karena pada saat itu semua guru rata-rata alumni MTI baik di malalo atau MTI di daerah lainnya.
B.     Selama masa kepemimpinan beliau MTI pernah mendapat bantuan dari Guberur Sumatra Barat sebanyak Rp 500.000, dan ketika itu atas kesepakan bersama dibangunlah sebuah kantor  yaitu kantor yang terletah disebelah kantin (kafe) sekarang ini atau yang dijadikan perpustakaan pada saat ini. Namun bantuan tersebut tidak bisa membangun sampai selesai, karena untuk membeli atapnya uang sudah tidak ada lagi. Dan ketika berkat bantuan oleh bapak Ardi yaitu suami dari ibu Hayatun Nufus bangunan tersebut bisa selesai dan bisa dipakai pada saat itu sebagai kantor.
C.     Beliau juga aktif untuk berceramah ke daerah-daerah yang bisa beliau jangkau, seperti daerah Pekandangan, Pariaman, Solok dan beberapa daerah lainnya. Sehingga hal ini juga bisa membantu sekolah dalam masalah pendanaan dan juga bisa mengekspos sekolah.
Namun dengan berjalannya waktu, langkah beliau dalam memajukan sekolah harus terhenti yang sekaligus menhentikan beliau untuk memperjuangkan agama Allah, karena tepat pada sore rabu dibulan September  tahun 1986 beliau menutup usia beliau, beliau meninggal di Rumah Sakit Imam A. Mukhtar Bukit Tinggi. Begitulah perjuangan dari salah satu patriot perempuan yang pernah dimiliki oleh Tarbiyah Islamiyah malalo.


5.     H. Thoharuddin, LS   
Beliau besar bersama ayah beliau di Pitalah Batipuah, karena ayah dan ibu beliau bercerai, sehingga menuntut beliau untuk ikut dengan ayah beliau ke Pitalah. Seperti anak lainnya di masa itu beliau memulai pendidikan formalnya di SR sekitar tahun 1949 dan melanjutkan ke MTI Jaho sampai duduk di kelas dua Tsanawiyah lalu beliau pindah ke MTI (PPTI)  malalo sekitar  tahun  1957/1958 dan duduk di kelas dua Tsanawiyah juga.
 Namun kaerena kecerdasan beliau, pada tahun itu juga beliau dinaikan oleh Buya Labai Sati ke kelas 3, tidak beberapa bulan di kelas tiga beliau juga di naikan lagi ke kelas 4. Pada tahun 1959 beliau naik ke kelas 6, dan pada saat itu terjadi pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sehingga pada tahun 1960 beliau pergi belajar ke Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan bersama dengan sahabatnya angku Muis Pakiah Sati, 3 bulan setelah itu juga menyusul sahabat beliau yang lainnya, yaitu angklu Karis dan angku Labai Mudo.
Pada tahun 1961 beliau pergi ke Aceh bersama Angku Muis Pakiah Sati dan belajar di sana. Dan ketika Buya Labai Sati kembali ke Malalo pada awal tahun 1962 , sehingga pada hari rabu tanggal 1 Syawal kegiatan belajar-mengajar di MTI malalo kembali di laksanakan setelah sempat terhenti karena PRRI. Pada bulan Sa’ban-nya di MTI Malalo di adakan perayaan penerian ijazah, dan bertepan sebelum perayaan tersebut Buya Thoharuddin pulang dari aceh, sehingga beliau pun juga mendapat ijazah aliyah pada perayaan tersebut. Pada bulan ramadhannya beliau bersama sahabatnya angku Karim (tj. Barulak) dan angku Darus Salikin (Teluk Kuantan) pergi ke kayutaman untuk kursus Ilnmu Mantiq bersama Buya Dt. Tumanggung.
Setelah Ramadhan mereka kembali ke Malalo, dan mengajar pada 1963 sampai tahun 1965. Dalam karirnya beliau juga sempat mengikuti latihan tentara atau latihan meliter di Padang  Panjang sekitar tahun 1963/1964, pada saat itu beliau utusan dari PERTI, latihan tersebut beliau ikuti selama satu bulan penuh. Beliau juga pernah mengikuti Pelatihan Kader FORMI PI PERTI di Padang Panjang pada tahun 1965 selama 15 hari, ketika penutupan acara terseburt bertepatan dengan G30SPKI, setelah beliau selesai mengikuti pelatihan tersebut beliau kembali ke Malalo.
Beliau berkeluarga pada tahun 1964 dengan seorang gadis yang berasal dari Pitalah juga yang bernama Rosnomi atau banyak juga orang panggil dengan panggilan kak Irai, dari istri beliau ini, beliau dianugerahi 3 orang anak:
·        Habibullah
·        Habiburrahman
·         Nur
Namun ibu Rosnomi ini meninggal ketika melahikan Nur anak beliau yang terakhir. Pada tahun 1969 beliau kembali menikah dengan ibu Ros, ibu Ros ini adalah orang dari Nagari Guguak di Padang Pariaman, dan belliau kembali di anugerahi satu pasang anak yang beliau beri nama:
·        Muhammad Syukri
·        Mailul Husni
Lalu beliau diminta untuk mengajar di sebuah Pesantren yang berada di Panti Pasaman Barat , dan beliau mengajar di sana selama 14 tahun. kemudian beliau kembali menikah dengan midren adik dari istri beliau yang pertama (ganti lapiak) dan dianugerahi seorang putri yang beliau beri nama Mabrur. Putri beliau mabrur ini lahir ketika beliau pergi menunaikan ibadah haji pada tahun 1986.
Setelah meninggalnya ibu Nuraini (putrid kandung Buya Labai Sati) beliau di minta kembali ke Malalo untuk menjadi pempinan di MTI Malalo. Dan ketika ditangan beliaulah nama MTI malalo diubah menjadi Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo (PPTI Malalo). Pada pertengahan tahun 1987 beliau mengajak angku Karim untuk tinggal di Malalo, angku karim pun mengikuti ajakan neliau tersebut, sehingga pada saat itu angku karim tinggal di Surau Tinggi.
Bersama angku Karim beliau pernah  mengikuti beberapa acara penting, seperti MUNAS Organisasi Tarikat di Jakarta, yang acara pembukaannya dilaksanakan di Taman Mini Indonesia dan dilanjutkan di Wisma Haji Pondok Gede selama 15 hari pada tahun 1987, pada waktu itu mereka berdua menjadi utusan Kota Madia Solok.
Dari segi ilmu tariqat, beliau berguru kepada Buya Labai Sati dan beliau juga pernah suluk dengan Buya Kanis Tuangku Tuah di simpang Batu Ampa daerah 50 Koto tepatnya di Pondok pesantren Tarbiyah Islamiyah di sana.
Ketika beliau menjadi Pimpinan di PPTI beliau tinggal di Surau Tinggi, pernah juga tinggal di rumah penduduk di Padang Laweh dan juga pernah tinggal di kantor di sebelah kantin (kafetaria) PPTI Malalo. Selama di tangan beliau sangat banyak perubahan di PPTI Malalo, ditangan beliaulah di beli tanah di belakang sekolah dan didirikan asraman sementara lalu ditunjuk angku karim sebagai ketua asramanya. Lalu dibeli tanah yang pinggirdanau sebanyak tiga tahap, sesudah itu barulah didirikan asrama dan mushallah permanen yang kita nikmati sekarang. 
Sebelumnya pada tahun 1957 hanya ada 4 lokal yaitu di kantor desa yang ada di tengah-tengan desa padang laweh, sehingga proses belajar-mengajar harus dijadikan dua tahap, kelas 1,2 dan 3 harus belajar di sore hari karena ada saat itu kelas 3 ada dua local.dan kelas 4,5,6 dan 7 yang belajar pagi. Pada tahun 1960 baru pindah tempat yang kita pakai sekarang, murid pada saat itu mencapai 600 orang.
Beliau juga pernah menikah dengan seorang guru di PPTI yang bernama Marina Amini pada tahun 2000, setelah ibu Marina Amini meninggal pada tahun 2006, beliau kembali menikah dengan istri beliau yang terakhir yang bernama Hamidah pada tahun. Dan beliau meninggal pada sore kamis 19 Ramadhan 1432 H/ 19 agutus 2011 pada waktu magrib di Padang Laweh Malalo..


6.     Sekilas tetang Engku Karim
Nama asli beliau adalah Muhammad Karimuddin jamal, beliau lahir pada tanggal 17 Agustus 1943 di sebuuah daerah yang tidak begitu jauh deri kota padang panjang yaitu desa Tanjung Barulak Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar SUMBAR. Beliau dilahirkan dari pasangan     Jamaluddin dan Mani. Namun semenjak kecil beliau hanya dibesarkan oleh ibu belia Mani saja, karena sejak kecil beliau sudah ditinggal oleh ayah beliau. Dari keluarga tersebut beliau mempunyai beberapa orang saudara dan beliau adalah anak paling bungsu, di antara saudara beliau tersebut adalah:
·        Rajab,
·        Rosna
·        Nur Siah
·        Bakhriyah
Dilihat dari perjalanan beliau dalam dunia pendidikan, yang beliau mulai semenjak kecil beliau sudah belajar baca tulis al-Qur’an, lalu beliau lanjutkan ke jenjang pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1950 M, setelah selama enam tahun di SR beliau tamat dan melanjutkan pendidikan beliau di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo pada tahun 1956 M yang pada saat itu masih dipimpim oleh pendiri Madrasah yaitu Buya Labai Sati[32].
Namun baru manjalankan pembelajaran selama dua tahun penuh, pada awal tahun ketiganya beliau proses belajar mengajar harus dihentikan karena pergolakan PRRI, sehingga beliau harus kembali ke kampung halaman untuk sementara waktu.
Kerena beliau merasa haus dengan Ilmu agama dan beliau juga tidak bisa tenang tinggal di desa beliau tanpa ada kegiatan belajarnya, sehingga beliau memutuskan untuk melanjutkan studi beliau ke Pondok Pesantren Nurul Yaqin atau yang libih dikenal denga sebutan ringan-ringan.
Setelah beberapa tahun di Ringan-ringang dan pergolakan PRRI sudah mulai netral kembali, lalu beliau memutuskan untuk kembali ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo setelah mendengar kabar bahwa Madrasah telah dibuka kembali oleh Abuya Syekh Zakarita Labai Sati.
Namun baru enam bulan belajar di kelas tujuh beliau sudah disuruh oleh abuya untuk menerima ijazah pada perayaan penerimaan ijazah tahun 1962 bersama dengan para senior beliau yang lainnya. Pada awalnya beliau tidak mau merima ijazah pada waktu itu itu, karena beliau merasa belum pantas untuk menerima ijazah pada waktu tersebut. Namun Abuya tetap memberinya ijazah dengan alasan Madrasah harus mengadakan acara perayaan besar-besaran, dengan tujuan agar semua masyarakat mengetahui bahwa Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo telah dibuka  kembali.Setelah menerima ijazah beliau langsung mengajar di Madrasah tersebut pada tahun 1962 itu juga.
Beliau berkeluarga pada tahun 1966 M, tepatnya pada tanggal 4 sa’ban. Beliau mempersunting seorang gadis yang bernama Zaiyani binti H. Zainuddin yaitu seorang gadis yang berasal dari tanjung barulak juga. Dari pasangan beliau ini beliau dikaruniai beberapa orang anak, di antaranya:
· Khalilurrahman,
· Nurussa’adah
· Hasanah Fiddaraini
· Huddiyat Mirabbi
· M Zal Aidi, Zul Kifli


7.     Sekilas tentang engku Lasykar Harun
Engku lasykar  dilahirkan pada Tanggal 1 Januari 1942 di Talau, Kenagarian. Kudu Ganting, Kec. 5 Koto Timur Kab. Padang Pariaman, Sumatra Barat. Nama lengkap beliau adalah  Lasykar  bin Harun bin Abu Bakar, dan beliau dilahirkan dari rahim seorang ibu yang bernama Pik Intan binti Pakiah Jaho.  Beliau memilki beberapa saudara baik yang seibu maupun yang seibu seayah, di antaranya:
a.      Seibu :
·        Rustina
·        Caya Karani
·        Burhanuddin
b.      Seibu bapak :
·        Lasmi
·        Bakri
·        Rajuddin
Istri beliau ada dua, istri pertama beliau telah meninggal, dan sekarang beliau hidup dengan istri kedua beliau,
Istri pertama bernama Nur’aini memeliki empat orang anak yaitu
·        Fakhrija
·        Fakhriati
·        Rimzah
·        Fitriyah

Dari istri kedua beliau adalah Bainar dan memiliki tiga orang anak yaitu:
·        Husnil Mardhiyah
·        Zamratil Khaira
·        Fadhilatul Husni

Perjalanan  Hidup Engku Lasykar Harun Menuntut Ilmu
Beliau memulai pendidikan formal pada tahun 1960 di Sekolah Rakyat (SR), dan  pada tahun 1956 tamat dari  SR tersebut. Di tahun 1957 beliau melanjutkan sekolah  ke SMP sampai tahun 1959, tapi  karna pada waktu  itu terjadi pergolakan PPRI di Sumatera Tengah, akhirnya beliau menamatkan sekolahnya pada tahun 1960, setelah tamat dari SMP beliau belum menyambung sekolahnya hanya membantu-bantu orang tuanya dirumah, maklum dengan keadan keluarga yang bisa dikatakan  kurang bercukupan, namun sebagai orang tua tentu tidak mau melihat anaknya putus sekolah, dan tergantung pendidikannya.
Dan orang tuanya bernisiatif untuk menganjurkan  engku Lasykar untuk melanjutkan sekolahnya, dan diberitahukan kepada beliau dengan  maksud orang tuanya tersebut, namun pada waktu itu engku Lasykar sendiri hanya mau melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesanteren Dinul Ma’ruf di Sungai Janiah. Orang tua beliaupun  menyetujuinya, dan  pada akhir tahun 1963 dibawahlah beliau ke  Pondok Pesantren di Sungai Janiah tersebut.
     Engku Lasykar menuntut Ilmu di Pondok tersebut bersama temannya yang bernama  Ramli ismail dan Abu Zahar, kedua orang tersebut sudah tidak asing lagi bagi beliau, karena kedua temannya tersebut orang kampung beliau juga.  Namun sedang asyik-asyiknya belajar disana, seorang guru yang sangat dekat dengan mereka pindah ke Malalo, sehingga hal tersebut bembuat mereka kurang bersemangat untuk belajar, karena mereka sangat senang belajar dengan guru tersebut yang mereka panggil guru tuo (guru tua), namun nama aslinya adalah Zainal Abidin Tuangku Bagindo.
Engku lasykar berniat mengikuti gurunya tersebut ke Malalo, namun beliau belum tau di mana itu daerah Malalo. Ketika beliau berkumpul dengan teman-temannya, seorang dari teman yaitu Abu Zahar mengusulkan untuk pergi saja ke Malalo, karena menurut ceritanya Abu Zahar pernah pergi ke Malalo dan Katannya di Malalo banyak di pelajari berbagai bidang ilmu tidak seperti di Pondok Pesantren di Sungai Janiah yang saat  itu  hanya belajar  satu  bidang  ilmu saja yaitu hanya Tafsir Jalalain saja, tapi di Malalo di pelajari kitab-kitab penting lainnya, seperti Tauhid, Fiqih, Tarekh, Tasawuf, Nahu dan Sharaf, Tafsir, Hadis, dan ilmu Mantiq serta Kitab-kitab lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.
Setelah mendengar cerita dari temannya, engku Lasykar dan teman-tamannya ingin pindah dan menuntut ilmu disana, dan mengadukan keinginan mereka kapada buya pimpinan Pondok Pesantren Sungai Janiah yaitu buya Asirun Tuangku nan Panjang untuk mengabulkan keinginan mereka pergi ke Malalo , namun buya tidak mengizinkan karna buya telah berjanji kapada orang tua  mereka agar nanti setelah keluar mereka dari Pesantern itu bergelar tuangku, karna janji itu buya pimpinan tidak mengizinkan mereka untuk pindah ke Malalo, namun akhirnya pimpinan Pondok Pesantren tersebut  terpaksa mengizinkan mereka untuk pindah ke Malalo setelah mereka minta izin yang ke tiga kalinya bertepatan pada bulan sa’ban.
Setelah mereka pergi dari pesantren Su gai Janiah, engku Lasykar mintak izin kepada orang tuanya untuk menuntut ilmu ke Malalo, pada awalnya orang tua beliau tidak menyetujuinya, kerena keterbatasan biaya. tapi karna tekat  bulat dan keinginan engku Lasykar yang sangat kuat, beliau terus membujuk orang tuanya untuk mengizinkannya dan beliau akan mencari biaya sendiri untuk pergi ke Malalo. Dan akhirnya kedua orang tua beliau pun mengizinkannya.
Setelah mendapat izin dari orang tuanya, beliau menceritakan keinginannya kepada masyiarakat setempat, kebetulan pada waktu itu akan memasuki bulan Ramadhan dan  beliau menawarkan kepada masyiarakat untuk menjadi imam di  mushallah masyiarakat setempat itu dengan syarat seluruh masyarakat itu mengeluarkan zakat fitrah mereka dan seluruhnya  diberikan kepada beliau, ternyata banyak masyiarakat yang mendukung keinginan beliau tersebut, dan pada waktu itu beliau mendapatkan tiga karung beras dan beras tersebutlah yang beliau jual untuk menjadi perbekalan beliau ke Malalo. Mulai dari pakaian sampai dengan ongkos diperjalanan.
Bertepatan pada waktu PKI sedang bergolak di Indonesia  engku Lasykar berangkat ke Malalo sesudah subuh  yaitu  pada  hari Minggu Tanggal 23 Pebruari tahun 1965, dan ketika sampai di Malalo beliau turun di simpang mesjid Nurul Huda pas saat mu’azin sedang mengumandangkan adzan  maghrib. Keeesokan harinya beliau langsung masuk sekolah, beliau langsung masuk sekolah di kelas dua, karna waktu pembelajaran telah berlangsung setengah tahun, beliau hanya setengah tahun duduk di kelas dua, lalu naik ke kelas tiga, dan pada tahun 1966 beliau tamat dari kelas empat, lalu di lanjutkan  ke tingkat aliyah tiga tahun, tahun 1969 beliau tamat dari kelas tujuh.
Dan di tahun itu beliau temuilah buya Zakariyah Labai Sati  Pimpinan madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo bersama Orang tua beliau  untuk meminta izin agar beliau bisa mengajar di Madrasah tempat beliau menuntut ilmu tersebut, dan dengan senang hati Buya Labai Sati pun menyambut permintaan beliau tersebut. Dan akhirnya  pada tanggal 2 januari 1970  enggku Lasykar mulai mengajar di kelas dua sampai sekarang[33].
         
8.     Sekilas Tentang Engku Izzuddin Dt, Panduko Nan Banso
Izzuddin adalah nama asli yang diberikan oleh orang tua beliau sejak mula beliau dilahirkan, beliau adalah anak kandung dari abuya Syekh Zakaria Labai Sati pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo) dari pasangan buya yang bernama Jamiah. Beliau lahir pada tanggal 1 januari tahun 1952 M di suatu desa yang sangat kental memakai ajaran Ahli Sunnah Walja’ah yaitu daerah padang laweh Malalo.
Sejak kecil beliau sudah ditempa untuk mendalami ilmu agama, karena beliau dibesarkan dilingkungan yang sangat religius, sehingga sejak kecil beliau sudah bisa baca tulis al-Qur’an, sedangkan pendidikan formal beliau,  diawali pada tahun 1958 di Sekolah Rakyat (SR), dan tamat pada tahun 1964. Setelah tamat dari SR beliau melanjutkan pendidikan beliau di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo selama dua tahun, lalu beliau pindah ke pondok Pesantren Nurul Yaqin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ringan-ringan yang pada saat itu dipimpin oleh Abuya Ali Imran. Pada dasarnya antara MTI Malalo dengan pondok pesantren Nurul yaqin ini bisa dikatakan bersaudara, karena buya Ali Imran juga pernah menutut ilmu di MTI Malalo dengan Buya Zakaria Labai Sati.
Setelah lima tahun engku datuk belajar di pondok Pesantren Nurul Yaqin beliau pun tamat dari kelas tujuh. Beliau tamat pada tahun 1973. Lalu beliau kembali ke daerah kelahiran beliau Padang Laweh pada tahun itu juga. Setelah beliau kembali ke padang laweh beliau langsung mengajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo.
Dalam perjalanan karir beliau dalam dunia pendidikan, seluruh umur beliau diserahkan untuk memperjuangkan pendidikan agama Islam yang beliau lakukan di Pondok Pesantren Trbiyah Islamiyah (dulu Madrasah Tarbiyah Islamiyah) Malalo yang telah didirikan oleh ayah beliau Syekh Zakariya Labai Sati dulunya. Sehingga tepat pada tanggal 4 dzulhijjah 1432 H/11 desembr 2010 beliau diresmikan menjadi pimpinan Pondok Pesantreb tersebut untuk melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh ayah beliau dan Abuya syekh Taharuddin Labai Sutan.
Keluarga beliau sendiri juga beliau bina di negeri kalahiran beliau sendiri, yaitu di daerah Padang Laweh Malalo, beliau mempersunting seorang gadis yang bernama  Wirda yang berasal juga dari Padang Laweh Malalo[34]. Dan dalam keluarga beliau hanya beristri satu orang, yang dari istri beliau yang bernama Wirda tersebut beliau dikaruniai beberapa orang putra dan putri yang bernama:
·        Himatul Jannah
·        M. Khairi
·        Khairul Fahmi
·        Rahimatul Ilmi
·        Radhiyatul Mardhiyah
·        Dinatul Islami
·        Hijjatul Mabrur
·        Duratul Husna
·        Nauratul Hidayah
           



 



[1] Beliau adalah seorang Shahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan Radhiyallahu anhuma. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, penafsir al-Qur-an dan pemuka kaum muslimin di bidang tafsir. Dia diberi gelar ‘pena’ dan juga ‘laut’, karena luas keilmuannya dalam bidang tafsir, bahasa dan syair Arab. Beliau dipanggil oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangan dalam berbagai perkara. Beliau Radhiyallahu 'anhuma pernah menjadi wali pada zaman ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu tahun 35 H, ikut memerangi kaum Khawarij bersama ‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau lahir tiga tahun sebelum hijrah. Lihat al-Ishaabah (II/330 no. 4781).

[2] Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
[3] Yusran Asmuni, ILMU TAUHID, (Jakarta, PT Raka Grafindo Persada: 1996) , Hal: 123-125
[4] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, ILMU KALAM, (Bandung, Pustaka Setia: 2007), Hal: 124
[6] Ibid,  hal: 120
[7] Ibid
[8] Ahmad Hanafi,  Pengantar Teologi Islan, (Jakarta, al-husna:1992) hal: 104
[9] Tabyin Kidzb al Muftari,hal 39-40,Thabaqot al Syafi’iyah juz 3 hal 219

[10] Tabyin Kidzb al Muftari hal 38,Wafayat Al Ayan hal 284,Thabaqot Al Syafi’iyah Al Kubro, juz 3,hal 219
[11] Asmaran As, PENGANTAR STUDI TASAWUF, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada: 2002), cet.2, hal: 330
[13] Asmaran As, Op-Cit, hal: 303
[16] Huzaemah Tahido Yanggo, PENGANTAR PERBANDINGAN MAZHAB, (Jakarta, Logos:1997), hal.95
[17] http://www.masterfajar.com/2012/07/biografi-imam-hanafi-abu-hanifah/
[18] http://dakwahkampus.com/nafsiyah-islamiyah/kisah/1550-biografi-dan-profil-imam-malik.html
[19] http://solihin87.abatasa.com/post/detail/8996/biografi-imam-malik
[20] http://muslim.or.id/biografi/imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html
[21] http://al-imron.blogspot.com/2007/10/imam-hambali.html
[22] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
[24] Drs, Mansur Malik, dkk, RIWAYAT HIDUP DAN PERJUANGAN 20 ULAMA BESAR SUMATERA BARAT, (Islamic Centre Sumatera Barat:1981), hal:77
[25] Ibid, hal: 81-82
[26] Ibid, hal:99
[27] Syekh Muda Wali adalah seorang ulama yang sangat terkenal di daerah Aceh karena kemampuannya dalam ilmu agama, beliau berbadan tegab dan besar sehingga  hal tersebut juga memperlihatkan kewibawaan beliau. Konon katanya beliau sangat senang pergi ke daerah lain untuk menguji ilmu yang telah beliau dapat (studi banding), bahkan beliau pernah pergi ke daerah Jawa, seperti Jawa Timur , Bnten dll. Beliau pernah tinggal di lubuk Bagalung padang dan mendirikan pesantren di sana
[28] Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, Kitab Mahalli,  jelid I, hal:278
[29] Pulau Dun-dun adalah sebuah pulau yang terletak di daerah sumatera Utara, yang mendekati daerah  Sibolga. kisah Buya Labai Sati terdampar di pulau Dun-dun  ini sebelumnya sudah pernah ditulis oleh anak Buya sendiri yaitu Yang waktu itu ikut bersama Buya pergi ke Aceh. Karena  Menurut  cerita yang penulis dengar Buya selalu membawa menimal seorang teman ketika beliau bepergian termasuk ketika beliau pergi memenuhi panggilan mengaji ke daerah-daerah lainnya
[30] Wawancara dengan Angku Laskar  Harun pada hari sabtu,22 okt 2011, jam 15.00 WIB
[31] Wawancara dengan  Engku lasykar pada hari minggu tanggal 23 oktober 2011 jam 14.00 WIB
[32] wawancara dengan angku Karim hari minggu, 23 okt 2011, jam 11.00 WIB
[33] Wawancara dengan Angku Laskar  Harun pada hari sabtu,22 okt 2011, jam 15.00 WIB
[34] Wawancara dengan Angku Izzuddin Dt. Panduko nan Banso. hari minggu, 23 okt 2011, jam 13.30 WIB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar