BAGIAN
I
AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
(ASWAJA)
A. Kemunculannya
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini
sudah ada sejak generasi pertama Islam pada kurun yang dimuliakan Allah yaitu
generasi Shahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu[1] berkata ketika menafsirkan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
Artinya :” Pada
hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang
hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka
dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah
adzab disebabkan kekafiranmu itu." [Ali Imran:
106]
“Adapun
orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adapun orang
yang hitam wajahnya mereka adalah ahlu bid’ah dan sesat.”
Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini
diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf rahimahullah di antaranya[2]:
1. Ayyub as-Sikhtiyani Rahimahullah (wafat
th. 131 H), ia berkata, “Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang
dari Ahlus Sunnah seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”
2. Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat
th. 161 H) berkata: “Aku wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus
Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghuraba’(orang yang terasing).
Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
3. Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah [4]
(wafat th. 187 H) berkata: “...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan,
perkataan dan perbuatan.”
4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallaam
Rahimahullah (hidup th. 157-224 H) berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Imaan:
“...Maka sesungguhnya apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman,
perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, ber-tambah dan berkurangnya iman
dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui
tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab Ahlul ‘Ilmi, Ash-habul Atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul j dan para Shahabatnya, dari semenjak zaman para Shahabat Radhiyallahu Ajmai'in hingga pada masa sekarang ini...”
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah (hidup th. 164-241 H), beliau berkata dalam muqaddimah kitabnya, as-Sunnah: “Inilah madzhab Ahlul ‘Ilmi, Ash-habul Atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut Sunnah Rasul j dan para Shahabatnya, dari semenjak zaman para Shahabat Radhiyallahu Ajmai'in hingga pada masa sekarang ini...”
5. Imam Ibnu Jarir ath-Thabary Rahimahullah
(wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari perkataan tentang
keyakinan bahwa kaum mukminin akan melihat Allah pada hari kiamat, maka itu
merupakan agama yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus
Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa ahli Surga akan melihat Allah sesuai
dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
6. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawy
Rahimahullah (hidup th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab
‘aqidahnya yang masyhur (‘Aqidah Thahawiyah): “...Ini adalah penjelasan
tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Dengan
penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah sudah
dikenal di kalangan Salaf (generasi awal umat ini) dan para ulama sesudahnya.
Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak untuk melawan Ahlul Bid’ah.
Para ulama Ahlus Sunnah menulis penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar
ummat faham tentang ‘aqidah yang benar dan untuk membedakan antara mereka
dengan Ahlu Bid’ah. Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam al-Barbahary, Imam ath-Thahawy serta yang lainnya.
Istilah
Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Ahli Hadits ini mulai populer ketika telah tejadi
perpecahan, munculnya berbagai golongan, serta banyaknya bid’ah dan berbagai
golongan, serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahli Sunnah
menampakkan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik dalam aqidah
maupun manhaj mereka. Namun pada hakikatnya, mereka itu hanya merupakan proses
kelanjutan dari apa yang di jalankan Rasulullah
SAW. dan para shahabatnya.
Cobaan
itu muncul pada permulaan abad ketiga masa pemerintahan al-Ma’mun dan
(saudaranya) al-Mu’tashim, kemudian al-Watsiq pada saat kaum Jahmiyah
menafikkan sifat-sifat Allah dan menyerukan menusia agar mengikuti paham
mereka. madzab ini dianut oleh tokoh-tokoh Rafidlah (periode terakhir) yang
mendapat dukungan pihak penguasa.
Terhadap
penyimpangan tersebut, Madzab Ahli Sunnah tentu menolak. oleh karena itu,
mereka sering mendapat ancaman ataupun siksaan. Adapula yang di bunuh,
ditakut-takuti, ataupun dibujuk rayu. Namun dalam menghadapi situasi yang
seperti ini, Imam Ahmad tetap tabah dan tegar sehingga mereka memenjarakan
beliau sekian beberapa waktu lamanya. kemudian mereka menantang mereka untuk
berdebat. dan terjadilah berdebatan yang amat panjang.
Dalam
perdebatan tersebut, demikian menurut Imam Ahmad, dibahas masalah-masalah
mengenai sifat-sifat Allah dan yang berkaitan dengannya, mengenai nash-nash,
dalil-dalil, antara pihak yang membenarkan dan menolak. dengan adanya perbedaan
pandangan itu akhirnya ummat terpecah belah menjadi berkelompok-kelompok.
Pada
dasarnya ahlus sunnah wal jamaah di bidang tauhid (Asy’ari dan Maturidi) adalah
madzhab yang memiliki beberapa pandangan atau keyakinan mengenai sifat-sifat
Allah, Qodimnya Al-quran dan beberapa hal lainnya yang bertentangan dengan
madzhab lainnya, terutama dengan madzhab mu’tazilah, keyakinan mereka tersebut
antara lain[3]:
a) Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Menurut
ulama tauhid ASWAJA tuhan memiliki sifat sebagaimana disebutkan dalam al-Quran,
bahwa Allah mengetahui dengan sifat ‘ilm-Nya, berkuasa dengan sifat Qudrat-Nya,
Hidup dengan sifat Hayat-Nya, Mendengar dengan sifat Sama’-Nya , melihat dengan
sifat Bashar-Nya dan seterusnya.
b) Perbuatan manusia
Menurut
ulama ASWAJA perbuatan manusia itu diciptakan oleh tuhan bukan diciptakan oleh
manusia itu sendiri. Gambaran tentang hubungan perbuatan manusia dengan
kehendak dan kekuasaan tuhan dikemukakan dalam teorinya al-kasb (perolehan).
Yang dimaksud dengan al-kasb adalah berbarengan antara kekuasaan manusia dengan
perbuatan Tuhan. Al-kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu manusia
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Namun, karena alkasb juga
adalah ciptaan Tuhan, maka arti keaktifan itu menjadi hilang. Manusiapun
bersifat fasif dalam perbuatannya.
Dasar
yang sigunakan oleh al-Asy’ari untuk mengatakan bahwa perbuatan manusia
diciptakan Tuhan adalah ayat 96 surat al-Shaffat:
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu".
c) Keadilan Tuhan
Al-Asy’ari
menolak paham Mu’tazilah mengenai keadilan Tuhan. Menurut al-Asy’ari, Tuhan
tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang baik ke
Surga dan memasukkan orang jahat ke Neraka, semua itu merupakan kehendak mutlak
Tuhan sebab Tuhan yang berkuasa dan segala-galanya adalah milik.Nya. Jika Tuhan
memasukkan seluruh manusia ke dalam surge bukan berarti Tuhan tidak adil.
Sebaliknya, jika Tuhan memasukan seluruh manusia ke dalam neraka bukan berarti Tuhan itu Zalim. Tuhan
adalah penguasa mutlakdan tidak ada yang lebih kuasa, bahkan sebanding
dengan-Nya.
d) Qadimnya al-Quran
Menurut
ulama ASWAJA al-Quran itu adalah Qadim, bukan makhluk. Hal ini didasarkan pada
ayat :
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sÎ) çm»tR÷ur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3usù ÇÍÉÈ
Artinya:
Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)",
Maka jadilah ia. (an-Nahl: 40)
e) Melihat Tuhan
Ulama ASWAJA berpendapat bahwa Tuhan dapat di lihat oleh hambanya di
Akhirat nanti, dasarnya antar lain adalah :
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Artinya:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
kepada Tuhannyalah mereka melihat. (al-Qiyamah:22-23)
Imam
Ahmad dan Imam-imam lainnya dari Ahli Sunnah serta Ahli Hadits sangat
mengetahui kerusakan Madzhab Rafidlah, Khawarij, Qodariyah, Jahmiyah, Mu’tazilah
dan Murji’ah. Namun karena adanya cobaan, maka timbullah perdebatan. Dan Allah
mengangkat kedudukan Imam (Ahmad) ini menjadi Imam Sunnah sekaligus sebagai
tokohnya. Predikat itu memang layak di sandangnya karena beliau sangat gigih
dalam menyebarkan, menyatakan, mengkaji nash-nash dan atsar-atsarnya, serta
menjelaskan segala rahasianya. Beliau tidak mengeluarkan statement-statemen
baru, apalagi pandangan bid’ah.
Kegigihan
beliau dalam memeperjuangkan Ahli Sunnah tidak dapat diragukan lagi,
sampai-sampai sebagai ulama di Maghrib mengatakan, ‘Madzab itu milik Malik
dan Syafi’i, sedangkan kepopulerannya milik Ahmad. Maksudnya, madzab para Imam
Ushul itu merupakan satu madzab seperti apa yang dikatakannya’.”
Imam
Malik rahimahullah, ketika ditanya tentang ahul sunnah, beliau menjawab dengan
mengatakan: “Ahlus sunnah adalah orang-orang yang tidak memiliki laqab
(gelar tertentu) yang mereka dikenal dengannya. Mereka bukanlah Jahmiyyun
(pengikut pemahaman Jahmiyah), bukan Qadariyyun (pengikut pemahaman Qadariyyah)
dan bukan pula Rafidiyyun (pengikut pemahaman Syi’ahRafidhah).”
Dari
sini kita sepakat, seperti apa yang telah dikatakan Dr. Mustafa Holmy: “Ahlus
Sunnah wal Jama’ah adalah pelanjut pemahaman kaum muslimin pertama yang ditinggalkan
oleh Rasulullah dalam keadaan beliau
ridha terhadap mereka, sedangkan kita tidak bisa membuat batasan permulaan
(munculnya mereka) yang kita bisa berhenti padanya, sebagaimana yang dapat kita
lakukan pada kelompok-kelompok yang lain. Tidak ada tempat bagi kita untuk
menanyakan tentang sejarah munculnya ahlus sunnah, seperti halnya jika kita
bertanya tentang sejarah munculnya kelompok-kelompok yang lain.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitabnya Minhaju As-Sunnah: “Madzhab
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah madzhab yang terdahulu dan telah terkenal
sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad. Ia adalah
madzhab para shahabat yang diterima dari Nabi mereka. Barangsiapa yang
menyelisihi (madzhab) tersebut, maka dia adalah Ahlul Bid’ah menurut
(kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Dari
penjelasan di atas jelaslah bahwa Ahli Sunnah Wal jama’ah merupakan kelanjutan
dari jalan hidup Rasulullah dan para sahabatnya. Kalaupun bangkit seorang Imam
pada jaman bid’ah dan keterasingan Ahli Sunnah yang menyeru manusia kepada
aqidah yang benar dan memerangi pendapat yang menentangnya, maka ia tidaklah
membawa sesuatu yang baru. Ia hanya memperbaharui madzzab ahli sunnah yang
sudah usang dan menghidupkan ajaran yang sudah terkubur. Sebab, aqidah dan
sisitemnya (manhaj), bagaimanapun, tidak pernah berubah.
Dan
jika pada suatu masa atau pada suatu tempat terjadi penisbatan madzab Ahli
Sunnah terhadap seorang ulama atau mujaddin (pembaharu), maka hal itu bukan
karena ulama tersebut telah menciptakan (sesuatu yang baru) atau mengada-ada.
Hal itu pertimbanganya semata-mata karena ia selalu menyerukan manusia agar
kembali kepada as-sunnah.
Dan
ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa istilah Ahlus
Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyah, padahal Asy’ariyah timbul
pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.Wallahu A’alam Bishawwab
TOKOH-TOKO
AHLI SUNNAH WAL JAMAAH
1. DIBIDANG
TAUHID
Sebuah komunitas tentunya mempunyai
tokoh yang mempelopori komunitas itu berdiri, begitu halnya Ahlussunah
Waljama`a. Sebagai madzhab yang bisa dikatakan terbesar dan memiliki kwantitas
umat terbesar tentunya memiliki tokoh-tokoh yang mempelopori dan menyusunnya.
Mereka adalah Abu Hasan Al-Asy`ary dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagaiman telah
kita maklumi besama bahwa Al-Asy`ary lah yang digembor-gemborkan bapak
Ahlussunah Waljam`ah dan mengenyampingkan Al-Maturidi. Disini kita akan
meneropong profil beliau sehingga kita tahu ada apa dan kenapa beliau
dikesampingkan oleh umat.
Nama lengkap Abu Manshur al-Maturidi ialah Muhammad ibn
Muhammad ibn Mahmud. Dilahirkan di Maturid, sebuah daerah di Samarkand termasuk
kawasan Ma Wara’ al- dan ia menimba ilmu pada pertiga terakhir abad ke-3
Hijrah, yakni pada masa Muktazilah
mendapat kemarahan masyarakat sebagai balasan perlakuan mereka terhadap fuqaha
muhadditsin pada pertiga pertama abat tersebut.
Tahun kelahiran Abu Manshur al-Maturidi tidak begitu
diketahui dengan pasti. Akan tetapi, tampakanya ia dilahirkan pada sekitar pertengahan
abad ke-3 Hijrah. A.K.M.Ayyub Ali menyimpulkan bahwa al-Maturidi lahir sekitar
tahun 238 H/853 M. Dapat dipastikan, bahwa beliau belajar ilmu fikih dari
Madzhab Hanafi dan ilmu kalam dari Nashr ibn Yahya al-Balakhi. garis
ketururunan beliau bersambung dengan sahabat Abu Ayyub al-Anshory. Gurunya
dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Ia wafat
pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutawakkil yang
memerintah tahun 232-274 H / 847-861 M.
Beliau wafat pada tahun 333 H/944 M[4].
Abu Manshur al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah dan
faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan
Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologi yang ditimbulkan oleh Abu Manshur
termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama
al-Maturidiyyah namun literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Manshur dan aliran
al-Maturidiyyah tidak sebanyak literature mengenai ajaran-ajaran
Asy’ariyyah.
Ø Pendidikan
Beliau mula-mula
menuntut ilmu daripada Abu Nasr al Iadhi, dan pernah berguru
dengan silsilah ulama yang bersambung sehingga Imam Abu Hanifah RA.
Selain itu beliau pernah belajar dengan Muhammad bin Maqatil ar Razi
dan Abu Bakr Ahmad al-Jawzajani. Bapaknya juga seorang ulama yang
pernah berguru dengan Abu Ahmad al Iadhi, dan Abu Bakar al Iadhi.
Dalam kitab Miftah
Assa`adah Wa Mishbah Assiyadah, Syeikh Tasy Kauthari Zadah berkata : “Ketahuilah
bahawa ketua Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam bidang Ilmu Kalam ialah dua
orang : Seorang daripadanya ialah bermazhab Hanafi, dan seorang lagi
bermazhab Syafie. Orang yang bermazhab Hanafi itu ialah Abu Mansur Muhammad
bin Muhammad bin Mahmud al Maturidi, penghulu bagi petunjuk. Manakala
seorang lagi yang bermazhab Syafie ialah Syeikh as Sunnah, dan ketua al
Jamaah, Imam bagi ulama Ilmu Kalam, pendokong sunnah Penghulu bagi rasul-rasul
(Nabi Muhammad SAW), pengukuh Agama, dan penyelusur di dunia memelihara Akidah
Muslim, dia ialah Abu Hassan al Asy’ari.”
Ø Karya
Tulisnya
Dia meninggalkan
beberapa karya tulis diantarnya, Ta’wilat Ahlus Sunnah atau Ta’wilat
al-Qur`an, Di antara bukunya yang lain adalah Kitab Tauhid,
Khaliqiyah dan Rububiyah ditambah dengan sedikit tauhid Asma’ wa
Sifat
Abu Mansur Maturidi
juga mengarang kitab Jadal dan Ma ‘akhiz Syarai’. Kedua-dua buku ini
membincangkan Usul Fikah. Buku-buku dalam ilmu ketuhanan antaranya, Tauhid,
Muqalaat, Ra’du Ala Qawashat, Bayan Wahm Muktazilah, Ra ‘du Amamah Libaddu
Rawafaz dan banyak lagi. Apa yang mendukacitakan, buku-buku itu hilang begitu
sahaja. Buku yang masih tersimpan adalah buku Tauhid dan Maqalaat Selain itu
ada buku-buku beliau dalam ilmu yang lain.
·
Kitab Al Tawhid
·
Kitab Radd Awa'il al-Adilla, sanggahan terhadap Mu'tazilah
·
Radd al-Tahdhib fi al-Jadal, sanggahan terhadap Mu'tazilah
·
Kitab Bayan Awham al-Mu'tazila ('Kitab Pemaparan Kesalahan Mu'tazilah
·
Kitab Ta'wilat al-Qur'an.
·
Kitab al-Maqalat
·
Ma'akhidh al-Shara'i` dalam Usul
al-Fiqh
·
Al-Jadal fi Usul al-Fiqh
·
Radd al-Usul al-Khamsa, sanggahan terhadap pemaparan Abu
Muhammad al-Bahili' tentang lima prinsip Mu'tazilah
·
Radd al-Imama, sanggahan terhadap konsepsi keimaman
syiah
·
Al-Radd `ala Usul al-Qaramita
·
Radd Wa`id al-Fussaq[5]
b.
Biografi Imam Al-Asy’ari
Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali
bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin
Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar. Abu
Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam yang masyhur.
Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari-
Rahimahullah dilahirkan pada tahun 260 H/875 M di Bashrah[6],
Irak. Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan
ketajaman pemahamannya. Demikian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan
kezuhudannya.
Ø Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah
mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok
Mu’tazilah. Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah
memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin
Yahya as-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi,
Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri,
dan para ulama thabaqah mereka.
Ø Dari
Mu’tazilah ke Ahlusunnah waljama’ah
Menurut ibn Asakir,
ayah al-Asy’ari adalah orang yang berfaham ahlussunnah dan ahli Hadis. Namun
ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil dan kemudian ibu beliau kembali
menikah dengan laki-laki tokoh mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’I (w.
303 H/915 H)[7]. Hal inilah yang
menyebabkan Imam al- Asy’ari menganut paham Mu’tazilah pada awalny.
Namun Al-imam
Abu Hasan Al Asy’ari mengikuti aliran mu’tazilah hingga berusia 40 tahun[8].Namun
kemudian setelah sekian lama menjadi tokoh mu’tazillah dan tidak jarang mewaili
gurunya Al Jubba’i dalam forum-forum perdebatan akhirnya Al Asy’ari keluar dan
kembali kepada ajaran Ahlu sunnah waljama’ah.Pertanyaan yang patut di kemukakan
di sini adalah”Apakah latar belakang keluarnya Al Asy’ari dari mu’tazilah
kepada Ahlu sunnah waljamaah?
Menurut data sejarah
yang pernah di sampaikan oleh para ulama seperti Al Hafizh ibn Asyakir Al
Dimasyqi,Syamsudi Ibnu Kholikan,Al Imam Tajuddin Al Subki dll setidaknya ada 2
hal yang melatar belakangi perpindahan Al Asy’ari dari mu’tazilah ke Ahlu
sunnah waljama’ah.
1).ketidakpuasan Al Asy’ari terhadap
ideologi mu’tazillah yang selalu mendahulukan Akal tetapi tidak jarang
menemukan jaln buntu dan mudah di patah kan oleh argumentasi akal yang
sama.Ketidak puasan Al Asy’ari dapat di lihat dengan memperhatikan
beberapa hal’antara lain dengan memperhatikan riwayat yang menyatakan bahwa
sebelum Al Asy’ari keluar dari aliran mu’tazilah dia tidak keluar rumah selama
15 hari,kemudian pada hari jum’at setelahnya dia keluar ke masjid ja’mi dan
menaiki mimbar dengan berpidato : “Sebenarnya saya telah
menghilang selama 15 hari ini,selama itu saya meneliti semua dalil-semua ajaran
yang ada,ternyata saya tidak menemukan jalan keluar.Dalil yang satu tidak lebih
kuat dari pada dalil yang lain lalu aku memohon petunjuk kepada Allah ta,ala
dan ternyata Allah ta,ala memberikan petunjuknya kepadaku untuk meyakini apa
yang saya tulis dalam beberapa kitab ini.Mulai saat ini aku mencabut ajaran
yang selama ini Aku yakini”.
Kemudian Al Asy’ari menyerahkan beberpa
kitab yang di tulisnya sesuai dengan ajaran Ahlu sunnah waljama’ah kepada
orang-orang di sana di antaranya adalah kitab Al-luma fi al-radd’ala ahl
al-zaygh wa al-bida kitab yang memaparkan kerancuan mu’tazilah yang bejudul
kasyf al-astar wa hatk al asrar dan kitab-kitab lain.Setelah kitab
tersebut di baca oleh kalangan Ahli hadits dan fuqoha dari kalangan Ahlu sunnah
waljama’ah mereka mengambil isinya,menadopsinya,meyakini kehabatan Al Asy’ari
dan menjadikannya sebagai panutan[9].
Ketidakpuasan Al Asy’ari dengan faham mu’tazilah tersebut dapat di lihat dengan
memperhatikan riwayat lain yangmengisahkan perdebatannya dengan AlJubba’i :
Al Asy’ari :”Bagaimana
pendapatmu tentang nasib 3 orang yang meninggal dunia,satunya orang
mukmin,satunya orang kafir dan satunya lagi anak kecil” ?
Al Jubba’i : “orang
mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi,orang kafir akan celaka dan anak
kecil akan selamat.
Al Asy’ari : “Mungkinkah
anak kecil tersebut meminta derajat yang tinggi kepada Allah “?
Al Jubba’i :”oh ‘tidak
mungkin karena Allah akan berkata kepada anak itu”orang mukmin itu memperoleh
derajat yang tinggi karena amalnya”,sedangkan kamu belum sempat beramal
jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu”.
Al Asy’ari : “Bagaimana kalau
anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata”Tuhan itu bukan salah
ku,”andaikan aku di beri umur panjang tentu aku akan beramal seperti orang
mukmin itu”.
Al Jubba’i :”oh’tidak bisa,Allah
akan menjawab “oh bukan begitu,justru aku telah mengetahui’bahwa apabila kamu
diberikan umur panjang maka kamu akan durhaka,sehingga nantinya kamu akan di
siksa,oleh karena itu demi menjaga masa depanmu akan kumatikan kamu sewaktu
masih kecil sebelum kamu menginjak usia taklif”.
Al Asy’ari : “Bagaimana seandainya
orang kafir tersebut menggugat kepada Allah dengan berkata,”Tuhan engkau telah
mengetahui masa depan anak kecil itu dan juga masa depanku,tetapi mengapa
engkau tidak memperhatikan masa depanku,dengan mematikan aku sewaktu masih
kecil dulu,sehingga aku tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu dan
engkau biarkan aku hidup hingga dewasa sehingga aku menjadi kafir dan akhirnya
aku di siksa seperti sekarang ini”.
Mendengar pertanyaan Al Asy’ari
tersebut Al Jubba’i menemui jalan buntu dan tidak mampu memberikan
jawaban,Al Jubba’i hanya berkata”Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang
telah ada”.
Al Asy’ari :”Aku tidak bermaksud
merusak keyakinan yang telah ada,akan tetapi guru tidak mampu menjawab
pertanyaanku”.
2).Bermimpi bertemu Nabi Saw. pada malam ke-10, malam ke-20 dan malam
ke-30 bulan Ramadhan,Al
Asy’ari tertidur dan bertemu Nabi Saw,Beliau berkata :”Wahai Ali tolongalah
pendapat-pendapat yang di riwayatkan dariku, karena itulah yang benar”.
Setelah terbangun,Al asy’ari merasakan
mimpi itu sangat berat dalam pikirannya,dia terus memikirkannya apa yang dia
Alami dalam mimpi itu.Pada pertengahan bulan Ramadhan,dia bermimpi lagi bertemu
Nabi Saw,dan beliau berkata :”Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu”?
Al Asy’ari menjawab :”Aku telah
memberikan pengertian yang benar terhadap pendapat-pendapat yang di riwayatkan
darimu”.
Nabi Saw berkata :”tolonglah
pendapat-pendapat yang di riwayatkan dariku,karena itu yang benar”.
Setelah terbangun dari mimpinya Al
asy’ari merasa terbebani dengan mimpi itu.Sehingga dia bermaksud meninggalkan
ilmu kalam,dia akan mengikuti hadits dan akan terus membaca Alqur’an. Tetapi
pada malam 27 Ramadhan, tidak seperti biasanya rasa kantuk yang begitu hebat
menyerangnya, sehingga diapun tertidur dengan rasa kesal dalam hatinya, karena
meninggalkan kebiasaannya untuk beribadah kepada Allah ta,ala. Dalam tidur ia
bermimpi bertemu lagi dengan Nabi Saw untuk ketiga kalinya, Nabi Saw
berkata : ”Apa yang kamu lakukan dengan perintah ku dulu”?
ia menjawab :”Aku telah
meninggalkan ilmu kalam dan berkonsentrasi menekuni alqur’an dan Alhadits”.
Nabi Saw berkata :”Aku tidak
menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam,tetapi Aku hanya memerintahmu membela
pendapat- pendapat yang di riwayatkan dariku,karena itu yang benar”.
Ia menjawab :”Wahai Rasullallah,bagaimana
aku mampu meninggalkan madzhab yang yang telah aku ketahui masalah-masalah dan
dalil-dalilnya sejak 30 tahun yang lalu hanya karena mimpi”?
Nabi Saw berkata:”Andaikan Aku tidak
tahu bahwa Allah Akan menolongmu dengan pertolonganNya,tentu Aku menjelaskan
semua jawaban masalah-masalah(ajaran mu’tazilah)itu.Bersungguh-sungguhlah kamu
dalam masalah ini,Allah akan menolongmu dengan pertolonganNya”.
Setelah terbangun dari tidurnya Al
asy’ari berkata :”selain kebenaran pasti hanya kesesatan”.
Lalu dia mulai
membela hadits-hadits yang berkenaan dengan Ru’yah(melihat Allah di
akhirat),syafa’at dan lain-lain.Ternyata setalah itu Al Asy’ari mampu
memaparkan kajian-kajian dan dalil –dalil yang belum pernah di pelajarinya
dariseorang guru,tidak dapat di bantah oleh lawan dan belum pernah di bacanya
dalam suatu kitab.[10]
Ø Murid-muridnya
Di antara
murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al-Marwazi,
Abu Abdillah bin Mujahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu
Muhammad al-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sarakhsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu
Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.
Ø Tulisan-tulisannya
Di antara
tulisan-tulisan beliau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul
Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’,
al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kitabush
Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah,
Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal
Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi
alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul
Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin,
Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al-Mukhtazin,
dan yang lainnya.
al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata,
“al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari memiliki 55 tulisan.
Ø
Wafatnya
al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
wafat di Baghdad pada tahun 324 H/. Semoga Allah meridhoinya dan
menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
2. DIBIDANG TASAWUF
Kehidupan
tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan
kekhusyukan untuk mengingat Dia.Ini adalah perkataan Syaikh al-Junayd
al-Baghdadi, tokoh sufi termashur yang senantiasa disebut dalam do’a silsilah
pengamal Tarekat Naqsyabandiyah naungan YPDKY selain Syaikh Abu Yazid
al-Bistami (lahir 188 H/804 M dan wafat 261 H/875 M), dan Syaikh Abd al-Qadir
al-Jilani (lahir 470 H/1077 M). Berhubungan dengan kekhusyukan, Syaikh
al-Junayd al-Baghdadi juga mengatakan,“Tuhan menyucikan ‘hati’ seseorang
menurut kadar kekhusyuknya dalam mengingat Dia.” Berikut riwayat singkat imam al-Ghazali
dan Syaikh al-Junaid al-Baghdadi.
a.
Imam Al-Ghazali
Ø Nama,
Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad
bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam
Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah
Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam
Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al
Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi
Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu
Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan
nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan
penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu
menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul
Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang
benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama
dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al
Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al
Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar,
ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran
para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu
penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas
dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan
kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H/1058 M[11]
dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar
A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193
dan 194).
Ø Kehidupan
dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah
seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di
kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada
temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya
menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa
yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau
mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka
temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan
yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat
orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah
oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian.
Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan
kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu.
Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya
melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau
berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu
enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita,
bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya
dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih
dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila
mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon
diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau
menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam
ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan
kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan
saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat
(Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai
belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad
Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu
dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian
pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/195).
Beliau mendatangi kota
Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan.
Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih
khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun
memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya.
Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain
meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul
Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul
Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat
ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan
tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan
yang sangat tinggi.
Ø Masa
Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan
dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam
Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu
hadits
dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan
Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya
dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits
dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab
Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari
Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu
berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta
meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk
menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap
kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).
(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat
di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan
dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).[12]
b. Imam Junaid al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junayd ibn Muhammad ibn Junayd
al-Baghdadi. Ia kemudian
lebih popular dengan panggilan al-Junayd al-Baghdadi, dan terkadang juga
dipanggil al-Junayd saja. Ia merupakan tokoh sufi yang besar pengaruhnya di
Baghdad. Al-Junayd lahir di Kota Nihawand, Persia, dan wafat pada 298
H/910 M[13].
Meskipun ia lahir di Nihawand, keluarga-nya bermukim di Kota Baghdad, tempat ia
belajar hukum Islam menurut mazhab Imam Syafi’i, dan akhirnya ia menjadi qadi
di Baghdad,kemudian ia menganut Mazhab Abu Tsawr.
Dalam disiplin sufi, ia
adalah murid pamannya, Syaikh Sari al-Saqati (w. 253 H/867 H), saudara kandung
dari ibunya sendiri. Di samping belajar dengan al-Saqati, ia berguru juga
kepada Abu Abd Allah al-Haris ibn Asad al-Basri al-Baghdadi al-Muhasibi (165 H
– 243 H/781 – 857 M), seorang sufi yang terkemuka di Baghdad ketika itu.
Al-Junayd al-Baghdadi, bahkan dipandang sebagai murid terdekat dan paling
banyak mendapatkan ilmu dari Haris al-Muhasibi tersebut.
Kehidupan al - Junayd al-Baghdadi,di samping sebagai sufi yang senantiasa
mengajarkan ilmunya kepada muridmuridnya, ia juga sebagai pedagang yang
meneruskan usaha ayahnya, yaitu sebagai pedagang barang pecah-belah di pasar
tradisional. Selesai
berdagang, beliau ke rumah dan mampu mengerjakan shalat dalam waktu sehari semalam
sebanyak empat ratus rakaat.
Pada akhir perjalanan hidupnya,
ia diakui banyak muridnya sebagai imam. Sehubungan dengan itu, dalam pandang
Sa’id Hawwa, seorang tokoh sufi kontemporer, ada beberapa sufi yang dapat
diterima oleh umat Islam, salah satunya adalah al-Junayd al-Baghdadi ini, di
samping tokoh-tokoh lain, seperti al-Ghazali (w.505 H/1111 M). Al-Junayd
meninggal dunia pada Jumat, 298 H / 910 M (versi lain: 297 H/910 M) dan
dimakamkan di dekat makam pamannya sekaligus gurunya, Sari al-Saqati, di
Baghdad.
Dalam masa-masa hidupnya,
al-Junayd menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum
ortodoks. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika
itu, maka al-Junayd melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari
murid-muridnya di balik pintu terkunci.
Dari surat-suratnya atau risalahrisalah singkatnya dan keterangan dari para
sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya,dapat dipandang bahwa jalan hidup
al-Junayd al-Baghdadi merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke
“Sumber” segala sesuatu,yakni Tuhan. Bagi al-Junayd al-Baghdadi,cinta spiritual (mahabbah)
berarti, “Sifatsifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat pencinta.”
Al-Junayd memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua
kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada
Allah SWT. Untuk itulah,
dengan pahampaham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syaikh
sufi yang kharismatik di kota Baghdad. Banyak terekat sufi yang silsilahnya
melalui al-Junayd.
Al-Junayd terkenal
sebagai tokoh sufi yang sangat konsen dengan dunia tasawuf yang digelutinya.
Bahkan bagi beliau tidak ada ilmu di dunia ini yang lebih tinggi dari tasawuf.
Dalam hal keteguhan pada tasawuf inilah beliau mengatakan,“Apabila saya
mengetahui ilmu yang lebih besar dari tasawuf, tentulah saya pergi mencarinya,
sekalipun harus dengan cara merangkak.”[14]
Ø Wafatnya
Akhirnya kekasih
Allah itu telah menyahut panggilan Ilahi pada 297 Hijrah. Imam Junaid telah
wafat di sisi As-Syibli, seorang daripada muridnya. Ketika sahabat-sahabatnya
hendak mengajar kalimat tauhid, tiba-tiba Imam Junaid membuka matanya dan
berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah melupakan kalimat itu sejak lidahku
pandai berkata-kata."[15]
3. DIBIDANG
FIQIH
a.
Biografi Imam
Hanafi / Abu Hanifah
Ø Kelahiran
dan latar belakang pendidikannya
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu
Hanifah al –Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al –Taimiy, tapi ia lebih dikenal
dengan sebutan Abu Hanifah. Ayahnya adalah keturunan bangsa Persia ( Kabul /
Afganistan ) yang sudah menetap di Kufah, sehingga beliaupun dilahirkan di kota
Kufah pada tahun 80 H /699 M dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H /767 M, yakni
di masa akhir dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan raja
bani Umayyah ke-5 dan masa awal dinasti Abbasiyah[16].
Beliau diberi gelar Abu Hanifah karena
diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Menurut kebiasaan, nama anak
menjadi nama panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu ( bapak / ayah ),
sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ada lagi satu riwayat
yang mengatakan, beliau bergelar Abu Hanifah karena begitu taatnya beribadah
kepada Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab Haniif yang berarti condong atau
cenderung pada yang benar. Akan tetapi, menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu
Hanifah karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat ), dan kata haniif
menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna
menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-teman dan
gurunya.
Pada mulanya Abu
Hanifah gemar mempelajari ilmu qira’at, hadits, nahwu dan ilmu agama lainnya
yang berkembang pada masa itu, bahkan iapun mempelajari teologi ( ilmu kalam ),
sehingga ia menjadi salah seorang terpandang dalam ilmu tersebut. Karena
ketajaman pemikirannya ia sanggup untuk menangkis serangan golongan khawarij
yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.
Pada waktu itu kota Kufah merupakan
pusat pertemuan ulama ilmu fiqh yang cenderung rasional, sehingga iapun
menekuninya. Di kota ini terdapat madrasah Kufah yang dirintis oleh Abdullah
Ibn Mas’ud ( wafat 63 H / 682 M ). Kemudian berlanjut di bawah kepemimpinan
Ibrahim al –Nakha’i lalu Hammad bin Sulaiman al –Asy’ari ( wafat 120 ).Dan dari
Imam Hammad inilah Abu Hanifah belajar fiqh dan hadits. Imam Hammad sering
mewakilkan kepada beliau dalam mengajarkan agama dan memberi fatwa. Kepercayaan
ini diberikan karena keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam mengupas
masalah fiqh.
Abu Hanifah adalah seorang yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dan wawasan yang luas tentang ilmu agama, sehingga sangatlah tidak heran jika banyak kalangan yang memujinya dan mengakuinya. Hal ini bisa dilihat dari pernyatan dan pengakuan para ilmuan lainnya. Imam Ibn al – Mubarak mengatakan : “ aku belum pernah melihat seorang laki-laki lebih cerdik dan pandai dari pada Imam Abu Hanifah.” Imam Ali bin Ashimpun berkata : “ jika sekitranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan”. Seorang raja, Harun ar –Rasyid kala itu juga menyatakan : “ Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya”
Abu Hanifah adalah seorang yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dan wawasan yang luas tentang ilmu agama, sehingga sangatlah tidak heran jika banyak kalangan yang memujinya dan mengakuinya. Hal ini bisa dilihat dari pernyatan dan pengakuan para ilmuan lainnya. Imam Ibn al – Mubarak mengatakan : “ aku belum pernah melihat seorang laki-laki lebih cerdik dan pandai dari pada Imam Abu Hanifah.” Imam Ali bin Ashimpun berkata : “ jika sekitranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal penduduk kota ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan”. Seorang raja, Harun ar –Rasyid kala itu juga menyatakan : “ Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya”
Imam Malik pernah ditanya oleh
seseorang :” pernahkah anda melihat Abu Hanifah? Ya, saya melihatnya, ia adalah
seorang laki-laki, jika anda bertanya tentang tiang ini supaya ia jadikan emas,
niscaya dia akan memberikan alasan-alasannya”. Bahkan Imam Syafi’i pernah
menyatakan :” manusia seluruhnya adalah keluarga dalam ilmu fiqh dan menjadi
anak buah Imam Abu Hanifah”. Pengakuan dan pernyataan yang disampaikan
oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i cukuplah membuktikan betapa luasnya pandangan
dalam mengulas hukum-hukum islam. Bahkan tidak hanya dalam masalah fiqh,
tentang haditspun beliau juga mempunyai kepandaian dan kecerdasan.
Beliau sendiri pernah berkata : “
jauhilah olehmu memperkatakan urusan agama Allah menurut pendapatmu sendiri,
tidak menurut hadits-hadits Nabi “ Sehingga dalam perkembangan selanjutnya
beliau lebih mengutamakan rasio ( analogi /qiyas ) dari pada hadits yang
dipandang lemah”.
Dari sekian banyak riwayat yang
menerangkan tentang kealiman, kebesaran dan kemuliannya tersebut, maka dapatlah
disimpulkan bahwa beliau adalah orang yang sangat berjasa bagi islam dan
umatnya. Beliau juga seorang pilihan yang telah lulus dalam menempuh berbagai
ujian berat, menderita dan sakit di dalam penjara sampai akhirnya beliau wafat
tahun 150 H (576 M ) pada usia 70 tahun dan dimakamkan di pekuburan khizra, dan
pada saat itu lahirlah Imam Syafi’i.
Sepeninggal beliau, pada tahun 450 H /
1066 M didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama jami’ Abu Hanifah. Ajaran
dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara
meridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki’ bin jarah
Ibn Hasan al- Syaibah dan lain-lain.
Ø Karya-karya
Imam Abu Hanifah
Sepanjang hidupnya,
Imam Abu Hanifah banyak mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, baik
ilmu fiqh, ilmu kalam ataupun yang lainnya. Ini dikarenakan beliau adalah
seorang yang mempunyai kepandaian dan kecerdasan yang luar biasa pada zamannya.
Diantara para ulama terkenal yang memnjadi sahabat beliau dan berjasa dalam
pengkodifikasian fatwa-fatwa beliau adalah :
a. Abu
Yusuf Ya’kub ibn Ibrahin al- Anshary ( 113-182 h )
b. Muhammad
ibn Hasan al- Syaibany ( 132-189 H )
c. Zufar
ibn Huzailibn al- Kufy ( 110-158 H )
d. al-
Hasan ibn Ziyad al- Lu’lu’iy ( 133-204 H ).
Pada saat beliau
masih hidup,fatwa-fatwa dan hasil ijtihad beliau belum dikodifikasikan, setelah
beliau meninggal, barulah buah pikirannya itu dikodifikasikan oleh murid-murid
dan para sahabatnya sehinggah menjadi mazhab ahli ra’yi yang hidup dan
berkembang.
Dari sahabat dan
murid beliau yang banyak menyusun buah fikiran Abu Hanifah adalah Muhammad al-
Syaibany yang terkenal dengan ” al-Kutub al- Sittah ” ( enam kitab ) yaitu:
1. Kitab
al - Mabsuth
2. Kitab
al – Ziyadat
3. Kitab
al – Jami’ al – Shaghir
4. Kitab
al – Jami’ al – Kabir
5. Kitab
al – Sair al – shaghir
6. Kitab
al – Sair al – Kabir
Ø Metode
istimbat yang digunakan mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah
adalah ulama yang terkenal menggunakan rasio dalam ijtihad-ijtihadnya, sehinggah
ia dikenal dengan ahl al- Ra’yu. Ia hidup selama 52 tahun pada masa dinasti
umayyah dan 18 tahun pada masa dinasti Abbasiyah. Pada masa hidupnya, ia sempat
menyaksikan tragedi – tragedi besar di Kufah. Di satu sisi Kufah memberikan
makna dalam kehidupannya sehingga menjadi seorang ulama besar al –Imam al
–A’zam. Tapi disisi lain, beliau merasakan kota Kufah sebagai kota yang
diwarnai dengan pertentangan politik. Kota Kufah dan Bashra di Irak memang
melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai bidang seperti ilmu sastra, teologi,
tafsir, hadits dan tasawuf,
Intelektualitas Abu Hanifah diwarnai oleh kedua kota bersejarah tersebut. Di tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertarungan tradisional antara suku Arab utara, Arab selatan serta Persi. Oleh karena itu, pola pikir Imam Abu Hanifah dalam menetapka hukum sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya.
Intelektualitas Abu Hanifah diwarnai oleh kedua kota bersejarah tersebut. Di tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik dan pertarungan tradisional antara suku Arab utara, Arab selatan serta Persi. Oleh karena itu, pola pikir Imam Abu Hanifah dalam menetapka hukum sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya.
Secara hierarkis pokok-pokok pikiran
mazhab Hanafi adalah:
1.
al-Qur’an.
2.
Al- sunnah Rasullah SAW yang shohih saja
3.
Al- Aqwal al-Sahabah ( fatwa-fatwa dari
para sahabat
4.
Al- Qiyas,
5.
Al- Istihsan
6.
‘Urf ( adat istiadat) masyarakat muslim [17]
b. Biografi Imam Malik
Imam Malik yang bernama lengkap Abu
Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin
Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93H/ 712 M dan
wafat pada hari ahad, tahun 179 H/ 798 M di Madinah. Berasal dari keluarga Arab terhormat,
berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah
asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam,
mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama
yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu
yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya
termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam
Malik tak
berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota
dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam
mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut
satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk
membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai
derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan.
Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia[18].
Karena keluarganya ulama
ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada
ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama
terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim
bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang
lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu
berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam
Malik telah
menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh
hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai
dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam
Malik. Ulama
besar, Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam
Malik. Belum
lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid
terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ketegasan sikap Imam
Malik bukan
sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak
sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang
dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika,
gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh
penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam
Malik yang saat
itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at
kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan
gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya
perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya
tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun
memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi
berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal
itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak
dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah
Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar
penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya
dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan
itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan
menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk
keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam
Malik lebih
suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah
pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Ø Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta' adalah kitab
fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal
kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan
pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam
Malik ini
dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih
dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat,
sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam
Malik tidak
'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al
Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan
membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena
dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al
Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al
Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al
Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah,
kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam
Malik memang
menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu
hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab
ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang
berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al
Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam
Malik atas
berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di
kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam
Malik dan Al
Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa
Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki
(karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik
fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan
Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi
rujukan utama mazhab Maliki[19].
Mazhab Maliki pernah
menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia,
Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang
disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas
penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan
Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini
satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki
Adapun metode istimbat Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah
berpegang kepada :
Ø Al-Qur’an
Ø Sunnah
Ø Ijma’ Ahli Madinah
Ø Fatwa Sahabat
Ø Kabar ahad dan qiyas
Ø Istishab
Ø Maslahah mursaah
Ø Sadduz zara’i
Ø Istishabsyar’u man koblana syar’un lana
c. Biografi Imam Syafi’i
Ø Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah
Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin
al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin
Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau
masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh
beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari
daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia
seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan
menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya
meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau,
-yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian
ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’,
sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik
dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam
barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan
lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab
serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab
murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan
kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian
mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan
Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy
secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau,
terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan
dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain
menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu
Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita
yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang
faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Ø Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150.
Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim
sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang
ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak
riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang
termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota
yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah
Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat
lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.Lalu ketika berumur 10
tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia
lenyap dan terlupakan.
Ø Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari
Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya
tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada
seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang
guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya
dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat
menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan
murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya
menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku
mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera
guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika
dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah
berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di
al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri
majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak
berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan
kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai
tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar,
dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi
pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah
menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’
karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan
Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu
bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah
pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian
bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau
telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka,
serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji
oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup
sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah
mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji
-mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu
fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau
mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim
bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang
masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan
lain-lain. Di Mekkah
ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’
Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9
di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para
syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar
as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada
Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau
ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’
yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum
kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil
ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik,
beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu
Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim
bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau
kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari
Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain.
Karena
situasi politik ketika itu pergolakan antara Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah,
beliau dituduh memihak kepada Bani Umaiyah yang telah diruntuhkan oleh Bani
Abbasiyah, sehingga beliau di bawa ke baghdad untuk di adili, namun beliau bisa
memberi alasan yang tepat di depab Khalifah Harun ar-Rasyid, sehingga akhirnya
beliau di bebaskan di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada
kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu
Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan.
Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan
lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke
Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat
dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji
berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang
mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau
makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika
kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim
surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar
yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh
dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang
terkenal, Ar-Risalah.
Setelah
lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke
Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits
di sana. Beliau mendapat
sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah
menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits
merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu
Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di
Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu.
Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua
tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai
menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya
meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke
Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi
perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli
kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara
Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu
bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh
-yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal
itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam
menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal
mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu
betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak
madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi
mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah
kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk
menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya,
banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya
adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian
memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana,
tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau
mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan
menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai
akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Ø Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang
mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu
masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah
Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan
dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi
penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika
kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian
berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti
sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Ø Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan
menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah.
Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat
karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat
Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga
Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan
bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada
beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?”
Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan
menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Ø Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama
setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu,
hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut
Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113
kitab tentang tafsir,
fiqih,
adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab
yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang
terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah
yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam
syariat.[20]
Ø Pujian
Ahmad bin Hanbal kepada Imam Syafi’i
Sewaktu di Baghdad,
Imam Syafi’i selalu bersama Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cintanya pada Imam
Syafi’i, sehingga putra-putri Imam Ahmad merasa penasaran kepada bapaknya itu.
Putri Imam Ahmad memintanya untuk mengundang Imam Syafii bermalam di rumah
untuk mengetahui perilaku beliau dari dekat. Imam Ahmad bin Hanbal lalu menemui
Imam Syafi’i dan menyampaikan undangan itu.
Ketika Imam Syafi’i telah berada di
rumah Ahmad, putrinya lalu membawakan hidangan. Imam Syafi’i memakan banyak
sekali makanan itu dengan sangat lahap. Ini membuat heran putri Imam Ahmad bin
Hanbal.
Setelah makan malam, Imam Ahmad bin
Hanbal mempersilakan Imam Syafi’i untuk beristirahat di kamar yang telah
disediakan. Putri Imam Ahmad melihat Imam Syafi’i langsung merebahkan tubuhnya
dan tidak bangun untuk melaksanakan shalat malam. Pada waktu subuh tiba beliau
langsung berangkat ke masjid tanpa berwudhu terlebih dulu.
Sehabis shalat subuh, putri Imam Ahmad
bin Hanbal langsung protes kepada ayahnya tentang perbuatan Imam Syafi’i, yang
menurutnya kurang mencerminkan keilmuannya. Imam Ahmad yang menolak untuk
menyalahkan Imam Syafi’i, langsung menanyakan hal itu kepada Imam
Syafi’i.
Mengenai hidangan yang dimakannya
dengan sangat lahap beliau berkata: “Ahmad, memang benar aku makan banyak,
dan itu ada alasannya. Aku tahu hidangan itu halal dan aku tahu kau adalah
orang yang pemurah. Maka aku makan sebanyak-banyaknya. Sebab makanan yang halal
itu banyak berkahnya dan makanan dari orang yang pemurah adalah obat. Sedangkan
malam ini adalah malam yang paling berkah bagiku.”
“Kenapa begitu, wahai guru?”
“Begitu aku meletakkan kepala di atas
bantal seolah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW digelar di hadapanku. Aku
menelaah dan telah menyelesaikan 100 masalah yang bermanfaat bagi orang islam.
Karena itu aku tak sempat shalat malam.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata pada
putrinya: “inilah yang dilakukan guruku pada malam ini. Sungguh,
berbaringnya beliau lebih utama dari semua yang aku kerjakan pada waktu tidak
tidur.” Imam Syafi’i melanjutkan: “Aku shalat subuh tanpa wudhu
sebab aku masih suci. Aku tidak memejamkan mata sedikit pun .wudhuku masih
terjaga sejak isya, sehingga aku bisa shalat subuh tanpa berwudhu lagi.”
Dilain kesempatan Imam Ahmad bin Hanbal
pernah berkata: “aku tidak pernah shalat sejak 40 tahun silam kecuali dalam
shalatku itu aku berdoa untuk Imam Syafi’i.” Abdullah, putranya
lantas bertanya: “wahai ayahku, seperti apa sih Syafi’i, sehingga
ayah selalu berdoa untuknya?” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab:
“wahai anakku, Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi dunia dan seperti kesehatan
bagi tubuh. Lihatlah anakku, betapa pentingnya dua hal itu.”
Abdul Malik bin Abdul Hamid al-Maimuni
berkata: “Aku berada di sisi Ahmad bin Hanbal dan beliau selalu menyebut
Imam Syafi’i. Aku selalu melihat beliau mengagungkan Imam Syafi’i.
d. Biografi Imam Hambali
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal.
Beliau adalah Imam yang keempat dari fuqahak Islam. Beliau memiliki sifat-sifat
yang luhur dan tinggi. Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul
Awal tahun 164H. Beliau termasyhur dengan nama kakeknya Hambal, kerana datuknya
lebih masyhur dari ayahnya.
Ibnu Hambal hidup dalam keadaan miskin,
kerana ayahnya hanya meninggalkan sebuah rumah kecil dan tanah yang sempit.
Beliau terpaksa melakukan berbagai pekerjaan. Beliau pernah bekerja di tempat
tukang jahit, mengambil upah menulis, menenun kain dan kadangkala mengambil
upah mengangkat barang-barang orang. Beliau lebih mementingkan makanan yang
halal lagi baik dan beliau tidak senang menerima hadiah-hadiah.
Ketika ia masih berumur 14 tahun, Ahmad
bin Hambal telah belajar menulis dan menghafal Al-Quran. Beliau bekerja keras
dalam menuntut ilmu pengetahuan. Sebagai seorang ulama yang sangat banyak
ilmunya, Ibnu Hambal pun seorang yang teguh imannya, berani berbuat di atas
kebenaran. Dia tidak takut bahaya apa pun terhadap dirinya di dalam menegakkan
kebenaran itu. Kerana Allah memang telah menentukan bahawa setiap orang yang
beriman itu pasti akan diuji keimanannya. Termasuk juga para nabi dan rasul
yang tidak pernah lepas dari berbagai ujian dan cubaan.
Imam Hambali berada di zaman kekuasaan
kaum Muktazilah yang berpendapat bahawa Quran itu adalah makhluk. Pendirian ini
begitu kuatnya di kalangan pemerintah, sehingga barangsiapa yang bertentangan
pendirian dengan pihak pemerintah tentu akan mendapat seksaan. Sebelum
Al-Makmun ini, yakni di zaman sultan Harun Al-Rasyid, ada seorang ulama bernama
Basyar Al-Marisy berpendapat bahawa Quran itu adalah makhluk. Baginda Harun
Al-Rasyid tidak menerima pendapat tersebut. Bahkan terhadap orang yang
berpendapat demikian akan diberi hukuman. Kerana ancaman itu akhirnya Basyar
melarikan diri dari Baghdad.
Tetapi setelah Sultan Harun Al-Rasyid
meninggal dunia, kemudian diganti dengan puteranya Al-Amin barulah Syekh Basyar
keluar dari persembunyiannya. Kembali ia mengeluarkan pendapatnya itu, bahawa
Quran itu adalah makhluk. Al-Amin juga sependirian dengan ayahnya tidak setuju
dengan pendapat tersebut. Ia mengancam berat terhadap orang yang mengatakan
Quran itu makhluk.
Kemudian kepala negara pindah lagi ke
tangan saudara Al-Amin iaitu Al-Makmun. Di zaman pemerintahan Al-Makmun inilah
pendapat tentang Quran itu makhluk mula diterima. Al-Makmun sendiri telah terpengaruh
dan ikut berpendapat demikian. Pada suatu kali oleh Al-Makmun diadakan
pertemuan para ulama besar, untuk membincangkan hal itu, tetapi para ulama
tetap berpendapat bahawa Al-Quran itu adalah makhluk. Al-Makmun mengharapkan
supaya pendapat itu diterima orang ramai.
Pada masa itu satu-satunya ulama yang
keras berpendirian bahawa “Al-Quran itu bukan makhluk?” Hanyalah Imam Hambali.
Secara terus terang ia berkata di hadapan Sultan:“Bahawa Al-Quran bukanlah
makhluk yang dijadikan Allah, tetapi ia adalah Kalamullah.”
Imam Hambali satu-satunya ulama ketika
itu yang berani membantah, sedangkan yang lainnya diam seribu bahasa. Kemudian
ia ditangkap dan dihadapkan ke hadapan baginda. Ia dipanggil bersama tiga orang
ulama yang lainnya, yaitu Imam Hassan bin Muhammad Sajah, Imam Muhammad bin Nuh
dan Imam Ubaidah bin Umar. Kedua ulama di antara mereka sama menjawab dan
membenarkan pendapat baginda sementara Imam Hambali dan Imam Muhammad bin Nuh
dengan tegas menjawab bahawa Quran itu bukanlah makhluk. Keduanya lalu
dimasukkan ke dalam penjara. Setelah beberapa hari dalam penjara datang surat
dari Tharsus yang meminta supaya keduanya dibawa ke sana dengan dirantai.
Terhadap Imam Hambali mereka minta
supaya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya. Baginda raja menerima
usulan tersebut. Lalu Imam Hambali dihadapkan depan raja dan ditanyakan tentang
pendiriannya. Namun ia tetap menyampaikan pendiriannya bahawa Al-Quran itu
ialah Kalamullah bukan makhluk. Dan ia menegaskan lagi bahawa ia tidak akan
berubah dari pendiriannya itu.
Akhirnya terjadilah persidangan yang
dipimpin oleh baginda sendiri. Kemudian baginda memanggil Imam Hambali dan
berkata: “Atas nama saya sebagai kerabat Nabi Muhammad SAW saya akan memukul
engkau beberapa kali, sampai engkau membenarkan apa yang telah saya benarkan,
atau mengatakan seperti yang saya kata?” Kerana Imam Hambali masih tetap dengan
pendiriannya, maka baginda memerintahkan kepada perajuritnya untuk memukul Imam
Hambali.
Ketika cambuk yang pertama singgah di
punggung beliau, beliau mengucapkan “Bismillah.” Ketika cambuk yang kedua,
beliau mengucapkan “La haula walaa quwwata illaa billah” (tiada daya dan
kekuatan apa pun kecuali izin Allah). Ketika cambuk yang ketiga kalinya beliau
mengucapkan “Al-Quran kalaamullahi ghairu makhluk” (Al-Quran adalah kalam Allah
bukan makhluk). Dan ketika pada pukulan yang keempat, beliau membaca surah
At-Taubah ayat 51.
“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami
melainkan apa yang ditetapkan oleh Allah bagi kami.”. Sehingga seluruh badan
beliau mengalir darah .
Akhirnya beliau dimasukkan ke dalam
penjara kembali. Pada suatu hari ketika Imam Hambali dibawa ke Kota Anbar
dengan tangan yang terbelenggu, seorang yang alim bernama Abu Ja’far Al-Anbari
menghampiri beliau. Imam Hambali bertanya kepadanya: “Hai Abu Ja’far apakah
engkau susah melihat keadaanku?” “Tidak wahai Imam, engkau adalah pemuka umat,
kerana umat manusia ada di belakangmu. Demi Allah, bila engkau mahu menjawab
bahawa Quran itu makhluk, pastilah umat akan mengikutimu, dan bila engkau tidak
mahu menjawab, maka umat juga tidak mahu menjawab seperti apa yang ingin engkau
jawab. Bila engkau tidak mati dibunuh orang, pasti engkau juga akan mati dengan
cara yang lain. Maka janganlah engkau mahu menuruti kehendak mereka.”
Mendengar kata-kata Ja’far itu beliau
mencucurkan air mata dan berkata: “Masya-Allah!, Masya-Allah!, Masya-Allah!.
Kemudian beliau pun dikunjungi oleh bekas penjahat bernama Abdul Haitsam
Al-Ayyar dan berkata kepada beliau: “Wahai Imam, saya ini seorang pencuri yang
didera dengan beribu-ribu cambukan, namun saya tidak mahu mengakui perbuatan
saya, pada hal saya menyedari bahawa saya salah. Maka janganlah Imam gelisah
dalam menerima dera, sebab engkau dalam kebenaran.”
Ketika Khalifah Al-Makmun meninggal
dunia pada tahun 218H (833 M) setelah memerintah 20 tahun lamanya, yang
mengganti beliau ialah saudaranya yang bernama Ishaq Muhammad bin Harun
Al-Rasyid yang bergelar dengan Al-Muktashimbillah. Sebelum Khalifah Al-Makmun
meninggal dunia beliau telah berpesan kepada bakal penggantinya itu bahawa
faham Al-Quran itu makhluk harus dipertahankan.”
Kebijaksanaan kerajaan yang menyiksa
para ulama yang tidak sependirian dengan faham kerajaan itu atas dasar hasutan
seorang ulama kerajaan yang bernama Qadhi Qudhoti Ahmad bin Abi Daud (Daud).
Ulama inilah yang memberikan usulan kepada Al-makmun bahwa jika Imam Ahmad bin
Hambal tetap tidak mahu mengikuti bahawa Al-Quran itu makhluk hendaklah dihukum
dengan hukuman yang berat.
Pada bulan Ramadhan pengadilan terhadap
Imam Hambali diadakan lagi. Khalifah Al-Muktashim bertanya: “Al-Quran itu
adalah baru, bagaimana pendapat anda.” “Tidak!, Al-Quran adalah kalam Allah,
saya tidak sejauh itu membahasnya kerana di dalam Al-Quran dan hadits tidak
disuruh membahas soal tersebut.” Jawab beliau[21].
Beliau dicambuk sampai berdarah, pada hal ketika itu bulan puasa. Baginda
berkata: “Kalau kamu merasa sakit dengan pukulan ini, maka ikutilah saya, dan
akuilah bahawa Al-Quran itu makhluk, supaya kamu selamat.”
Kemudian Khalifah Al-Watsiq meninggal
dunia dan digantikan dengan saudara beliau yang bernama, Al-Mutawakkil. Pada
masa inilah dicabut tentang faham muktazilah dan diadakan pembebasan terhadap
semua ulama yang ditahan, termasuk Imam Ahmad bin hambal. Sementara itu Imam
Hambali setelah dibebaskan beliau diberi hadiah sebanyak l0,000 dirham, namun
hadiah tersebut beliau tolak. Kerana dipaksa untuk menerimanya, akhirnya beliau
terima dan dibahagi-bahagikan kepada fakir miskin.
Ø
Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata,
“Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang
mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah
puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang
didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan
beliau lebih unggul dari seniornya”.
Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi
Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu
Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham,
dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini.
Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia
mengetahui kadar orang lain!!
Ø
Guru-Guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal
berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang
tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman
dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah[22]:
5.
Imam Syafi'i
9.
Abdurrazaq
Ø
Murid-murid Ahmad bin Hanbal
Umumnya ahli hadits
pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama
yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah:
1. Imam Bukhari
2.
Muslim
3.
Abu Daud
4.
Nasai
5.
Tirmidzi
6.
Ibnu Majah
Ø
Kewafatan Ahmad bin Hanbal
Setelah sakit
sembilan hari, beliau Rahimahullah menembuskan napas terakhirnya di pagi hari
Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77
tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh
ribu pelayat perempuan.
Ø
Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah
1.
Kitab Al Musnad, karya yang paling
menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab
at-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab
an-Nasikh wa al-Mansukh
4. Kitab
at-Tarikh
5. Kitab
Hadits Syu'bah
6. Kitab
al-Muqaddam wa al-Mu'akkhar fi al-Qur`an
7. Kitab
Jawabah al-Qur`an
8. Kitab
al-Manasik al-Kabir
9. Kitab
al-Manasik as-Saghir
Ø
Menurut Imam Nadim, kitab berikut ini
juga merupakan tulisan Imam Ahmad bin Hanbal
1.
Kitab al-'Ilal
2.
Kitab al-Manasik
3.
Kitab az-Zuhd
4.
Kitab al-Iman
5.
Kitab al-Masa'il
6.
Kitab al-Asyribah اﻞ
7.
Kitab al-Fadha'il
8.
Kitab Tha'ah ar-Rasul
9.
Kitab al-Fara'idh
10. Kitab
ar-Radd ala al-Jahmiyyah
BAGIAN II
1.
ISLAM DI RANAH MINANGKABAU
Pendidikan menurut
adat Minangkabau di Sumatera Barat sudah berjalan jauh sebelum kedatangan agama
Budha masuk ke Minangkabau. Pendidikan itu disampaikan secara lisan dari
generasi ke generasi dan keberhasilan pendidikan itu dinilai dari penguasaan
adat dan keahlian menyelesaikan masalah kehidupan. Untuk dapat menguasai
pengetahuan dan pelaksanaan adat yang luas dan rumit itu dipelajari melalui
contoh dan laku perbuatan dalam kehidupan sehari-hari yang disampaikan dalam
bentuk prosa lirik.
Minangkabau telah
lama dikenal sebagai suatu suku bangsa yang ahli dalam prosa lirik atau sastra
lisan. Tiga ratus tahun sebelum Masehi, negeri di bawah angin ini telah dikenal
sebagai bangsa ahli sastra yang tercantum dalam buku Kutub Khanah di Mesir.
Hubungan itu telah terjalin juga dalam perdagangan kapur barus (kampher, lat.)
yang diperlukan untuk pengawetan mummi raja-raja Mesir.
Pada masa kebudayaan
Hindu berkembang di India, I-tsing seorang musafir dari Cina, sengaja membawa
dua orang teman pada abad ke-7 untuk menyalin 200 buah pepatah-petitih di
Malaya Giri (Gunung Malayu) yang terletak di tepi Batang Hari. Pada masa
pemerintahan Adityawarman, didirikan tiga pusat pendidikan agama Budha yang
sacral yakni di Biaro Pariangan, di Baso dan di Petok Pasaman dengan
memanfaatkan bangunan tradisional surau. Adityawarman ikut memecahkan masalah
sosial mengenai remaja di Minangkabau yang tidak mempunyai tempat tinggal di
rumah gadang.
Dari Berbagai Sisi dan Penjuru
MASUKNYA AGAMA ISLAM
KE RANTAU timur di masa itu tidak terlepas dari persaingan perdagangan dan
pengaruh kerajaan-kerajaan, seperti melemahnya kekuasaan Sriwijaya, dan
lahirnya kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul
Aziz Syah yang menganut Islam (840 M).
Berkembangnya Malaka dan Samudera
Pasai menjadi kota dagang dan kerajaan Islam
(1400 M), dan kalahnya Sriwijaya melawan Majapahit, sejak tahun 1477 M itu,
pantai timur Ranah
Minang di bawah kendali Majapahit hingga
meninggalnya Hayam Wuruk, dan di masa itu kerajaan Pagarruyung di Minangkabau
diperintah oleh keturunan Kertanegara dan Dara Petak, putri dari Minang, yaitu
Adityawarman. Ketika itu, rantau Alam Minang sudah mulai dimasuki dan
didominasi oleh pemeluk Islam, walau Adityawarman masih memeluk Budha, tetapi
dinastinya berkuasa hingga 1581 M. Namun pernah tercatat 1411 M, raja-raja
turunan Adityawarman sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku
Maulana Malik Ibrahim. Kekuasaan kerajaan hanya sebatas simbol kekuasaan dan
lambang persatuan.
Setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk
Parpatih
nan Sabatang meninggal, raja melimpahkan
kekuasaannya kepada raja-raja muda, atau penghulu di rantau. Raja berdaulat
dengan tiga kekuasaan serangkai Rajo Tigo Selo, di Pagarruyung, di Luhak Tanah
Datar, yang terdiri dari Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat yang mempunyai
daerah kedudukan masing-masing di Buo dan di Sumpur Kudus. Tiga serangkai
kekuasaan ini diperkuat oleh dewan menteri
Basa Ampek Balai, yang terdiri dari
Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ganting, Mangkudum dari
Suruaso, Indomo dari Sumanik, dan diperkuat lagi oleh Tuan Gadang dari Batipuh
dalam urusan pertahanan. Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam
dengan adat setempat, seperti
adaik mananti, syarak mandaki. Namun
kegiatan yang erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat
Minang kala itu.
GERAKAN PEMBARUAN di dalam kehidupan
beradat dan beragama di Minangkabau, dapat dikatakan satu gerakan pembaruan
oleh para ulama zuama, yakni para cendekiawan yang hidup dengan latar belakang
kehidupan adat Minangkabau yang kuat, dan kemudian menuntut mendalami ilmu
pengetahuan agama Islam ke negeri-negeri sumber ilmu, sampai ke Mekah al
Mukarramah, yang kemudian diwarisi sambung bersambung membentuk rantai sejarah
yang panjang, dan bekelanjutan terus ke abad-abad sesudahnya.Masuknya Islam dan
sejarah perkembangannya di Minangkabau sejajar dengan sejarah pertumbuhan
kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantau
timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam.
Gerakan Dakwah Persuasif
Setelah Islam berkembang di
Minangkabau, Syekh Burhanddin mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan agama
Islam di Ulakan. Syekh Burhanuddin berhasil mendapat kesepakatan dengan Basa
Ampek Balai dan Kerajaan Pagaruyung, bahwa adat dan Islam sama terpakai di Alam
Minangkabau. Kedatangan Syekh Burhanuddin (Pono), yang berguru kepada Syekh
Abdurrauf Singkili di Aceh, dan kemudian mengembangkan Islam di Minangkabau
dengan membuka surau atau sekolah agama seperti di Ulakan Pariaman, dan di
Kapeh Kapeh Pandai Sikek, Padangpanjang, mulai melakukan gerakan pemurnian
Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha, serta menghapuskan kebiasaan-kebiasaan
anak nagari seperti minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat.
Istana Pagarruyung juga menjadi sasaran
dakwahnya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama
besar di Minang. Murid beliau mulai banyak dari darek atau dari Luhak nan Tigo.
Semasa itu, sudah terjadi juga persilangan paham antara penghulu dalam hal
setuju dan yang menentang ulama zuama, ulama cerdik pandai yang pulang dari
berguru dan melakukan pemurnian terhadap kebiasaan adat yang salah menurut
syarak.
Lambat laun, kesepakatan damai tercipta
antara para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang, untuk saling mengakui
kedudukan ulama dengan penghulu, sehingga ulama menjadi suluah bendang dalam
nagari, tidak menjadi bawahan dari Penghulu seperti kedudukan panungkek, dan
manti, dubalang. Semenjak itu lahir beberapa ungkapan petatah-petitih, syarak
mandaki adaik manurun, syarak nan lazim adaik nan kawi, syarak babuhue mati
adaik babuhue sintak, syarak balinduang adaik bapaneh, syarak mangato adaik
mamakai, syarak batilanjang adaik basisampieng.
Kesepakatan ini lebih mudah
dilaksanakan dan disetujui kedua belah pihak, karena Tarapang yang kemudian
menjadi Tuan Kadi di Padang Ganting adalah teman seperguruan dengan Syeh
Burhanuddin di Aceh. Kesepakatan yang disponsori oleh dua orang seperguruan itu
lebih dikenal dengan nama Perjanjian Marapalam. Tamatan pendidikan dari surau
Ulakan kemudian mengembangkan surau-surau di pedalaman Minangkabau.Bukan secara
kebetulan, Islam mendapat tanah yang subur untuk berkembang di pedalaman tanah
Melayu-Minangkabau. Ajaran Islam melahirkan spesialisasi dalam memperdalam
ajaran agama di surau-surau meliputi ibadah, mualamalah dan ilmu alat. Surau di
Kamang memperdalam ilmu alat, nahu dan sharaf, Tuanku nan Kecil di Koto Gadang
dalam ilmu mantik dan maani, surau Tuanku Sumanik dlam ilmu hadits, tafsir dan
ilmu faraidh, surau Tuanku di Talang dalam ilmu sharaf, dan surau Tuanku di
Salayo dalam badi’, maani dan bayan. Sedangkan surau Tuanku Nan Tuo dalam
tabiyah, hadts, tafsir, dan mantik maaani. Keragaman mempelajari ajaran Islam
demikian melahirkan kaum intelektual dengan statigrafi pengetahuan yang tercermin
dari gelar yang disandang alumninya, seperti Kari, Pakih, Labai, dan Tuanku.
Gelar ini kemudian diterapkan sebagai aparat alim ulama suku di Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat (1740 –
1803) di bawah kepemimpinan Tuanku Nan Tuo sebagai pelindung pedagang
melahirkan pratagoni sehingga surau dapat memajukan perdagangan yang mendatang
kesejahteraan penduduk Minangkabau dan menguasai pusat-pusat perdagangan.
Gerakan ini ditunjang oleh Tuanku-tuanku generasi muda, seperti Tuanku Nan
Renceh, Tuanku Damansiang Nan Mudo, Tuanku Lintau. Semua tuanku itu ikut
memajukan kesejateran masyarakat lingkungannya, sehingga surau-surau mereka
menjadi pelopor kemajuan perekonomian masyarakatnmya. Gerakan Kembali ke
Syariat menyumbangkan ajaran Islam ke dalam adat Minangkabau. Di samping harta
pusaka tinggi, difatwakan harta pencaharian, yang diperdapat dari perdagangan
yang diwariskan untuk anak dan isteri.
Semenjak itu terjadilah proses
pembauran yang kental antara syariat Islam dengan budaya Adat Minangkabau.
Menyebarnya syariat Islam di Minangkabau dengan suasana damai merobah
kebiasaan-kebiasaan adat yang bertentangan dengan Islam. Semenjak itu pula
proses itu berlangsung sampai saat ini sehingga ulama dapat melibatkan
masyarakat Minangkabau di dalam syariat Islam, sehingga melahirkan kepemimpinan
adat dan agama dalam setiap lembaga masyarakat. Dalam kaum dan suku mempunyai
penghulu (manti dan dubalang) dan malin (imam, khatib, dan bila) dan di nagari
terdapat kepemimpinan Kerapatan Adat Nagari yang terdiri dari Penghulu, Imam
Khatib dan Cadiak Pandai. Kepemimpinan ini dikenal dengan Tungku Tigo
Sajarangan dengan pegangan masing-masing hukum adat, agama dan peraturan atau
undang-undang, yang disebut tali tigo sapilin.
2.
PEMIKIRAN ISLAM
DI MINAGKABAU
Dunia Melayu, nusantara termasuk
di dalamnya Malaysia, Thailand, Filipina dan lainnya, merupakan wilayah yang
kuat menganut Islam atas i’tikad Ahlus Sunnah wal Jam’ah dengan Mazhab Syafi’i
serta ber-Tasawwuf lewat kearifan Tarikat-tarikat Sufi[23].
Hal
ini telah menjadi kenyataan sejak berabad-abad ketika Islam masuk ke daerah
ini. begitu pulalah Minangkabau. Ranah Minang pernah menjadi pusat keislaman
yang kuat menganut amal sunni dalam akidah, mazhab Syafi’i dalam Syari’at dan
Tarikat Sufi dalam Tasawuf.
Hal
ini diperkuat oleh temuan manuskrip-manuskrip tua yang umurnya telah
berabad-abad, yang mana kajian-kajian fiqih yang terdapat dalam
lembaran-lembaran lama itu berdasarkan mazhab Syafi’i, kajian Tauhid
berdasarkan Ahlussunnah dan kajian Tasawuf menurut jalur al-Ghazali dan al-Junaid.
Berikut, Tambo-tambo lama yang ditulis tangan Arab Melayu, yang sangat kental
dengan nuansa Islam, itupun tidak terbertik satu fragmentpun yang dinisbahkan
kepada ajaran selain Sunni. Tidak ditemui satupun bukti yang meyakinkan bahwa
Minangkabau dahulunya pernah didonimasi ajaran lain, seumpama Syi’ah atau
Mu’tazilah.
Bagaimana
dengan adanya Syi’ah yang dilontarkan oleh segelintir Sejarawan kemudian? Dalam Sejarah
Minangkabau yang ditulis oleh MD. Mansur, dkk, menyebutkan bahwa Minangkabau
pernah dihuni oleh Syi’ah, dipimpin oleh orang Syi’ah pula, rentang waktunya
ialah lk. 1000-1350.
Namun,
jika diteliti keterangan buku itu, maka tak sulit mengemukakan bahwa keterangan
ini bersumber dari Mangaraja Onggang Parlindungan dalam buku-nya yang
kontroversia “Tuanku Rao”, sebab sebelum Parlindungan tak ada satupun buku atau
catatan Belanda yang menegaskan hal tersebut.
Dan
menurut para ahli, disertai dengan seminar “Islam di Minangkabau” 23-26 Juli
1969 di Padang, menyimpulkan bahwa buku “Tuanku Rao” tidak lagi layak sebagai
sumber sejarah, sebab kebanyakan isinya merupakan hal-hal baru yang tidak
pernah ditemui dalam referensi lain, adapula yang tak masuk akal, ada lagi yang
berseberangan dengan fakta.
Hal
ini telah dikupas dengan jeli oleh buya
Hamka dalam buku “Antara
Fakta dan Khayal”-nya. Sehingga seketika itu jatuh harga buku itu, dari
dielu-elukan, hingga dinyatakan “tamat” riwayatnya.
Bantahan
Hamka mengenai buku itu dikokohkan oleh Seminar Tuanku Rao di Lubuk Sikaping,
Pasaman, tahun 2008, yang dihadiri oleh Dr. Bachtiar Chamsah (Mensos RI),
Ismail Hasan (Penasehat MUI Pusat), Drs. Syarnir Aboe Nain (Lembaga Kajian
Gerakan Paderi), Haedar Nashir (PP Muhammadiyah), Prof. Gusti Asnan (Guru Besar
Sejarah Unand), Dr. Saafroeddin Bahar (Dosen UGM), Dr. Ichwan Azhari (Pusat
Studi Sejarah Universitas Negeri Medan), Prof. Mestika Zed (Guru Besar Sejarah
UNP) dan tak ketinggalan Prof. Taufik Abdullah (LIPI), yang mana salah satu
rumusan dari seminar tersebut bahwa buku “Tuanku Rao” dan buku yang senada
tidak dapat dijadikan sumber sejarah. Namun, Sedjarah Minangkabau telah menjadi
bacaan wajib ketika hendak mengkaji Sejarah Minang kemudian hari, sehingga
Sirajuddin Abbas-pun bersikeras bahwa Syi’ah memang ada di Minangkabau.
Begitulah halnya.
Tulisan
terbaru mengenai keberadaan Syi’ah dalam lembar sejarah Minang ialah dalam
Suluh Bendang Limbago Pucuak Adat (sebuah majalah yang dikeluarkan oleh Limbago
Pucuak Adat Alam Minangkabau, Istano Silinduang Bulan Batusangkar, 2010), lewat
sebuah tulisan yang bertajuk Sejarah Ringkas Sejarah Pagaruyung Darul Qarar
dimana didalamnya disebutkan bahwa pada tahun 1403 kerajaan Pagaruyung masa itu
dipimpin oleh Sultan Bekilap Alam, yang dinyatakan sebagai kerajaan Islam sekte
Syi’ah Karamita yang dekat dengan sunnah.
Hal
ini tentu mengherankan, sebab Syi’ah sekte Karamita sebenarnya termasuk aliran
Syi’ah yang ghulat (melampaui batas) sangat bertentangan sunni. Sekte ini
karena keterlaluannya bahkan mengajarkan bahwa shalat hanya 2 kali sehari,
membolehkan nikah dengan ibu kandung atau anak gadis sendiri, minum tuak halal,
prilaku homo ala kaum Luth legal, dan lainnya yang sesat-sesat.
Sedangkan
Minang terkenal kuat adatnya, nikah dengan saudara sesuku saja dilarang, apatah
lagi dengan ibu dan anak gadis kandung, Nauzubillah. Maka tak meleset
kiranya bahwa sumber penulisan ini ialah sumber pertama tadi atau buku yang
mengutip dari sumber pertama tersebut.
Sebab,
bagaimanapun, menurut penyelidikan Hamka, tidak ada satu referensipun yang
menegaskan bahwa Syi’ah memang ada di Minangkabau. Apakah itu catatan manuskrip
atau hasil penyelidikan.
Kenyataannya,
yang ada cuma indikasi dari beberapa tradisi yang sering dihubungkan dengan
Syi’ah.Seorang sarjana Belanda memang pernah berujar “ada kemungkinan pengaruh
syi’ah memang ada di Minangkabau.” Dengan bukti perayaan Tabut. Tapi
kenyataannya, dalam riwayat dikemukakan bahwa Tabut mulanya berasal dari
permainan rakyat yang kemudian dibawa-bawa ke ranah agama. Beberapa pemuka
Syathariyah yang sempat di temui di Pariaman mengingkari (tidak setuju) dengan
Tabut ini.
Adapula
yang mengatakan bahwa ber-Shafar peninggalan orang Syi’ah. Maka pendapat ini
juga keliru. Bershafar baru dimulai pada abad XIX, diperopori oleh Syekh
Abdurrahman Bintungan Tinggi, dan Syekh Abdullah jelas-jelas sebagai pemuka Tarikat
Syathariyah, bermazhab Syafi’i.
Kemudian
ada lagi yang menyebutkan bahwa Kuntu merupakan basis Syi’ah, tapi tidak pula
kejelasan. Menurut bagian Agama di-Kuntu, benda-benda kuno yang ditemui di
daerah ini ada sebilah pedang dan sebuah kitab bertulis tangan yang berjudul
Fathul Wahab. Naskah ini jelas merupakan kitab fiqih, ditulis oleh Syaikhul
Islam Zakaria al-Anshari, salah seorang ulama terkemuka al-Azhar beberapa abad
silam, alim terkemuka dalam Mazhab Syafi’i.
Bila
disebut Ulakan sebagai pusat Syi’ah, pendapat ini juga tertolak mentah-mentah.
Sebab Ulakan dengan Syekh Burhanuddin-nya merupakan pusat Islam bermazhab
Syafi’i dan bertasawuf dengan Tarikat. Andai pula dikatakan bahwa ada ditemui
teks-teks yang menyebutkan kebesaran Ahli Bait (termasuk Ali), maka itu bukan
pula bukti. Sebab menghormati Ahlil Bait dalam sunni memang dianjurkan.
Maka
dengannya hingga saat ini belum ada bukti bahwa Minangkabau pernah didominasi
oleh faham-faham diluar Ahlussunnah wal jama’ah (sunni), Mazhab selain Syafi’i
atau Tasawwuf ghair mu’tabar.
3. TOKOH-TOKOH ISLAM DI MINANGKABAU
A. SYEKH BURHANUDDIN, ULAKAN (1646 – 1704
)
Syekh Burhanuddin
telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan, baik dalam literatur,
maupun dari laporan bangsa Eropah lainnya. Salah satu sumber utama yang
menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya pembaruan Islam di
Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan Arab Melayu. Naskah itu
berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh
Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823. Buku ini menjelaskan
peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau yang
dikembangkan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu,
riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syekh Harun
At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syekh Burhanuddin dan Imam
Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan
jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syekh Burhanuddin. Diceritakan
dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah
kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf al Singkli.
Syekh Burhanuddin
adalah salah seorang dari murid Syekh Abdur Rauf al Singkli yang dikenal juga
dengan panggilan Syekh Kuala. Sekembali dari Aceh, Syekh Burhanuddin membawa
ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan
ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minang-
kabau terus ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan,
kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di sebelah barat Koto
Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini
dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang
teruji kemasyhurannya.
Murid-Murid yang
belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian
pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syekh Burhanuddin dan
murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang
tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang
ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di
Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama,
seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto
Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan
hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang
dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ).
Dalam catatan lain
terdapat sederetan para ahli dan penulis yang menyelidiki riwayat dan peranan
Syekh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan Thomas Diaz tahun 1684 yang
diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini telah melibatkan rakyat dalam politik
agama yang dikenal dengan nama “perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang
kemudian hari melahirkan konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak.
Penulis bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam
(1961), Sidi Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (1962) dan
Prof. Muhmud Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969) mengupas peranan
ulama Syekh Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam yang berpusat di Ulakan.
Semua para penulis
tersebut sepakat bahwa Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama dan pengembang
agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan Padang
Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang mengembangkan
agama Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di Aceh,
sekembali dari Aceh mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya
di Ulakan.
Syekh Burhanuddin
meninggal dunia pada hari
rabu 10 Syafar tahun 1116H atau 1704 M di
Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap tahun yang dikenal dengan
nama “basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada hari Rabu, akan diperingati sebagai
“basapa gadang” , bersapar besar-besaran. Menurut perhitungan Prof. Mahmud
Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H atau tahun 1641 M di Sintuk, Lubuk Alung,
dan memperdalam agama pada Syekh Abdur Rauf selama 10 tahun, dan meninggal pada
tahun 1116 H dalam usia 53 tahun.
Ilmu pengetahuan
agama yang dalam serta pengalaman kenegaraan yang diperdapat bersama gurunya,
Syek Abdur Rauf yang menjadi seorang mufti pada Kerajaan Aceh, menciptakankan
sistem pendidikan surau. Murid-murid yang diasuhnya kemudian menyebar di
seluruh pelosok Minangkabau yang mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi
yang melahirkan cendekiawan ke pedalaman Minangkabau.
Bahkan Syekh
Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan Kerajaan Minangkabau
yang menyatakan bahwa hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai
pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau. Ketentuan adat dan hukum agama
Islam dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal sebagai suatu proses
integrasi lebih dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Peninggalan Syekh
Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik, seperti bangunan Surau
Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi monumen sejarah dalam
membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung monumen itu. Peninggalan
sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber penulisan sejarah Syekh
Burhanuddin.Surau Syekh Burhanuddin. Peninggalan utama Syekh Burhanuddin yang
sampai saat ini masih terpelihara dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung
Medan dan komplek makam di Ulakan yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya
sebagai rasa hormat kepada guru dan pengembang agama Islam di Minangkabau. Dari
segi geografis, nagari Ulakan terletak di muara sungai Ulakan di tepi pantai
barat Sumatra. Suatu kampung atau nagari yang terletak di tepi pantai paling
cepat menerima perkembangan dan pertumbuhan.
Setelah bandar Malaka
diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, jalan dagang berpindah dari Aceh,
pantai barat Sumatra, Banten, Giri di Jawa Timur, Goa dan Tello di Sulawesi,
dan Ternate Tidore di Maluku. Di pantai barat Sumatra tumbuh kota-kota
perdagangan seperti Meulaboh, Sibolga, Tiku Pariaman, Indrapura. Ulakan,
sebagai kota pelabuhan dagang, mengalami kemajuan karena disinggahi oleh para
pedagang berbagai daerah dan dari luar negeri seperti saudagar Gujarat, India,
Arab dan Cina.Ulakan menjadi suatu pelabuhan penting dan pintu gerbang bagi
daerah Minangkabau di masa itu, dan tempat bertemu saudagar-saudagar yang
beragama Islam.
Masa Kecil Syekh Burhanuddin
`Tidak
banyak keterangan mengenai masa kecil dan latar belakang kehidupan Syekh Burhanuddin
yang berkubur di Ulakan itu. Nama kecilnya adalah Pono. Lahir di Pariangan
Padang Panjang tahun 1066H (1646 M). Ayahnya bernama Pampak Sakti gelar Karimun
Merah, suku Koto. Ibunya bernama Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Kehidupan
kedua orang tuanya beternak sapi.
Keluarga Pampak
Sati gelar Karimun Merah meninggalkan
kampung halamannya, Pariangan Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun
ke Malalo, terus ke Bukit Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu Tanam.
Dengan menghilirkan batang Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk. Jalan ini
merupakan jalan dagang yang diawasi oleh Tuan Gadang dari Batipuh.
Di tempat inilah
keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama dikembangkannya karena
daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur. Pono dengan rajin dan patuh
menggembalakan ternak ayahnya sehingga berkembang biak yang membawa keluarga
Pampak termasuk keluarga terpandang di daerah baru ini.
Pono berjalan
menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di nagari Tapakis,
bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman baru, seorang pemuda
sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo, suku Koto, berasal dari
Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti yang halus. Di nagari Tapakis
berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syekh Abdul Arif yang
terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah. Air
Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syekh Abdul Arif bermukim
dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin dan
Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syekh Abdur Rauf al Singkli dan
sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Kosasih dan Syekh Abdul Qadir al Jailani
di Madinah. Syekh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada
anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan. Anak nagari lebih teguh memegang
adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama.
Dengan ajakan Idris
Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam dan langsung mengucapkan
dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang khalis di hadapan Tuanku Madinah
Beliau belajar dengan tekun dan rajin serta mengamalkan segala fatwa gurunya.
Pono termasuk murid yang terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya. Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku
Madinah meninggal dunia. Pono sering bermenung dan terharu atas kepergian
Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya Pono karena secara tidak diduga sama sekali
guru yang dihormati dan disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak
mungkin ilmu gurunya itu menjadi gagal.
Dengan perasaan hiba
dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau sering bermenung dan terharu
atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau menyendiri dari pergaulan ramai,
mengingat kemungkaran yang sering dilakukan anak nagari. Untuk mengobati hati
yang luluh beliau dengan tekun dan sepenuh hati mengamalkan fatwa gurunya dan
ajaran Islam yang diperoleh selama belajar dengan almarhum Tuanku Madinah.
Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan teman-teman
dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun agama Islam mulai
meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk.
Dakwah Pono demikian
tidak berlangsung lama. Tantangan demi tantangan datang dari anak nagari,
terutama para penghulu suku dan pimpinan nagari. Mereka merasa wibawa mereka
akan berkurang karenanya. Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera
meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya
tantangan semakin menjadi. Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan
kemudian dengan ancaman pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan
musyawarah nagari untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan
dakwahnya. Pono tidak mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk.
Memperdalam Ilmu ke Aceh.
Pada saat krisis ini
menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali segar dalam ingatannya pesan
almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar memperdalam ilmu agama kepada seorang
ulama besar Abdur Rauf al Singkli. Pesan guru ini disampaikan dengan khidmat
kepada kedua orang tuanya dan mereka merestuinya. Secara diam-diam mereka
berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usia muda, 15 tahun,
malam hari Pono meningalkan negari Sintuk menuju Aceh guna memenuhi pesan
gurunaya, Tuanku Madinah. Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas
kepergian anak tercinta. Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata terus
membasahi pipinya. Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah pertama
menuju Aceh kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan Islam
di Minangkabau. Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh
mata-mata pemimpin nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat
serta penyerahan diri kepada Allah. Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan
berguru kepada Syekh Abdur Rauf al Singkli, seorang ulama yang masyhur waktu
itu memenuhi amanat almarhum gurunya yang pertama, Tuanku Madinah. Pono sudah
berangkat. Nagari Sintuk sudah jauh ditinggalkan. Tanpa kawan ia menyusuri
pesisir Samudra Indonesia. Secara kebetulan, dalam perjalanan ia bertemu dengan
empat orang pemuda sebaya dengan dia. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata
mereka mempunyai niat yang sama, hendak pergi ke Aceh untuk menuntut ilmu agama
kepada Syekh Abdur Rauf. Mereka adalah Datuk Maruhum dari Padang Ganting,
Tarapang dari Kubuang Tigo Baleh, Muhammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyung
Mudo dari Bayang Tarusan.
Terjadilah
persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah didapat kata sepakat,
Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang diterimanya dengan penuh rasa
tanggung jawab. Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan, akhirnya
dengan selamat mereka sampai di Singkil langsung menghadap dan memperkenalkan
diri kepada Syekh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak dari kampung halaman
disampaikan dengan sopan.Dengan segala senang hati Syekh Abdur Rauf menerima
dan mengabulkan permohonan calon muridnya.
Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli
(1620 -1693)
Syekh Abdurauf
Singkel adalah seorang ulama terkenal dalam abad ke-17. Ia dilahirkan pada
tahun 1620 di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan sekarang. Nama lengkapnya ialah
Abdurrauf al Ali al Jawi al Fansuri al Singkel. Syekh Abdurauf Singkel
dimuliakan oleh rakyat Aceh sejak dahulu hingga sekarang. Banyak legenda
mengenai Syekh Abduurauf yang terus hidupdan dikenal turun temurun. Archer
dalam bukunya, Muhammadan Mysticism in Sumatera mengatakan, “Syekh Abdurauf
Singkel, seorang cendekiawan muslim Aceh yang sekarang dikenal dengan nama
Tengku Dikuala. Nama tertancap dalam lubuk hati rakyat sebagai ulama dan
intelektual yang jenius pada zamannya.
Sesudah mendapat
pendidikan di kampung halamannya dan diibu kota Kerajaan Aceh, ia melanjutkan
studinya ke tanah Arab. Pada tahun 16423, ia berangkat ke Mekah. Selama 19
tahun lamanya di tanah Arab, di antaranya Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka,
Zebid, Batalfakih dan beberapa tempat lainnya. Syekh Abdurauf menyelesaikan
studinya pada seorang ulama Tharikat Syattariah yang bernama Molla Ibrahim,
pengikut Ahmad Qusyasyi. Pada tahun 1661, ia kembali ke Aceh. Sesampainya di
Aceh, ia mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara sungai Aceh. Dari berbagai
penjuru Asia Tenggara orang datang ke tempatnya untuk belajar. Atas usaha
murid-muridnya, Tharikat Syattariah yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia
dan Semenanjung Malaya. Di antara muridnya yang terkenal ialah Syekh
Burhanuddin di Ulakan seorang mubaligh yang terkenal di Minangkabau yang
menyiarkan agama Islam secara intensif ke pedalaman Minangkabau. Di samping
sebagai mubaligh dan ulama, Syekh Abdurauf terus menerus memperdalam ilmunya
dalam lapangan hukum. Sebuah karyanya dalam lapangan hukum berjudul, ” Hudayah
Balighah ala Jum’at al Mukhasaman” yaitu sebuah kupasan mengenai hukum Islam
tentang bukti, persaksian dan sumpah palsu. Pendapat Syekh Abdurauf di lapangan
hukum syariat sangat dipatuhi rakyat Aceh dan buah pikirannya terus hidup
sampai sekarang dan lebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh.
Kesanggupan Syekh Abdurauf merumuskan hukum-hukum Islam sangat dikagumi
sehingga syariat Islam dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat Aceh saat ini.
Syariat Islam telah dijadikan Peraturan Daerah Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Karyanya yang
berjudul, Miratul Tullab fi tasyil Makrifatul Ahkam Asysyar’iyah li Malikul
Wahhab, merupakan sebuah buku pengantar Ilmu Fikih menurut Mazhab Syafi’i. Buku
ini hampir sama dengan karya Nuruddin Ar Raniri yang berjudul Sirathul
Mustaqim. Bedanya buku Nuruddin ar raniri hanya berisi soal-soal ibadah saja,
tetapi buku Syekh Abdurauf berisi juga tentang mu’amalah. Kupasannya mengenai
pokok-pokok ajaran tasauf termuat dalam bukunya berjudul Kifayat al Muhtajin,
Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, dan Umdat al Muhtadin. Tafsir al Quran dalam
bahasa Melayu telah diterbitkan di Istambul pada tahun 1882. Kegiatannya sebagai
ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada masa pemerintahan Sulthanah
Syafiatuddin, seorang sultan yang memerintah selama 34 tahun. Masa pemerintahan
pemerintahannya adalah masa yang penuh luka-luka karena kekalahan armada Aceh
ketika menyerang Malaka pada tahun 1629. Sementara pertentangan faham agama
tindakan kekerasan yang dilakukan semasa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin
dalam membasmi ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dalam ajaran
Syattariah tentang Wihdatul wujud. Bentuk dan sifat pertentangan antara Syekh
Abdurrauf dan Ar Raniri dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani
berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasauf. Aliran Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al Sumatrani bernama wihdatulwujud atau kesatuan ujud.
Wihdatusysyuhud ialah
faham umum umat Islam yang menyatakan bahwa alam yang baru iniadalah sebagai
kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi, bukkanlah alam itu sebagian dari Tuhan,
melainkan sebagai tanda adanya Tuhan. Pertentangan ini telah ada pada masa Iskandar
Muda, namun atas kebijaksanaan Iskandar Muda tidak menimbulkan kekacauan. Namun
dalam bidang kebudayaan, sinar kerajaan Aceh semakin bersinar. Aceh masyhur
sebagai pusat kebudayaan dan intektual Islam di Asia Tenggara. Syekh Abdurauf
adalah seorang ulama dan mubaligh yang membenarkan seorang wanita menjadi
Sulthanah yang menunjukkan pikirannya yang maju untuk masanya. Bahkan sampai
sekarang masih ada ulama yang tidak membenarkan wanita menjadi pemimpin bangsa.
Pada hari Jum’at tanggal 4 Sya’ban 1114 H atau 1698 M, Syekh Abdurauf berpulang
ke rahmatullah. Pada batu nisannya terlukis Al Waliyul Malki Syekh Abdurrauf
bin Ali. Namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syiah Kuala. Sesudah ia
meninggal dikenal dengan nama Tengku di Kuala atau Syiah Kuala. Ia mengambil
tempat untuk mengajar di kuala (muara) Krueng (sungai) Aceh dan di sana pula ia
dikuburkan.
Syekh Abdur Rauf
berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Kemudian beliau kembali ke Aceh
langsung mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara Krueng Aceh. Kegiatan
rangkang ini maju pesat. Kemampuan Syekh Abdur Rauf merumuskan hukum-hukum
Islam dalam bentuk sederhana dan mudah dicernakan, menyebabkan syariat Islam
dapat diterima dan dilaksanakan masyarakat Aceh. Atas dasar pengetahuannya di
bidang hukum agama, ia diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh.
Syekh Abdur Rauf
adalah seorang sufi dari aliran Syattariah dan bermazhab Syafe’i. Fahamnya
dalam tasauf tergolong dalam faham yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tidak
berbeda faham pendirian Nuruddin Ar Raniri. Dalam polemik beliau menentang
ajaran-ajaran Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As Sumatrani cukup tegas dan
keras, tetapi tetap bijaksana sehingga kekacauan dan peperangan agama tidak
terjadi dalam masyarakat .
Sejak masa Sulthan
Iskandar Muda telah tinggi perbincangan ulama-ulama dalam hal agama, yang
terpenting pertentangan antara faham wihdatul ujud,”alam ini adalah ciptaan
dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak ombak. Maka dalam
alam zahir ini sebagai bahagian dari pada ketuhanan yang besar. Menurut ahli
tasauf dari aliran ini, duania adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti
sari yang tidak tercipta.
Wihdatusyuhud ialah
paham yang rata pada umat Islam, bahwa alam yang baharu ini adalah sebagai
kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi bukanlah alam ini sebagaian dari Tuhan,
melainkan sebagai tanda dari pada adanya Tuhan.
Karya-karya yang pernah beliau tulis,
antara lain:
1.
Hudayah Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu Pembahasan
mengani hukum Islam tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya
ini menjadi pedoman dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga dewasa
ini.
2. Miratul Tullab fi
Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai pengantar Imu
Fiqih menurut mazahab Syafii.
3. Kifayat al Muhtajin,
Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan mengenai pokok-pokok ajaran
tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam lapangan ini.
4. Syair makrifat,
karangan dalam bentuk puisi.
5. Tafsir al Qur an,
dalam bahasa Melayu.
Syekh Abdurrauf wafat
tahun 1114 Hijriyah dimakamkan dekat muara sungai Aceh. Pada makam beliau
dibuat orang hiasan tulisan yang berbunyi Al Waliyul mulki Syekh Abdur Rauf bin
Ali, menunjukkan betapa besar peranannya dalam kerajaan Aceh pada waktu itu
Setelah meninggal dunia beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku di Kuala
atau Syekh Kuala.
Kepada ulama dan
mubaligh inilah Pono menuntut ilmu dan memperdalam ajaan Islam selama 10 tahun.
Lebih-lebih ketika Syekh Abdur Rauf al Singkli diangkat Sulthanat Syafiatuddin
sebagai mufti Aceh, Pono dapat belajar tentang kehidupan istana dalam
hubungannya dengan kegiatan masyarakat Aceh.
Syekh Abdur Rauf
memberikan perhatian istimewa pula kepada Pono. Hubungan antara murid dengan
guru terlihat sangat intim. Di samping belajar, Pono membantu guru menggembalakan
ternaknya. Membuat dan memelihara kolam ikan sebagai bagian dari kegiatan
rangkang ini. Murid-murid di rangkang Syekh Abdur Rauf harus berusaha sendiri
dan mempunyai ketrampilan untuk memenuhi keperluan hidup.Pono diajak tinggal
serumah dengan guru. Tugas Pono bertambah dengan mengasuh anak-anak sang guru.
Pono sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Syekh Abdur Rauf.
Minat serta
perhatiannya sungguh luar biasa diikuti dengan daya tangkap yang tinggi. Tidak
mengherankan Pono termasuk murid yang terpandai di antara pelajar di sana.
Karena itulah Syekh Abdur Rauf mencurahkan sekalian ilmu yang pernah
dimilikinya, dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Pono. Ilmu
yang dipelajarinya ialah ilmu syariat Islam dengan cabang-cabangnya tauhid,
tasauf, nahu, sharaf, hadits dan juga ilmu taqwim (hisab). Setelah melalui ujian-ujian berat
dilengkapi dengan berkhalwat selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki
Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun, akhirnya Pono berhasil lulus dengan
baik.
Syekh Burhanuddin kembali ke
Minangkabau
Setelah cukup
menerima ilmu pengetahuan selama beberapa tahan tibalah masanya Syekh
Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri dengan perpisahan
antara guru dan murid dengan penuh kasih sayang.Terjadi percakapan antara Syekh
Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi sebagai berikut: “Malam ini
berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka
duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati. Berbahagialah Engkau,
dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat 40 hari
lamanya. Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak. Sekarang
pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama
engkau tinggalkan. Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk
mengembangkan Islam di sana.”
“Syukur Alhamdulillah”, kata Syekh Burhanuddin. “Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau. Kini, engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi. Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu.
“Syukur Alhamdulillah”, kata Syekh Burhanuddin. “Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau. Kini, engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi. Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu.
Sesungguhnya nama
Burhanuddin yang engkau pakai adalah nama pemberian guruku itu dan ia
mengirimkan sepasang jubah dan kopiah. Terimalah ini dari padaku supaya
sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang
pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”
Hari ini adalah saat
perpisahan antara guru dengan murid dan meninggalkan mesjid Singkil untuk
selama-lamanya bagi Syekh Burhanuddin. Syekh Abdur Rauf melepas Syekh
Burhanuddin dengan sebuah taufah dan menyediakan perahu disertai sembilan orang
yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh
Tuanku Nan Basarung dengan pesan supaya mengantarkan Syekh Burhanuddin sampai
di kampung halamannya. Pada saat itu telah terjadi perubahan hubungan antara Aceh
dengan Minangkabau. Daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh satu
persatu ingin melepaskan diri. Demikian juga halnya dengan Minangkabau. Telah
terjadi beberapa kali perkelahian dan peperangan yang banyak memakan korban. Di
antaranya gugur seorang panglima bernama Sisangko, kemenakan panglima Kacang
Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di Pulau Angso. Perahu Syekh Burhanuddin
mendarat di Pulau Angso di muka pantai Pariaman untuk beristirahat dan meninjau
keadaan di darat. Bersama dengan pengawalnya kemudian mereka mendekati pantai
Ulakan. Perahu Syekh Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di
sekitar pantai telah siap berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu
kemungkinan yang akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu Syekh Burhanuddin
berpendapat lebih baik kembali ke Pulau Angso menunggu saat yang baik.
Namun, Tuanku Nan
Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah mengantarkan orang kampung mereka
sendiri yang telah merantau ke Aceh beberapa tahun. Dengan keras hati ia
mendayung sendiri ke pantai. Ia disambut dengan perkelahian melawan orang
banyak. Walaupun ia memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam
melakukan tugas yang diembannya. Syekh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau
Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh. Ia
berpesan kepada Syekh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di kampung halamannya
dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung.
Melalui seorang
nelayan, Syekh Burhanuddin mengirimkan sepucuk surat kepada teman akrabnya,
Idris Majo Lelo yang menyatakan beliau sudah kembali dari Aceh dan sekarang
berada di Pulau Angso. Perahu yang mendekati pantai Ulakan kemarin adalah
perahu saya yang sengaja dikirim oleh Syekh Abdur Rauf. Setelah menerima surat
tersebut, Idris Majo Lelo menyampaikan isi dan maksud surat tersebut kepada
pemimpin dan rakyat Ulakan. Besoknya, Idris Majo Lelo diiringi beberapa orang
menjemput ulama ini ke pantai Kenaur dekat Pariaman. Kedua teman ini berjabat
tangan setelah sekian lama berpisah. Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang
Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam. Sebagai tanda kenang-kenangan
kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang
dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak
ia dikuburkan dekat pinago biru ini.
Menyebarkan Ajaran Islam
Di Tanjung Medan ada
sebidang tanah milik Idris Majo Lelo, pemberian dari Raja Ulakan. Ke sanalah
Syekh Burhanuddin dibawanya. Dimulainyalah tugas suci mengajar dan menyebarkan
ajaran Islam. Usaha pertama dilakukannya di lingkungan keluarga Idris Majo
Lelo. Kemudian diikuti oleh tetangga terdekat. Walaupun mendapat tantangan dari
golongan ninik mamak dan pemimpin mesyarakat lainnya yang khawatir pengaruhnya
akan berkurang, namun akhirnya sebagian besar masyarakat Tanjung Medan sudah
menganut agama Islam yang taat. Syekh Burhanuddin meresapkan agama Islam dengan
cara lunak dan berangsur-angsur.
Jalan yang dilakukan
adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang berbunyi la iqraha fiddin,
tidak ada paksaan dalam menjalan agama.
Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syekh Abdur rauf.
Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syekh Abdur rauf.
Ternyata cara baru
ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin bahwa kegagalan di Sintuk
merupakan keberhasilan yang tertunda, yang baru menampakkan hasil setelah
beliau melakukan dakwah islamiyah di dalam dan di luar nagari Ulakan. Dalam
usaha meresapkan ajaran Islam terutama diarahkan kepada anak-anak yang masih
“bersih” dan mudah dipengaruhi. Diusahakan oleh Syekh Burhanuddin agar
anak-anak bermain di halaman surau.Syekh Burhanuddin ikut pula bermain
bersama-sama dengan anak-anak tersebut. Setiap memulai permainan Syekh
Burhanuddin selalu mengucapkan nama Tuhan, bismillahir rahmanir rahim dan
bacaan doa-doa lain.
Itulah sebabnya
anak-anak tertarik ingin belajar dan ingin mengetahui isi doa yang dibaca
beliau. Setelah murid-murid makin banyak mengaji, akhirnya setelah
dimusyawarahkan secara gotong royong dibangun sebuah surau di Tanjung Medan
yang sampai sekarang dapat kita saksikan tempat mengaji bagi anak-anak dan
santri.
Kesepakatan Bukit Marapalam
Berita kegiatan Syekh
Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain, ke Gadur Pakandangan,
Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan Padang Panjang
dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung sendiri. Alam
Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke Ulakan sebagai
pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan mengintensifkan ke seluruh pelosok
Minangkabau. Cara yang dilakukan ialah, dengan meminta restu kepada Raja
Pagaruyung. Apabila Raja telah yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam
Minangkabau akan mudah dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya
belajar di Aceh, Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan
Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan
oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar
Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan Sabatang dan Ami Said, cucu Kacang
Hitam dengan maksud menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan
dakwah. Dengan kepandaian berbicara akhirnya Mangkuto Alam ditunjuk menghadap
Daulat Raja Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah
dimusyawarahkan dengan “Orang Nan Sebelas di Ulakan.”
Berangkatlah Syekh
Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan Mangkuto Alam dan Orang Nan
Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang seperlunya menghadap Daulat Yang
Dipertuan Raja pagaruyung. Pertama yang ditemui Datuk Bandaharo di Sungai
Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah basa Ampek balai untuk
membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan” tersebut., minta izin
menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau. Tempat sidang diadakan di sebuah
bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum
dan saling isi mengisi yang akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Inti sari konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak,
sebagaimana disinggung oleh Scherieke dalam bukunya “Pergolakan Agama di
Sumatra Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan
sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam suatu
aksi politik agama.
Konsepsi Marapalam
ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung.
Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan yang diterima dengan suara
bulat. Syekh
Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya mengembang agama
Islam di seluruh Alam Minangkabau. Dalam pepatah adat disebutkan
batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek
kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syekh Burhanuddin dengan gerakannya
dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Bagaimana usaha Syekh
Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam waktu yang singkat dengan Yang
Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran peranan gurunya di Aceh dengan filsafah
“adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja,
Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala) teralir dalam pikiran muridnya
Syekh Burhanuddin di Ulakan. Daerah pesisir sebagai bagian dari rantau Yang
Dipertuan Pagaruyung menentang kehadiran Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang
mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau
pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Sedang di daerah
pesisir mulai berkembang surau-surau yang mengadakan perlawanan terhadap
monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang
di Nanggalo. Antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung
mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau. Dengan kedua kepentingan antara
keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin
dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan
Perjanjian Marapalam. Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman
Minangkabau dirintis oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus
hutan rimba dan tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syekh
Burhanuddin bersama gurunya, Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh,
menambah wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau.
Peristiwa bersejarah
di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan
Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau dan
menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat
dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu
lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari
pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.
Syariat Islam yang
dibawa dan dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin telah menyinari Alam Minangkabau
banyaklah orang yang menuntut ilmu agama. Dari mana-mana orang berdatangan ke
Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu
Islam sudah masyhur. Surau Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau.
Untuk menampung mereka dibangun lagi surau-surau disekeliling surau asal.
Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang merupakan
satu kampus, permulaan sistem pesantren yang kita kenal sekarang.
Perjanjian Marapalam
kemudian berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat
dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Syekh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya
senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum
meninggal dunia, Syekh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus dalam
usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan dan
pendidikan.
Untuk meneruskan
perjuangan beliau, Syekh Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda
Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin yang akan menggantikan kedudukan,
“khalipah” kelak. Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan
dalam mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah.
Untuk itu ditetapkan Abdul Rahman sebagai khalipah I. Idris Majo Lelo, teman
akrab Syekh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama
Islam. Sebagai kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi Khatib
nagari Tanjung Medan dan jabatan itu berlangsung sampai sekarang.
Peninggalan Syekh Burhanuddin
Pada batu nisan Syekh
Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal 10 Syafar 1116 H bertepatan
dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal pada umur yang masih muda, 45 tahun,
karena ia dilahirkan pada tahun 1646. Ketika berangkat ke Aceh ia berumur 15
tahun dan masa belajar di Aceh selama 10 tahun, kegiatan dakwah berlangsung
selama 20 tahun.
Di kiri kanan makam
Syekh Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang disebut khalipah bernama
Abdur Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan, Idris Majolelo. Ketiga makam ini
terletak di bawah bangunan empat persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh
sebuah masjid kecil yang mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada
loteng tergantung tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang
rombongan baru tirai itupun diganti. Pengganti-pengganti Syekh Burhanuddin
adalah Tuanku-tuanku yang menjadi khalipah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin
sampai khalipah ke-16, Tuanku Mudo. Di halaman bangunan berkubah terdapat
beberapa makam para pengikutnya, khalipah-khalipah atau pewarisnya. Kebanyakan
telah rata dengan tanah. Sebagai pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya
batu nisan terbuat dari batu alam berbentuk persegi panjang. Di bagian muka
makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan
jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm. Lokan-lokan ini
dianggap para pengikutnya mempunyai berkah yang dapat menyembuhan berbagai
penyakit. Dekat makam terdapat pula sebuah bangunan yang berguna celengan bagi
orang yang berwakaf.
Tanah lokasi surau
Syekh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar
Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya semasa Syekh Burhanuddin
belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan
belajar ilmu agama Islam.Benyak lagi tokoh-tokoh minang yang telah
mengembangkan Islam di ranah Minang, namun tidak mungkin kami tiliskan biografi
mereka satu-persatu dalam buku ini, sehingga sebagian dari ereka kami cantumkan
foto-foto mereka yang dapat kami temukan, sebagai berikut
ANGKU MUDO ABDUL JALIL BONJOL
|
BUYA H. RUSLI ABDUL WAHID
|
BUYA MUHAMMAD DALIL Dt MANUNJUN
|
BUYA SIRAJUDIN ABBAS
|
SYEKH ABDUL GHANI BATU BASUREK
|
SYEKH ABDUL MANAN
|
|
SYEKH ARIFIN BATU HAMPAR
|
SYEKH DATUAK HAJI TAEH BUKIK
|
SYEKH JA’FAR PULAU GADANG
|
SYEKH MUKHTAR TUANGKU LAKUANG
|
SYEKH TUANGKU SHALIAH KERAMAT PARIAMAN
|
SYEKH YUNUS TUANGKU SASAK
|
SYEKH SULAIMAN AR-RASULLI
|
SYEKH MUHAMMAD JAMIL JAHO
|
SYEKH ZAKARIA LABAI SATI
|
SYEKH ZAKARIA LABAI SATI
|
BUYA TAHARUDIN LABAI SUTAN
|
DJINANG PAKIAH MADJO LELO TUANKU LIMO PULUAH
|
KITAB-KITAB KARANGAN ULAMA
MINANGKABAU
1. Kitab karangan syekh Burhanudin Ulakan
Kitab Tanbihul Ghaby Syarh al-Hikam
|
2. Kitab karangan Syekh Ahmad Katib al-Minangkabauwi
Khuttatul
Mardhiyyah fi Radd man Qala bibid'ah Talaffuzh bin Niyyah [1906
|
|
3. Kitab karangan Syekh Abdur Rauf Sengkel
Bayan Tajalli dan Daqa'iqul Huruf [Ms. Padang]
|
4. Kitab karangan Syekh Ahmad Katib al-Minangkabauwi
Risalah (Izhar, al-Ayat al-Bayyinat dan as-Saiful
Battar) [1908]
|
|
5.
Kitab
karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Kitab Asal Pangkat Penghulu
|
6.
Kitab
karangan Syekh Muhammad Jamil Jaho
Kasyafatul 'Awishah fi Syarh al-Ajurumiyah
|
|
7.
Kitab
karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Kitab Enam Risalah [1920]
|
8.
Kitab
karangan Syekh Muhammad Jamil Jaho
Tazkiratul Qulub fi Mu'amalati Alamal Ghuyub [1957]
|
|
9.
Kitab
karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Dawa'ul Qulub fi Qishah Yusuf wa Ya'qub [1924
|
10.
Kitab
karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Tsamaratul Ihsan fi Wiladati Sayyidil Insan [1923]
|
|
11.
Kitab
karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Qur'an [1929]
|
12.
Kitab
karangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Kisah Muhammad 'Arif (Pedoman Hidup di Alam
Minangkabau) [1939]
|
BAGIAN
III
TABIYAH ISLAMIYAH
A. Proses
Berdirinya Tarbiyah Islamiyah
Tarbiyah Islamiyah
adalah suatu organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh beberapa orang
ulama besar Sumatera Barat pada tanggal 5 mei 1928 M / 15 zulkaedah 1346 H
tempatnya di canduang, bukittinggi. Untuk mendirika Tarbiyah Islamiyah ini
tentu tidak akan mudah, untuk mendirikan suatu lembaga sosial kemasyarakatan
sekaligus menjadi lembaga pendidikan tentu sangat membutuhkan sosok tokoh yang
sangat berpengaruh di temngahtengah masyarakat. Untuk itu ada tiga tokoh yang
sangat sentral untuk mempelopori berdirinya Tarbiyah Islamiyah ini,
yaitu:
·
Maulana Syekh Sulaiman Ar-Rasuly
(Inyiak Canduang)
·
Maulana Syekh Muhammad Jamil Jaho
(Inyiak Jaho)
·
Maulana Syekh Muhammad Sa’ad Mungka
Sejak awal Tarbiyah
Islamiyah ini berdiri, para pendirinya sudah menyatakan komitmennya bahwa
Tarbiyah Islamiyah berpaham kepada paham ahli sunnah waljama’ah dan
untuk mazhab fiqhnya mereka menganut mazhab syafi’i.
Pada dasarnya
pendidikan keagamaan sudah bejalan cukup lama di ranah minang, tapi pada saat
itu masih belum efektif karna masih berbetuk sistem pendidikan klasik. Oleh
karna siklus dari reformasi yang dilakoni oleh inyiak canduang, maka beliau
melakukan sebuah gebrakan untuk membentuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah
(MTI)
Proses berdirinya
madrasah ini diawali oleh musyawarah antara ulama-ulama yang menganut paham ahlisunnah
waljama’ah yang ada di Sumatera Barat pada tanggal 5 mei 1928. Dan akhirnya
pada musyawarah ini disepakati bahwa ada reformasi sistem pendidikan dari
klasik menjadi sistem Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Ada
beberapa ulama yang menghadiri musyawarah tersebut, diantaranya adalah :
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly
Syekh Abbas Al-Qhadi (Ladang Laweh, Bukittinggi)
Syekh Ahmad (Suliki)
Syekh Muhammadjamil Jaho (Jaho, Padang Panjang)
Syekh Abdul Wahid Ash-Sholeh (Suliki)
Syekh Muhammad Arifin (Batu Hampar)
Syekh Alwi (Koto Nan Ampek, Payakumbuh)
Syekh Jalaluddin (Sicincin, Pariaman)
Syekh Abdul Madjid (Koto Nan Gadang)
Mhs Sulaiman (Bukittinggi)
Seiring dengan
bergantinya waktu dan melihat perhatian masyarakat yang semakin tinggi terhadap
pendidikan agama Islam, sehingga dengan waktu relatif singkat berdirilah
beberapa Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) di sumatera barat, dan sekarang sudah
ada sekitar 216 MTI yang berdiri di sumatera barat. menurut urutan tahun
berdirinya ada tiga Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI)
yang mula-mula berdiri di Sumatera Barat, Madrasah Tarbiyah Islamiah
(MTI) itu adalah:
·
MTI CANDUANG di Candung
Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuly pada
tahun 1928 M. Tetapi pada dasarnya pendidikan di sana sudah ada sebelum
Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) ini didirikan, karna sebelum itu di candung
ini sudah ada pendidikan pesantren. Jadi tida berarti dalam tahun 1928 tersebut
dimulai kelas satu, malah pada saat itu sudah banyak santri yang telah
menguasai seluk beluk ajaran agama.
·
MTI JAHO di jaho padang panjang yang
didirikan oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho pada tahun 1929 M. sama
halnya dengan Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) yang pertama di jaho ini juga
sudah terdapat pengajian-pengajian yang belum formal, tetapi baru di formalkan
pada tahun ini yaitu dengan berdirinyan Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) Jaho
ini.
·
MTI MALALO di padang laweh malalo yang
didirikan oleh Syekh Zakaria Labia Sati bertepatan dengan tahun
1930 M. hal ini sesuai dengan catatan yang tertera pada papan petunjuk nama
Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo.
Dan dalam rangka
keikutsertaan organisasi Tarbiyah Islamiyah untuk memperkuat perjuangan
kemerdekaan republik Indonesia maka pada tanggal 28 mei 1930 Syekh Sulaiman
Ar-Rasuly mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI). Pada dasarnya
PERTI hanya sebagai organisasi yang bertujuan untuk mengumpulkan kekuatan agar
bisa membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Namun disebabkan
gejolak revormasi yuang terjadi pada tahun 1946 maka organisasi PERTI beralih
fungsi menjadi partai politik yang dipelopori oleh K.H Sirajudim Abbas murid
dari syekh Sulaiman ar-Rasuli sendiri.
Peralihan ini terjadi
bukan karna gejolak revormasi pada saat itu saja , tetapi juga ada faktor lain,
seperti maklumat NO.X/1945 pada bulan november yang dikeluarkan oleh wakil
Presiden Moh. Hatta (Bung Hatta), yang isinya mendorong agar semua
masyarakat Indonesia ikut serta bergabung dengan partai politik,
bahkan dianjurkan untuk membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi di
tanah Nusantara tercinta.
Maka dengan adanya
beberapa faktor tersebut yang membuat K.H Sirajudjin Abbas berinisiatif untuk
mendirikan paratai politik yang berbasis tarbiyah islamiah, lalu beliau meminta
izin kepada sesepuh atau para pendiri Tarbiyah Islamiyah, dan bak Gayung
bersambut kata terjawab para pendiri pun setuju untuk mendirikan patai
tersebut, dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokoknya yaitu pendidikan, dakwa,
kegiatan sosial keagamaan dan keummatan.
Sehingga pada bulan
desember 1946 melalui KONGRES Tarbiyah Islamiyah di bukittinggi diputuskan
persatuan tarbiya islamiyah membuat suatu partai yaitu PI PERTI (Partai Islam
Persatuan Tarbiyah Islamiyah) sekaligus mengangkat K.H. Sirajudin Abbas sebagai
ketua umumnya. sehingga PERTI pun ikut mengambil andil dalam mempertahankan
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun seiring dengan
berlalunya waktu, terjadi perpecahan di dalam tubuh PI PERTI itu sendiri,
karna perebutan kursi kekuasaan dan setelah munculnya perbedaan pandangan di
kalangan internal organisasi ini, apalagi selama 23 tahun partai ini berjalan
telah meluputkan perhatian pada tujuan semula dalam bidang pendidikan karena
lebih terfokus pada masalah-masalah politik,
Sehingga hal
tersebut membuat kecewanya para pendiri Tarbiyah Islamiyah terutama Syekh
Sulaiman ar-Rasuly, maka untuk menmyelamatkan organisasi ini, beliaupun
mengambil suatu keputusan dangan mengeluarkan dekrit pada tanggal 1 mei 1969
agar PI PERTI kembali ke khitahnya
sebagai organisasi yang bergerak dibidang sosial seperti pada awal berdirinya
1928.
Sehingga dalam perkembangannya setelah
tahun 1970an, organisasi Tarbiyah berafiliasi dengan salah satu kekuatan
politik (yang bukan partai politik), yaitu Golongan Karya.
Tujuan Tarbiyah Islamiyah
Kalau kita berbicara
mengenai apa tujuan berdirinya Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo,
tentu saja kita akan mendapat jawabannya melalui Mars Tarbiyah yang selalu
dinyanyikan oleh santi/santriwati yaitu WUJUDNYA TARBIYAH adalah untuk
mendidik manusia dengan ilmu berlaku baik beramal shaleh,melarang kita berbuat
dosa di dunia ini.Untuk lebih jelasnya izinkanlah kami menyampaikan butir-butir
dari tujuan berdirinya sebagai berikut :
a. Kita
harus melanjutkan sistem pendidikan Rasulullah sehingga umat Islam benar-benar
dapat hadir sebagai sosok manusia yang memiliki kekuatan vital untuk membangun
peradaban manusia yang di redhai Allah SWT.
b. Membentuk
moralitas muslim sejati dengan harapan semoga terdapatnya suatu zaman yang
disana akan lahir nanti para muslim dengan kepribadiannya yang cemerlang
sehingga mampu menghadirkan zaman keemasan bagi Islam kembali.
c. Untuk
meningkatkan ketaqwaan dan mempertebal iman pada Allah Swt, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budi perkerti dan mempertebal semangat keagamaan.
d. Mendalami
ajaran islam Ahlussunnah wal jam’ah bermazhab Syafri’ah.
e. Menghindarkan
umat islam terjerumus ke dalam tradisi-tradisi jahiliyah bahkan bertentangan
dengan ajaran tauhid, iman mereka luntur dan kabur.
f. Membantu
pemerintah dalam membangun mental seperti termuat dalam GBHN “Pendidikan itu
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
Pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama
bertanggungjawab atas pembangunan bangsa”.
g. Ikut
serta melaksanakan tujuan pendidikan seperti yang disarankan oleh pemerintah
yaitu “ membentuk manusia Indonesia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia
serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
h. Membantu
pemerintah membebaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan bangsa lain
sebelum Indonesia merdeka seperti mengusir bangsa Jepang dan Belanda yang tidak
berperikemanusiaan pada zaman dahulu.
i.
Menyalurkan aspirasi masyarakat dan
minat belajar yang tinggi dalam mendalami ajaran islam yang dibawa oleh
Rasulullah yang bersumberkan Al-Qur’an,Hadist,Ijma’dan Qiyas apalagi sekarang
sudah banyak hukum-hukum islam menjadi beku tersudut dan tak berlaku.
j.
Juga merupakan wadah bagi masyarakat
yang ekonomi lemah khususnya di Malalo yang tidak bisa menyerahkan anaknya ke
sekolah di luar Malalo.
k. Mengangkat
derajat manusia yang rendah dari pandangan mata manusia yang mendewakan
kekayaan dan pangkat, menjadi manusia yang berilmu pengetahuan agama yang bisa
menyelamatkannya dunia akhirat.
Selain tujuan yang
telah dicantumkan di atas, ada beberapa keinginan lagi yang hendak dicapai oleh
Tarbiyah Islamiyah, diantara tujuan yang sangat luhur itu, baik untuk diri
pribadi atau untuk kehidupan berkeluarga dan masyarakat serta bangsa dan
tentunya untuk agama Islam.Tujuan tertinggi dari Tarbiyah Islamiyah adalah
membentuk manusia yang baik dan bettaqwa kepada Allah, sebagaimana ungkapan Al
Qur'an:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al Hujurat: 13).
Sedangkan tujuan Tarbiyah Islamiyah secara umum adalah, “Menciptakan keadaan yang
kondusif bagi manusia untuk hidup di dunia secara lurus dan baik, serta
hidup di akhirat dengan naungan ridha dan pahala Allah SWT”.
Bagi kalangan santri, tujuan Tarbiyah Islamiyah apabila dijabarkan ada beberapa
bagian penting sebagai berikut:
Tujuan Tarbiyah untuk Kepribadian (individu)
Tujuan tarbiyah
Islamiyah pada dasarnya ditujukan kepada diri pribadinya terlebih dahulu,
sebelum akhirnya nanti memberikan kontribusi bagi yang lain. Adapun tujuan Tarbiyah bagi pribadi santri adalah:
a.
Membentuk seorang Muslim yang sempurna
Tujuan Tarbiyah yang pertama kali adalah membentuk kepribadian sebagai
muslim yang paripurna. Seluruh aspek kemanusiaan muslim hendaknya ditumbuhkan
sehingga akan melahirkan potensi yang optimal. Baik segi ruhaniyah (spiritual),
fikriyah (intelektual), khuluqiyah (moral), jasadiyah (fisik), dan amaliyah
(operasional).
Menurut Syaikh Hasan Al Banna, kepribadian Islam meliputi sepuluh aspek,
meliputi hal-hal sebagai berikut:
·
Salimul
Aqidah. Setiap individu dituntut untuk memiliki
kelurusan aqidah yang hanya dapat mereka peroleh melalui pemahaman terhadap Al
Qur’an dan As Sunnah.
·
Shahihul
Ibadah. Setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan tuntunan
syari’at. Pada dasarnya ijtihad bukanlah hasil ijtihad seseorang karena ibadah
tidak dapat diseimbangkan melalui penambahan, pengurangan, atau
penyesuaian dengan kondisi dan kemajuan zaman.
·
Matinul
Khuluq. Setiap individu dituntut untuk memiliki
ketangguhan akhlaq sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwat.
·
Qadirun
alal Kasbi. Setiap individu dituntut untuk mampu
menunjukkan potensi dan kreativitasnya dalam kebutuhan hidup.
·
Mutsaqaful
Fikri. Setiap individu dituntut untuk memiliki
keluasan wawasan. Ia harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk
mengembangkan wawasan.
·
Qawiyul
Jismi. Setiap individu dituntut untuk memiliki
kekuatan fisik melalui sarana-sarana yang dipersiapkan Islam.
·
Mujahidun
linafsihi. Setiap individu dituntut untuk memerangi
hawa nafsunya dan mengokohkan diri di atas hukum-hukum Allah melalui ibadah dan
amal shalih. Artinya, setiap pribadi dituntut untuk berjihad melawan bujuk rayu
setan yang menjerumuskan manusia ke dalam kebathilan dan kejahatan.
·
Munazhamun
fi Syu’uniha. Setiap individu dituntut
untuk mampu mengatur segala urusannya sesuai dengan aturan Islam. Pada dasarnya
segala pekerjaan yang tidak teratur hanya akan berakhir pada kegagalan.
·
Harisun
ala Waqtihi. Setiap individu dituntut
untuk mampu memelihara waktunya sehingga akan terhindar dari kelalaian. Setiap
individu juga dituntut untuk mampu menghargai waktu orang lain sehingga tidak
akan membiarkan orang lain melakukan kesia-siaan.
·
Nafi’un
li Ghairihi. Setiap individu harus
menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain.
Tarbiyah bagi
seorang muslim hendaknya mampu menumbuh kembangkan berbagai sifat positif
dalam kepribadian, sehingga lahirlah pribadi mempesona, buah dari proses
tarbiyah yang berkesinambungan.
b.
Membentuk seorang Da’i yang handal
Setelah kepribadian Islam pada diri seorang muslim
terbentuk, mereka harus dipersiapkan pula untuk menjadi aktifis dakwah atau
seorang da’i. Islam tidak hanya menuntut seseorang untuk sholeh secara
individual, akan tetapi juga sholeh secara sosial. Untuk itulah tarbiyah
menghantarkan seorang mulsim untuk memiliki kepribadian sebagai da’i yang aktif
mengajak masyarakat melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari keburukan.
Allah Ta’ala menyebutkan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai karakter
pokok laki-laki dan perempuan yang beriman :
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$# cqè?÷sãur no4qx.¨9$# cqãèÏÜãur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷zy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ
Artinya: Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At Taubah 9 :
71).
c.
Memberikan pelatihan amal dan pengalaman
Seorang santri Tarbiyah juga diharapkan memberikan pelatihan (tadrib)
amal dan pengalaman (tajribah) di lapangan. Mereka harus mendapatkan
pelatihan amal yang memungkinkannya memiliki penguasaan medan yang
bagus. Pelaku dakwah harus memiliki pengalaman yang luas dan penguasaan yang
matang, sehingga berbagai amanah bisa dikerjakan dengan optimal.
Tarbiyah bukan hanya berbentuk forum kajian keilmuan, akan tetapi ia
juga praktek di lapangan. Mereka dilatih dengan penunaian tugas-tugas dakwah,.
Selain itu juga dilibatkan dalam kegiatan kepanitiaan ataupun kelembagaan,
sehingga memiliki pengalaman yang luas dalam berbagai medan dakwah.
Kepanitiaan dalam
suatu kegiatan tertentu penting untuk melatih mereka agar memiliki
kemampuan beramal jama’i. Selain itu juga penting untuk menumbuhkan ruh ukhuwah
dan ruh berjama’ah untuk mereka kembangkan dalam lingkungan masyarakat,
menumbuhkan rasa tanggung jawab dan amanah. Dan Untuk
melatih kemampuan berorganisasi, merancang kegiatan, berinteraksi dengan
berbagai macam kalangan dan sifat manusia, maka aktivitas dalam kepengurusan
sebuah organisasi adalah sarana pelatihan yang amat baik.
Tujuan Tarbiyah bagi Masyarakat
Tarbiyah Islamiyah
bagi para santri bukan hanya bertujuan untuk kebaikan diri dan
keluarganya, akan tetapi juga memiliki tujuan yang lebih luas lagi yaitu untuk
masyarakat. Tarbiyah Islamiyah tidak akan mencetak sosok
pribadi yang puritan, anti sosial, dan tidak mengenal masyarakat. Justru
diharapkan dengan tarbiyah Islamiyah akan mengoptimalkan peran-peran penting di
tengah komunitas masyarakat. Di antara tujuan tarbiyah Islamiyah dalam
kaitannya dengan masyarakat adalah Menumbuhkan kepekaan dan jiwa sosial
Tarbiyah bertujuan
untuk membentuk seorang muslim yang memiliki kepekaan dan jiwa sosial, yang
menyebabkan mereka tanggap terhadap problematika sosial kemasyarakatan. Mereka
nantinya diharapkan menjadi pekerja sosial yang handal untuk menyelesaikan
permasalahan keumatant. Mereka dilarang berpangku tangan apabila melihat
ketidakbaikan ditengah-tengah masyarakat.
Kepekaan dan jiwa sosial ini memang harus senantiasa diasah agar tidak tumpul,
dengan sebuah proses tarbiyah. Dengan demikian tarbiyah bukanlah proses yang
eksklusif dengan perhatian yang senantiasa ke dalam diri sendiri, akan tetapi
bermuatan inklusif dengan perhatian terhadap kehidupan sosial masyarakat.
SEJARAH BERDIRINYA
PONDOK PESANTREN TARBIYAH ISLAMIYAH
MALALO
Pada dasarnya sejarah
berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren
Tarbiyah Islamiyah Malalo atau PPTI Malalo) itu secara garis besarnya memiliki
dua periode, sebagaiman sejarah bangsa Indonesia. Karna berdirinya Madrasah
Tarbiyah Islamiyah (MTI) Malalo itu terjadi pada saat Indonesia masih dalam
keadaan terjajah oleh bangsa asing, hingga sekarang setelah Indonesia merdeka.
Karna berdirinya MTI
Malalo didua periode yang berbeda, dan memiliki permasalahan atau kahidupan
masyaraka yang berbeda pula, sehingga sejarah perjuangan berdirinya MTI Malalo
juga akan memiliokji perbedaan antara sebelum kemerdaan dan sesudah
kemerdekaan.
A.
Tarbiyah
Islamiyah Malalo Sebelum Indonesia Merdeka
Jauh sebelum
berdirinya Madrasah Tarbiyah Islamiyah di malalo, masyarakat yang hidup di
pinggir danau Singkarak dan sekalis berada di bawah kaki bukit patah gigi ini
sudah merasakan kebutuhan mereka terhadap ilmu agama, sehingga hal tersebutlah
yang menuntun mereka untuk selalu berusaha mendalami ilmu agama.
pada awalnya mereka
mempelajari ilmu agama di mesjid-mesjid, atau di surau-surau dan rumah-rumah
penduduk. Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan masyarakat setempat
adalah wirid atau pengajian, kegiatan ini sudah menjadi budaya
yang selalu dilestarikan bagi masyarakat malalo yang tentunya beradat pada adat
Minangkabau, karna mereka selalu menyadari filosofi adat minangkabau
bahwa “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah.” Dan hal tersebut tidak akan bisa mereka bantah
lagi.
Tapi wirid yang
dilakukan tersebut masih belum memuaskan keinginan masyarakat, karna wirid
tersebut belum mempelajari kajian agama yang menedalam. Apalagi melihat
apresiasi masyarakat yang semakin tinggi terhadap pendidikan ilmu agama,
sehingga timbullah suatu gagasan dari pemuka masyarakat setempat , alim
ulama serta cerdik pandai untuk mendirikan sebuah sekolah agama di Nagari
Malalo.
Melalui kerja sama
seluruh lapisan anggota masyarakat akhirnya Alhamdulillah sebuah sekolah yang
diberi nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah berdiri di Malalo pada tahun 1930 M
tepatnya di dusun padang laweh. Madrasah ini dipimpin oleh Yarhamukallah Abuya
Syech H.Zakaria Labai Sati. Abuya sangat dikenal oleh masyarakat sebagai
seorang ulama yang mempunyai pandangan basyirah yang dalam, hingga
banyak sekali masalah agama yang belum tahaqiq serta menjadi perdebatan
ditengah-tengah masyarakat beliau selesaikan. Beliau juga seorang tokoh yang
berani mempertahankan kebenaran meski apapun halangannya, asal masih dijalan
Allah tidak pernah merasa takut untuk melakukannya, dan hal tersebut yang
seharusnya kita contoh. Serta bantuan oleh guru-guru yang lain seperti
Abuya Dt.Pangulu Kayo dan Engku Lukman Hakim.
tahun demi tahun
Madrasah ini semakin populer ditengah-tengah masyarakat. Terbukti dengan
banyaknya santri yang berdatangan yang berdatangan ke Madrasah ini tentunya
dengan tujuan menuntut ilmu agama. Santri tersebut berasal dari berbagai
daerah di Indonesia, seperti Palembang, Tapanuli, Pekanbaru, Jawa Timur,
Tanjung Pinang, Bengkulu, Aceh, serta dari Sumatra Barat sendiri.
Tetapi berdirinya
Madrasah ini tentu tidak akan semudah yang kita bayangkan, karna pada saat itu
daerah Nusantara masih dalam jajahan pemerintahan Belanda. Tentu proses belajar
mengajar akan sangat terganggu dengan keadaan yang seperti ini.
Semakin tahun jumlah
santri semakin banyak,dengan keadaan tersebut tentu Madrasah memerlukan
pemondokan untuk sarana tinggal mereka selama belajar di Madrasah ini.Maka
dibangunlah sebuah Mushalla yang dikenal dengan sebutan Surau Tinggi sebagai
tempat tinggal Kepala Sekolah sekaligus Asrama Putri.Sementara untuk putranya
di tampung dirumah-rumah penduduk yang berada di sekitar nagari padang laweh
Malalo bahkan sampai ke nagari tetangga karna meluapnya santri di Madrasah
Tarbiyah Islamiyah, dan hal ini dilakukan dengan penuh rasa kekeluargaan. Karna
semua warga juga memberikan dukungan yang sangat tinggi untuk Madrasah
Tarbiyah Islamiyah padang laweh malalo ini.
Di Madrasah ini
santri dididik selama 7 (tujuh ) tahun,tingkat pertama 4 (empat) tahun dengan
menerima ijazah TSANAWIYAH dan tingkat keduanya 3 ( tiga ) tahun dengan
menerima ijazah ALIYAH.
Selama masa
pendidikan, para santri yang berprestasi ditugaskan untuk mengajar adik-adik
kelasnya pada malam hari. Kegiatan ini dilakukan para santri tanpa pamrih,
semata-semata bertujuan menyumbangkan ilmu yang sudah didapat dan menambah
mantapnya ilmu tersebut serta mendidik mereka untuk menjadi pemimpin
ditengah-tengah masyarakat mereka nantinya. Hingga sekarang tradisi seperti ini
masih tetap dipertahankan.
Alumni Madrasah
Tarbiyah Islamiyah ini banyak yang diminta oleh masyarakat kepada Abuya untuk
menjadi tenaga pengajar di daerah mereka. Mengingat pada zaman itu tenaga guru
agama masih sangat dibutuhkan dan Negara Indonesia ini masih dibawah kendali
pemerinthan kolonial Belanda. Akibatnya alumni-alumni Madrasah ini banyak
tersebar keberbagai penjuru Nusantara. Hal tersebut secara tidak langsung
menambah harumnya nama Madrasah Tarbiyah Islamiyah
B. Tarbiyah
Islamiyah Malalo Setelah Indonesia Merdeka
Kita telah banyak
mendengar dan mengetahui betapa sengsaranya orang tua kita yang hidup
dimasa pemerintahan kolonial Belanda, karna selalu ditindas bahkan disiksa
terus menerus hanya untuk bangsa lain yaitu bangsa Belanda yang pada saat
itu mereka menyebut masyarakat sebagai bengsa inlanders yang
artinya bangsa jajahan,tetapi dengan keadaan yang seperti itu mereka masih
mampu untuk memperjuangkan pendidikan di atas bumi Indonesia ini, seperti para
pejuang Madrasah Tarbiyah Islamiyah, yang selalu berusaha terus- menerus untuk
menegakkan panji-panji pendidikan agama Islam di Negara Indonesia terutama di
ranah alam Minangkabau.
Hasil perjuangan
mereka tersebut bias kita lihat setelah Indonesia mampu merebut
kemerdekanya, contohnya saja ratusan alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah yang
mereka tempa selama di madrasah mampu untuk membantu pemerintahan Indonesia
diinstansi-instansi pemerintahan dan swasta bahkan banyak pula yang mendirikan
Madrasah didaerah kelahiran mereka,seperti:
Abuya Zamzami di Sengkel – Aceh
Abuya Ibrahim di Lamno – Aceh
Abuya Adul Aziz – Calang
Engku Bakhtiar di Kampar – Riau
Abuya Ali Imran di Pariaman – Sumatra
Barat
Muhibbittibri di Aek Nopan – Sumatra
Utara
Juga
banyak yang menjadi pimpinan Jama’ah tariqat dan Majlis Ta’lim,seperti:
Nuryamsi pimpinan jamah di Teluk
Kuantan
Abdul Hamid pimpinan jamaah di Riau
Abdul Gafar pimpinan di jamaah Riau
Bahauddin pimpinan jamaah di Singkel
Engku Karim pimpinan jamaah di Tanjung
Barulak
Namun untuk mencetak
ornag seperti di atas tidak bisa lakukan begitu saja, karena dalam prosesnya
Madrasah Tarbiyah Islamiah Malalo pernah ditutut dan dibuka kembali oleg Buya
labai Sati karena beberapa hal atau kondisi yang menuntut untuk menutupnya.
Seperti pada tahun 1959 sampai 1962 M Madrasah harus ditutup karena pergolakan
PRRI yang sangat parah di daerah Sumatera Tengah pada waktu itu. Dan pada watu
itu Buya pergi ke Aceh tepatnya ke daerah Labuan Haji, Mukek nama kempung
kecilnya. Dan tepat pada tanggal 1 syafar 1962 M Buya kembali ke Malalo
dan Madrasah kembali dibuka. Pada saat itulah Buya ditawarkan untuk kerja di
pemerintahan, namun Buya menolaknya.
Semenjak itu kegiatan
belajar mengajar semakin ditingkatkan oleh Buya, baik yanh bersifat internal
ataupun yang bersifat eksternal, seperti pada setiap selasa ba’da magrib selalu
wirid besar atau tabliq akbar di mesjid Nurul Huda Padang Laweh. Penceramahnya
selalu bergantian yang di ambil dari para santri Madrasah dan selalu ditutup
dengan penyampaian ceramah dari Buya sendiri.Dan selalu diadakan kegiatan suluk
di Surau tinggi menimal dua kali setahun.
Dan pada tahun 1968
M tepatnya pada har jum’at kegiatan belajar mengaajat kembali terganggu kerena
terjadi badai besar yang membuat atap sekolah rusak, namun pada waktu itu
kegiatan belajar mengajar tidak berhenti secara total seperti masa PRRI kerena
proses belajar mengajar masih dilakukan di tempat-tempat lainnya. Yang pada
tahun itu Buya pergi ke Aceh untuk mencari dana untuk memperbaiki sekolah yang
rusak tersebut, namun di perjalanan pulang Buya menghadapi Bahaya yang bembuat
Buya terdampar di Pulau Dun-dun.
Tahun demi tahun
santri Madrasah ini kian bertambah jumlahnya sehingga sarana pendidikan yang
tersedia tidak mampu lagi menampung para santri.Pada tahun 1996 M,diatas
sebidang tanah wakaf dibangunlah 7 ( tujuh ) lokal ruang belajar dengan dana
swadaya masyarakat serta bantuan pemerintah.Kegiatan pembangunan lokal ini
dilaksanakan oleh masyarakat dan santri secara gotong royong.
Dalam masa
jayanya,pendidikan di Madrasah ini laksana obor yang menerangi kegelapan
malam.Namun pada masa itu pula datang cobaan yang sangat berat bagi
kelangsungan pendidikan di Madrasah ini.Dimana pada tahun 1973 M.Abuya selaku
pendiri tulang punggung Madrasah berpulang ke Rahmatullah.Dapat kita bayangkan
betapa haru dan sedihmya suasana yang menyelimuti Madrasah ini pada waktu itu.
Sepeninggalan Abuya
kepemimpinan Madrasah ini dilanjutkan oleh Tengku Datuak Tianso Nan Putiah.
Namun kepemimpinam beliau tidak berjalan lama,pada tahun itu juga kepemimpinan
tersebut beliau serahkan kepada putra sepupu Abuya yaitu Tengku M.Yunus. Beliau
memimpin Madrasah ini dalam waktu yang tidak begitu lama,karena tidak lama
berselang kepemimpinan ini pun beliau serahkan kepada Abuya yaitu Tengku
Aidarus Z. Seperti Tengku M.Yunus, Engku Aiduris Z juga menyerahkan
kepemimpinan madrasah ini pada Ustadz Samsuardi. Masa pergantian kepemimpinan
yang silih berganti ini terjadi selama satu tahun setelah kepergian Abuya
Syech H. Zakaria Labai Sati.
Pada akhir
tahun 1974 M kepemimpinan madrasah ini dipercayakan kepada putri Abuya Nur’aini
Z. Dengan penuh keyakinan kepada kekuasaan Allah SWT untuk melanjutkan amanah
dari para pendiri Madrasah,beliau melanjutkan perjuangan Madrasah ini dengan
gigih dan pantang menyerah meskipun banyak hal yang beliau hadapi dimasa-masa
kepemimpinannya.Dengan dibarengi semangat kerjasama dengan
pengurus,majlis guru dan masyarakat yang terukir dalam sebuah tekad untuk tidak
akan membiarkan Madrasah ini mati atau tutup kecuali bila memang sudah
ditakdirkan Allah SWT,perlahan-lahan laju pendidikan di Madrasah mulai bangkit
lagi dari keterpurukkannya sepeninggalan Abuya.
Masa kebangkitan
Madrasah Tarbiyah Islamiyah ini kembali mendapatkan cobaan dengan berpulangnya
ibunda Nur’aini Z ke Rahmatullah,tepatya pada tanggal 26 September 1986 M
.Kepemimpinan di tubuh Madrasah pun otomatis menjadi lumpuh.
Menanggapi keadaan
ini para pemuka masyarakat mengadakan musyawarah guna mencari pengganti Ibunda
Nur’aini Z untuk melanjutkan jalannya pendidikan di Madrasah ini musyawarah
ini menemukan kata sepakat meminta kesedian Abuya H. Thaharuddin
Labai Sutan untuk melanjutkan jalannya roda pendidikan Madrasah.Syukur Alhamdulillah
permintaan masyarakat ini dapat beliau penuhi karena beliau sangat mencintai
Madrasah dimana beliau pernah di tempa,meskipun pada saat itu beliau sedang
bertugas menjadi Kepala Sekolah sebuah Madrasah di Tingkarang-Rao Mapattunggul
Kabupaten Pasaman.Penugasan untuk menjadi guru di daerah ini beliau jalani
karena perintah dari Abuya Syech H. Zakaria Labai Sati untuk memenuhi
permintaan masyarakat daerah tersebut.
Abuya
H.Thaharuddin dilantik sebagai kepala sekolah Madrasah Tarbiyah Islamiyah oleh
BUPATI TANAH DATAR Ikasuma Hamid dan di hadiri pula oleh Pembantu Gubenur
Wilayah II Hasan Basri pada akhir tahun 1986 M.
Tahun 1987 M adalah
tahun dimana Abuya dihadapkan pada tantangan budaya modern yang sangat
mempengaruhi minat orang tua untuk menyerahkan anaknya ke sekolah agama atau
madrasah.Ditambah lagi dengan sarana belajar yang tidak mendukung serta
pemondokan santri yang sudah tidak layak pakai karena di telan usia.Tantangan
dan kekurangan yang ada memacu semangat Abuya untuk membuat Madrasah ini tetap
berkiprah ditengah-tengah masyarakat.
Pada tanggal 28
Desember 1988 M Madrasah ini resmi menjadi PONDOK PESANTREN dengan nama
PONDOK PESANTREN TARBIYAH ISLAMIYAH MALALO yang diresmikan oleh Gubernur
Sumatra Barat Azwar Anas.
Dalam perjalanan
kepemimpinan Abuya H. Thaharuddin Labai Sutan, santri di pesantren ini
tahun ke tahun terus bertambah jumlahnya hingga mencapai 300 orang. Mengingat
peran ganda yang dijalani Abuya selama ini sebagai pengurus pendidikan
sekaligus pengurus pembangunan.
Maka saat ini
pembenaan fasilitas pendidikan adalah terfokus kepada pembangunan mengingat
sarana dan prasarana yang ada sekarang tidak memadai lagi bila diukur dari
angka pertumbuhan jumlah santri pertahunnya.
Saat ini sarana yang
dimiliki pesantren adalah:Lahan seluas 5,348 M2,1 buah Mushalla (20x18) M2 (
sudah hancur karena bencana Gempa ), Asrama putri (25x11) M2, Asrama putra
(20x11) M2,4 lokal permanent, 7 lokal semi permanent (sudah tidak layak pakai
).
Dan seiring
bergantinya tahun demi tahun Abuya yang dulunya sehat dalam menjalankan
aktifitasnya sebagai Pimpinan sekarang kesehatan Beliau telah berkurang.Maka
supaya kegiatan sekolah ini tetap berjalan lancar,maka Bagian TSANAWIYAH
diserahkan kepada Dra. Sriwati begitu juga dengan ALIYAH diserahkan
kepada Zulmas,S.Pd.I. Sementara Abuya hanya sebagai Pimpinan Pondok.
Tapi semakin hari
kesehatan Abuya semakin menurun dan tidak dapat melaksanakan tugas Beliau
dengan sepenuhnya.Untuk itu Abuya berinisiatif menyerahkan kepemimpinan Beliau
kepada orang yang bisa mengantikan Abuya dengan baik.
Maka disepakati
Kepemimpinan Abuya diserahkan kepada putra kandung Almarhum Abuya H.
Zakaria Labai Sati. Yaitu Izzuddin Datuak Panduko Nan Banso yang bertepatan
dengan tanggal 4 Dzulhijjah 1432 H/11 Desember 2010 M. Dan pengukuhan
Kepemimpinan tersebut dilaksanakan tanggal 27 Muharram 1432 H/2
januari 2011 M yang disaksikan oleh seluruh masyarakat dan para alumni. Untuk
mendukung Kepemimpinan ini supaya kegiatan sekolah berjalan dengan lancar maka
di bentuklah struktur kepegurusan Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo
sebagai beriku
BAGIAN IV
BIOGRAFI
PARA PATRIOT
MADRASAH TARBIYAH ISLAMIAH
Mungkin banyak diantara saudara-saudara
yang bertanya-tanya mengapa kami di sini memakai kata patriot, atau mungkin ada
diantara saudara yang tidak setuju dengan kata-kata tersebut. Sebenarnya
menurut kami hal tersebut tidak ada masalahnya, karna perbedaanlah kita bisa
bisa jadi teguh dalam kehidupan ini.
Sebenarnya kami memakai kata petriot
karna terinspirasi dari buku karangan Andrea Herata yang berjudul sebelas
patriot. Disitu dia menceritakan tentang sebelas pesepak bola yang menurutnya
adalah sebelas pahlawan bangsa, kalau dia mengatakan pesepak bola adalah
pahlawan, jadi apa salahnya kalau ulama-ulama yang memperjuangkan Tarbiyah juga
kita sebut dengan pahlawan bangsa bahkan Agama.
Demi memperluas pengetahuan kita
tentang tarbiyah islamiyah. Maka ada baiknya bagi kita untuk mengetahui
biografi dari para pendiri Madrasah Tarbiyah Islamiah, tapi kami tidak dapat
menyajikan biografi mereka secara lengkap, karna kekurangan referensi yang kami
temukan. Dan mari kita lihat satu persatu dari perjalanan mereka dalam menuntut
ilmu agama.
1. Syekh
Sulaima Ar-Rasuli (Inyiak Canduang)
Di sini sangatlah
pantas apabila kita terlebih dahulu membahas biografi dari seorang ulama
sumatera barat yang sangat fenomenal di zamannya, bahkan apa yang beliau
usahakan di zamannya tersebut masih bisa kita rasakan sampai saat sekarang ini,
beliau adalah orang yang sangat berperan besar dalam perjuangan berdirinya
Madrasah Tarbiyah Islamiah secara khusus dan organisasi Tarbiyah
Islamiah secara umumnya. Beliau ialah Syekh Sulaiman Ar-Rasuly.
Syekh Sulaiman
Ar-Rasuly dilahirkan di candung yaitu sebuah desa yang kurang lebih sekitar 8
KM sebelah timur kota bukittinggi, tepatnya di kaki gunung merapi sumatera
barat pada tahun 1871. Panggilan populer beliau adalah inyiak canduang. Inyiak
canduang dilahirkan oleh pasangan angku Muhammad Rasul dan Siti Buliah. Kedua
orang tua beliau merupakan orang yang taat beragama, bahkan ayah beliau adalah
seorang ulama[24].
Dari bidang
pengetahuan, beliau berguru atau menuntut ilmu kepada beberapa ulama yang ada
di sumatera barat pada saat itu, diantara nya beliau berguru kepada :
Ø Awalnya
beliau belajar al-quran di Batu Hampar, Payakumbuh
Ø Kemudian belajar di Pesantren Tuanku Sami Ilmiyah di
Baso
Ø Syekh
muhammad Thaib Umar di Sungayang, Batu Sangkar
Ø Syekh
Abdullah Halaban
Setelah itu, pada
tahun 1903 beliau berangkat ke tanah suci makkah mukarramah untuk menunaikan
ibadah haji dan memperkaya lagi ilmu pengetahuan agamanya dengan
ulama-ulama yang terkenal di sana, seperti :
Ø Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawy
Ø Syekh
Muchtar ath-Tharid
Ø Syekh Umar Bajened
Ø Syekh
Nawawi al-Banteny
Ø Syekh Sayid Abbas al-Yamani
Sewaktu bermukim di
Mekkah beliau belajar bersama empat orang sahabat beliau yang juga berasal dari
tanah Minangkabau, yaitu: Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Jamil
Jambek, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan Syekh Abbas Padang Panjang.
Setelah cukup lama
beliau di makkah, maka bliau kembali ke ranah minang pada tahun 1907. Lalu
beliau pun mengembangkan ilmu yang beliau dapat di tanah kelahiran beliau
dengan cara membentuh halakah-halakah. Dan beliau juga ikut serta dalam
perjuangan kemerdekaan indonesia.
Selama beliau hidup
beliau juga aktif dalam mengarang
beberapa buku dan kitab yang masih seputar agama Islam dan juga mengenai Islam
di Minangkabau, di antara buku karangan beliau antara lain[25]:
·
Dlau-us Siraj fil mi’raj (mi’raj Nabi)
·
Shamaratul Ihsan fi wiladah Sayyidil
Insan (Maulid Nabi)
·
Dawaul Qulub fi Qish-shah Yusuf wa
Ya’kub (sejarah Nabi)
·
Risalah al-Aqwalul Washithah
Fidz-dzikir war Rabithah (tasawuf)
·
Al Qulub Bayan fi Tafsiril Qur’an (ilmu
Tafsir)
·
Al
jawahirul Kalamiyah (Ushuluddin)
·
Sabilus Salam fi Wirid Saidiyah Ummah ( Doa-Doa)
·
Kisah Muhammad Arif (Tasawuf)
·
Perdamaian Adat dengan Syara’
·
Pertalian Adat dan Syara’ di
Minangkabau
·
Pengangkatan OPewnghulu-Penghulu di
Minangkabau
·
Al-Aqwalul Mardiyah (Tauhid)
Beliau meninggal
dunia pada tanggal 1 agustus 1970. Dan beliau masih meninggalkan sebuah
madrasah yang masih berdiri hingga detik ini, yang kita kenal dengan MTI
Canduang. Semoga limpahan rahmat dan karunia selalu dicurahkan Allah kepada
beliau. Aamiin ya Rabb..!!!!!!
Sebagai kenangan bagi beliau yang telah membimbing masyarakat
baik dalam ilmu agama dan juga dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara dan
bangsa, maka pada tahun 1969 M pemerintah telah menetapkan beliau sebagai salah
seorang perintis kemerdekaan. Dan pada tahun
1975 M Gubernur Sumatera Barat juaga telah menganugerahkan kadapa beliau sebuah Piagam tanda Penghargaan
sebagvai “ulama pendidikl, yang diserahkan kepada ahli waris beliau. Namun
beliau juga opernah meneriama “ Bintang Perak” dari Pemerintah Belanda dan “Bntamng
Sakura” dari Pemerintah Jepang.
2. Syekh Muhammad Jamil jaho
(inyiak jaho)
Beliau dihirkan di
suatu desa atau suatu daerah kecil yang terletak di daerah tambangan, padang
pajang, sumatera barat, nama daerah kecil tersebut adalah nagari jaho, pada
tahum 1875. Beliau dilahirkan oleh pasangan Datuk Garang atau Tuanku Kadhi
Tambangan (dari tambangan) dan Umbuik, seorang perempuan yang sangat di segani
oleh masyarakat setempat pada masa itu[26].
Keluarga beliau
adalah keluarga yang sangat relegius, sehingga latar belakang tersebut yang
memdorong beliau untuk selalu mendalami ilmu agama dan membuat beliau haus akan
ilmu agama itu sendiri.
Beliau belajar
al-Qur’an langsung pada sang ayah, setelah beliau bisa baca tulis al-Qur’an,
beliau pun belajar kitab-kitab perukunan (kitab-kitab arab melayu) jaga pada
sang ayah. Di saat usianya mengijak 13 tahun, beliau sudah bisa menghafal
al-Qur’an.
Setelah beliau hafal
al-Qur’an, lalu ayahnya mulai mengajarkan kitab kuning (arab gundul) kepada
beliau. Sehingga beliau pintar bahasa arab secara lisan maupun secara tulisan.
Selanjutnya beliau
mulai belajar di halaqah-halaqah yang ada di daerahnya, yaitu di pesantren yang
dibina oleh syekh al-Djafri di Gunung Rajo dan beliau pun menjadi murid
kesayangan oleh syekh al-Djafri tersebut.
Pada tahun 1893 M
beliau menyelesaikan belajar pada syekh al- Djafri dan melanjutkan ke seorang
ulama fiqih terkenal di Tanjung Bungo Padang Ganting yaitu syekh
al-Ayyubi. Disinilah beliau kenal dengan syekh Sulaiman ar-Rasuly, dan
beliaupun menjadi sahabat yang sangat dekat. Dan mereka belajar di sana selam 6
tahun. Lalu mereka berdua melanjutkan belajar ke Biaro Koto Tuo. Tempat
berkumpulnya para ulama-ulama besar pada saat itu.
Pada tahun 1899
mereka pun menyelesaikan belajar di sana dan melanjutkan menuntut ilmu ke pada
syekh Abdulla Halaban, yaitu seorang ulama yang sangat alim dibidang ilmu fiqih
dan ushul fiqih. Disinilah syekh muhammad jamil jaho atau inyiak jaho
dipercayai menjadi seorang pengajar atau guru (ustadz). Beliau juga sering di
ajak olek syekh Abdullah Halaban pergi ke pengajian-pengajian keliling sumatera
barat.
Pada tahun 1908
beliau berangkant ke makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menambah
ilmu pengetahuan beliau disana. Tetapi, sebelum beliau berangkat, beliau
mempersunting seorang gadis yang berasal dari tambangan yang bernama Saidah.
Dan dari istri beliau yang inilah beliau dianugerahi dua orang putri kelaknya
yaitu, yang mereka beri nama samsiiah dan syafiah.
A.Ginanjar
mengutip dari mukaddimah kita Tazdkirah al-Qulub karangan Iyiak Jaho
sendiri mengungkapkan bahwa saat di makkah beliau berguru kepada beberapa orang
ulama, diantaranya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, Syekh Alwi al-Mliki
(guru fiqih mazhab Maliki) Syekh Muchtar al-Affani (guru fiqih mazhab hambali).
Di sana beliau belajar bersama teman-teman beliau yag lain yang juga berasal
dari Indonesia, diantaranya:
·
Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah dari
buya Hamka)
·
Syekh Sulaiman Ar-Rasuly Canduang
·
Syekh Ibrahim Musa Parabek
·
Kiyai Ahamad Dahlan.
Menurut keterangan
yang kami dapat hanya Inyiak Jaho dan Syekgh Karim Amrullah yang diberi
dikesempatan untuk mengajar di Masjidil Haram Mekkah. Beliaua belajar disana
selama 10 tahun sehingga beliau menerima 3 ijazah dari tiga orang ulama di
sana, yaitu:
·
Syekh Ahmad Khatib (guru fiqih mazhab
syafi’i)
·
Syekh Alwi al-Mliki (guru fiqih mazhab
Maliki)
·
Syekh Muchtar al-Affani (guru fiqih
mazhab hambali)
Setelah beliau
kembali ke kampung haamannya, beliau mempelopori berdirinya Persatuan Ulama
Minangkabau yang disebut “Ittihadul Ulama” yang di pimpin oleh Syekh
Saads Mungka Lima Puluh Kota, sementara Inyiak Jaho dipilih sebagai penasehat
tinggi bersama Syekh Abdul Karim Amrullah, syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh
Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman ar-Rasully, Syekh Muhammad Zein Simabukr,
Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang padang panjang, Syekh Muhammad Thaib Sungayang,
Syekh Abbas Ladang Laweh Bukittinggi. Ittihadul ulama ini selalu
bergerak di bidang dakwah melalui mimbar, juga aktif dalam menerbitkan majalah
islam “araad wal Wadud”.
Seterusnya pada tahun
1924 beliau mendirikan surau dan membuat halaqah pengajian di kampung beliau,
dan konon halaqah inilah yang berkembang menjadi sebuah madrasah yang
kita kenal dengan MTI Jaho.
Inyiak Jaho juga di
kenal sebagai ulama yang berperan besar dalam kiprah Muhammadiyah di ranah
minang terutama di padang panjamg kerena beliaulah yang mendirikan organisasi
Muhammadiyah di Padang Panjang bersama syekh Muhammad Zain Simabur, S.Y.St,
Mangkuto dan Datuak Sati.
Tetapi beliau bersama
syekh Muhammad Zain Simabur mengundurkan
diri dari kepengurusan organisasi ini pada saat kongres/Mu’tamar Muhammadyah
yang ke-16 di Pekalongan Jawa tengah pada tahun 1927. Alasannya
adalah pada persoalan membuka peluang ijtihad yang terlalu bebas dan
menolak ittiba’ kepada pendapat ulama yang terdahulu.
Karna beliau dan
Inyiak Candung memang dikenal ulama yang berpaham menolak pola ijtihat
yang terlalu bebas dan menerima bersikap Ittiba’ kepada ulama-ulama terdahulu.
Namun bukan berarti mereka tidak menerima ijtihat sama sekali. Karna mereka mengikuti
cara berfikir syekh Yusuf Nabhani yang anti dengan pemikiran Muhammad Abduh,
Jamaluddin al-Afghani dan Rasyid Ridha.
Lalu pada tahun 1928
mereka mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang telah kita bahas
sebelumnya. Sebelum beliau wafat pada tahun 1360 H/ 1941 M, beliau sempat
menulis beberapa karya tulis, di antaranya:
·
Tazdkiratul qulub fil muraqabah
‘allamul ghuyub (tasawuf)
·
Nujumul hidayah Firaddi ‘Ala Ahli
Ghiwayah (buku yang menolak paham
Ahmadiyah Qodyan)
·
As-syamsul lami’ah fi Aqidah ad Diyaanah
·
Hujjatul balighah
·
Al-maqalah ar-radhiyah
·
Kasyful awsiyah.
3. Syekh Zakaria al-Anshori Labai Sati
Syekh Zakaria
al-Anshori Labai Sati adalah seorang ulama yang dilahirkan di malalo kecamatan
Batipuah (sekarang Batipuh Selatan), Tanah Datar tepatnya di daerah padang
laweh yang terletak kurang lebih satu kilo sebelum pasar Malalo tersebut, yang
bertepatan pada tahun 1898 M.
Pada awalnya beliau
hanya dikenal dengan panggilan buyuang dan orang luar malalo mengenalnya dengan
nama buyuang malalo, walaupun nama asli beliau adalah Zakaria. Beliau
mengawali pendidikannya di sekolah formal waktu itu dikenal dengan SR atau
Sekolah Rakyat, setelah itu beliau pergi mengaji atau mendalami ilmu agama
Islam ke Koto Baru Padang Pajang bersama dengan kakak beliau yang bernama
Tuangku Dt. Pangulu Kayo (ayah dari tuangku Muhammad Yunus yang pernah menjadi
pimpinan PPTI) dan mareka mendalami ilmu agama di daerah tersebut.
Lalu beliau
melanjutkan pendidikan beliau kedaerah padang pajang lainnya yaitu daerah Jaho
Tambangan, tetapi pada saat itu beliau sudah fashih membaca kitab sehingga
beliau pun menjadi murid yang sangat pintar dan menjadi murid kesayangan sang
Guru yaitu Syekh Muhammad Jamil Jaho.
Setelah cukup lama
beliau menggali ilmu bersama Syekh Muhammad Jamil Jaho beliau pun kembali ke
tanah kalahiran beliau untuk mengembangkan ilmu yang beliau dapat di
tengah-tengah masyarakat. Sehingga tepat pada tahun 1930 beliau berinisiatif
dan juga dukungan dari masyarakat setempat untuk mendirikan sebuah madrasah
yang dikenal dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok
Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo).
Beliau memiliki
beberapa orang istri dan beberapa orang anak, istri beliau yang pertama adalah
Maimunah (almarhumah) dan dikarunia bebepara orang anak, yang kedua adalah
Saunah di Dua Koto suatu daerah yang terletak di atas pasar Malalo dan memiliki
3 orang putri:
·
Nur’aini,
·
Syamsidar, dan
·
Hayatun Nufus.
Istri beliau yang
ketiga adalah Jamiah di Padang Laweh dan memilki 6 orang anak:,
·
Izzuddin Dt. Panduko nan Banso
(pimpinan pondok sekarang),
·
Mulkhair
·
Habiburrahman,
·
Syhiruddin,
·
Nailus Sa’adah, dan
·
Azizatul Jannah
istri beliau
yang terakhir adalah Salamah yang berasal dari daerah Aceh dan dikarunia satu
orang putri yang bernama Raudhatun Nur dan seoranga putra yang bernama
Muhibbuttibri.
Pada tahun 1967 M
beliau pergi menunaikan panggilan Allah ke Mekkah yang pada saat itu masih
menggunakan kapal. Dalam perjalanan beliau itu beliau sempat singgah di
Universitas yang sudah ada di Madinah al-Munawarah pada saat itu.
Ada beberapa kisah
menarik dalam kehidupan beliau yang pernah penulis dengan dan penulis rasa
pantas untuk dituangkan ke dalam buku ini, diantaranya:
A. Tambahan
al-Anshari pada nama beliau
Konon ceritanya gelar
al-Anshori yang ada di belakang nama beliau itu buan dari orang tua atau sanak
keluarga beliauy, tetapi diberi oleh sahabat beliau sendiri yang bernama syekh
Muda wali Aceh[27],
atau yang lebih dikenal dengan sebutan buya Aceh.
Cerita ini diawali
ketika buya Aceh datang ke Suamatera Barat dan mendatangi daerah-daerah
Suamatera Barat yang terkenal tinggi ilmu agamanya, dan akhirnya buya Aceh
sampai ke madrasah Tarbiyah Islamiyah Jaho pada tahun 1940-an.
Dimalam harinya buya
Aceh berkumpul dengan para santri senior dan terjadi aksi tanya jawab yang
cukup tegang antara Buya Aceh dengan para santri Tarbiyah Islamiyah Jaho sampai
akhirnya ada satu pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa mereka jawab pada saat
itu. Pertanyaan tersebut mengenai masalah yang ditemui oleh Buay Aceh dalam
suatu kitab yang menerangkan bahwa “ketika hari raya ID jatuh pada hari jum’at
dan orang sudah melakukan sholat ID, maka orang tersebut tidak perlu sholat
jum’at lagi, cukup sholat Dzuhur saja”.
Pada pagi harinya
inyiak Jaho mengirim sebuah surat pada Buya Labai Sati atau yang dikenal pada
saat itu dengan nama Buyuang Malalo.setelah Buya Labai Sati menerima surat
tersebut, lalu beliau brangkat dari Malalo, dan disore harinya Buya Labai Sati
sampai di Tarbiyah Jaho, sesuada sholat ‘isya mereka kembali berkumpul
untuk kembali melanjutkan diskusi/perdebatan yang masih ditunda semajak kemaren malamnya. Dan
pertanyaan Buya Aceh yang tidak bisa dijawab itu akhirnya bisa dijawab oleh
Buya Labai Sati. Karna perdebatan itu sangat panjang sehingga semua santri
Tarbiyah Jaho yang ada di ruangan itu tertidur.
Karena tidak ada yang
bertanya lagi,maka Buya Labai Sati memberikan satu pertanyaan kepada Buya Aceh,
karena hal inilah nama Buya Labai Sati menjadi Syejkh Zakaria al-Anshari yang
langsung diberikan oleh Syekh Muda Wali sendiri.
Dan semenjak
pertemuan itulah Buya Labai Sati dan Buya Aceh menjadi sahabat yang sangat
dekat, sehingga suatu ketika ada orang dari Maninjau yang membatalkan kajian
tarekat, mereka berdualah yang diutus oleh Buya Jaho untuk meluruskan
masalah yang dikemukakan oleh orang Maninjau tersebut.
Kebersamaan beliau
dengan buya Aceh juga berdampak pada kebiasaan biliau yang akhirnya berubah
karena buya Aceh ini yaitu dalam menentukan awal bulan ramadhan. Awalnya buya
Labai Sati melaksanakan Puasa terakhir sebagaimana kebanyakan orang Malalo pada
saat itu. Namun hal ini tidak pernah dibantah oleh Buaya Aceh, karena rasa
toleransi (tasamuah) mereka antara satu dengan yang lainnya sangat tinggi yang
sangat kental dalam konsep ahlussunnah wal jama’ah.
Suatu ketika akan
memasuki bulan ramadhan Buya Aceh mengajak Buya Labai Sati untuk melihat hilal
ke padang, sesampainya di indaruang Padang, ketika waktu matahari tenggelam,
dan pada saat itu mereka berdua langsung melihat hilal sudah ada, sehingga
keesokan harinya mereka berpuasa, padahal biasanya Buya Labai Sati puasa
terakhir, namun pada waktu itu beliau hurus puasa awal, karena beliau sendiri
yang melihat hilal pada sorenya. Begitu juga juga saat menentukan awal syawal
beliau kembali diajak oleh Buya Aceh untuk melihat hilal dan kejadian semula
kembali beliau lihat. Sehingga selama tiga tahun berturut-turut selalu begitu
dan akhirnya Buya Labai Sati menghilangkan kebiasaan lama beliau yang pergi
melihat hilal setelah orang puasa, namun setelah kejadian itu beliau selalu
meliahat hilal sebelum orang berpuasa.
Mereka berdua juga
pernah pergi menemui Buya Sidi Talau di Pariaman seorang ulama Syaktari, di
sana mereka membahas suatu kajian tentang Khutbah. Permasalahannya adalah
mengenai khutbah bahasa Arab dan bahasa Indonesia, menurut keterangan yang ada
dalam kitab Mahalli mengatakan (لايكفي بغير العربية)
tidaklah syah selain dengan bahasa Arab. Namun walupun begitu beberapa mkalimat
setelah dituskan لايضر غير العربية في غير الاركان و[28]. Sedangkan menurut Buya Labai Sati dan Buya Aceh tujuan khutbah
tersebut adalah menasehati jama’ah agar meningkatkan ketaqwaan, apabila
semuanya isi khutbah tersebut disampaikan dengan bahasa Arab, dan tidak semua
orang yang mengerti dengan bahasa Arab, sehingga tujuan awal khutbah tersebut
tidak tercapai. Maka atas pertimbangan mereka berdua, mereka mengambil
kesimpulan bahwa rukun khutbnah tersebut tetap harus bahasa Arab,dan isinya
boleh bahasa indonesia. Namun sebelum duduk antara dua khutbah rukun Khutbah
yang pertama juga harus diulang kembali, supaya ketika khutbah dengan bahasa
selain bahasa Arab yang tidak boleh menurut ulama Syafi’iyah juga terikuti,
karena ketika mengulang membaca rukun khutbah pertama tersebut maka tidak ada
lagi diselingi denga bahasa lain, maka khutbah menjadi utuh dengan
bahasa Arab. Begitu hati-haitnya mereka dalam mengambil hukum.
Namun walaupun mereka
telah menjadi teman yang akrab, mereka tidak menganggap kalau mereka adalah
sahabat, mereka selalu menganggap guru antara satu dengan yang lainnya. Karena
menurut Buya Labai Sati Buya Acehlah gurunya, sedangkan menurut Buya Aceh Buya
Labai Satilah Gurunya.
B. Terdampar
di Pulau Dun-dun
Hari jum’at tahun
1968 ruangan tempat belajar santri Madrasah Tarbiyah Islamiyah rusak parah
karena dihantam angin yang sangat dahsat, waktu itu adalah sebelum ujian
kenaikan kelas. Karena kondisi madrasah yang tidak memungkinkan lagi dan
memerlukan perbaikan total yang jelas membutuhkan dana yang lumayan besar, maka
buya Labai Sati berinisiatif untuk berangkat ke Aceh untuk mencari dana yang
dibutuhkan tersebut.
Setelah beberapa hari
di Aceh beliau pun hendak kembali pulang ke Padang Laweh, namu ketika sampai di
pelabuhan kapal yang rencananya akan beliau tumpangi rusak dan beliau sudah
memiliki perasaan yang tidak enak, sehingga beliau kembali turun dari kapal
tersebut, nama kapal tersebut adalah KM. PERTISA.
Namun selang beberapa
saat beliau pun dijemput oleh awak kapal dan mengatakan bahwa kapal sudah
selesai diperbaiki dan sudah bisa untuk berlayar. Akhirnya beliau berangkat
sore itu dengan tujuan Sumatera Barat.
Ketika kapal sudah
sampai ditengah laut cuaca menjadi mendung, selang beberapa saat hujan turun
yang disertai dengan angin. karena KM. Kempertisa bukanlah kapal yang besar
sehingga kapal tersebut menjadi oleng. Karena takut kapal akan tenggelam kapten
kapal meminta kepada para penumpang agar semua barang dibuang ke laut untuk
mengurangi beban kapal. Karena cuaca yang tidak juga membaik akhirnya kapal
tersebut terdampar disebuah pulau karang yang bernama pulau Dun-dun[29].
Tetapi disaat itulah
terjadi keajaiban dimana setiap kali mereka merasa lapar menepilah ikan-ikan
yang dengan mudah mereka tangkap, lalu ikan-ikan itulah yang mereka bakar dan
mereka makan selama satu minggu mereka di sana.
Karena mereka sudah
merasa resah maka sang kapten bertanya kepada Buya Labai Sati, lalu pada jam
10.00 malam Buya melaksanakan sholat istikarah. Setelah beliau sholat istikarah
beliau mengatakan bahwa akan datang bantuan sebuah kapal besar yang bagus
kepada kapten tersebut.
Besok paginya mereka
melihat sebuah titik hitam kecil di tengah laut, pada jam 07.00 beliau kembali
melaksanakan sholat istikarah sekali lagi, setelah sholat beliau mengatakan
bahwa bantuan akan datang, namun setelah sampai jam 12.00 titik tersebut belum
berubah atau bergerak juga, sehingga para penumpang yang lain mencemoohkan
beliau. Beberapa saat setelah itu, barulah titik tersebut mendekat dan berubah
bentuk menjadi sebuah kapal besar yang bernama kapal LENGKENG.
Setelah kapal besar
tersebut menepi dan mereka naik kepal tesebut, lalu mereka bertanya kepada awak
kapal Lengkeng ini, ternyata kapal ini dari Jakarta hendak pergi Sibolga, lalu
awak kapal Lengkeng ini melihat ada sebuah bendera merah yang mengapung, ketika
mereka ingin mengambilnya mereka mengalami kesusahan, karena bendera tersebut
diapit oleh dua buah drum dan selalu didorong oleh arus kapal sehingga mereka
susah untuk mengaambilnya, hal inilah yang menyebabkan mereka lama ditengah
laut yang dilihat oleh para penumpang yang terdampar bersama buya Labai Sati
tadi. Ketika mereka mendapatkan bendera itu mereka menemukan sebuah tulisan di
bagian bawah bendera itu yang mengatakan “Kempertisa terdampar di pulau
Dun-dun,” dan di bawahnya tertulis kata “TOLONG.!!!!”.
Setelah sampai di Sibolga beliau
disambut dan diinapkan di sebuah hotel untuk beristirahat karena sudah satu
minggu terdampar di pulan Dun-dun. Dan akhirnya buya kembali ke kampung halaman
Padang laweh dengan selamat, tetapi pada saat beliau sampai di Padang Laweh,
beliau hanya menggunakan celana, jas dan sorban yang beliau kenakan, karena
barang beliau yang disuruh lemparkan ke laut oleh kapten kapal kempertisa itu
tidak bisa diselamatkan lagi.
C. Mendapatkan
Mursyid Ditarekat Naqsabandiyah
Syekh Zakaria atau
lebih kita kenal dengan nama Buya Labai Sati mendapat atau mencapai derajat
mursyid ditarekat Naqsabandi adalah di daerah Pulau Gadang. Pada awalnya beliau
tidak hendak menuntut ilmu tarekat ke daerah itu, karena pada saat beliau
menyelesaikan studi beliau di Jaho, beliau ingin merantau ke Malaya sebagaimana
generasi muda Minangkabau lainnya, pada saat itu beliau tidak seorang diri,
karena beliau pergi bersama dengan teman beliau yang bernama Tuangku Harun dari
Sumagek Tangah XX Padang Laweh Malalo.
Namun sesampainya di
tempat penyeberangan menuju daerah Malaya, beliau mendapat berita dari Kapten
kapal yang akan mereka tumpangi itu, bahwa sedang ada konflik di tempat tujuan
mereka tersebut, sehingga banyak ulama yang
dimsukkan ke dalam penjara oleh Raja setempat.
Sehingga setelah
mempertingbangkannya bersama dengan sahabat beliau, mereka berdua akhirnya
memutuskan untuk kembali saja ke kampung halaman, karena perasaan beliau sudah
merasa tidak enak lagi. Sebat tidak sumua yang beliau pandang baik belum tentu
dipandang baik pula oleh masyarakat setempat.
Ketika beliau dan
sahabatnya hendak kembali ke kampung Halaman, mereka singgah terlebih dahulu di
aderah Pulau Gadang yang pada saat itu ada jama’ah yang sedang suluk, sehingga
mereka memutuskan untuk ikut suluk terlebih dahulu supaya perjalanan beliau
tidak sia-sia.
Namun baru beberapa
jam bergabung dengan jama’ah suluk, tuangku Harun disuruh pulang oleh Mursyid,
karena beliau melanggar suatu aturan suluk tersebut, sehingga tinggallah Buya
Labai sati di sana sendirian.setelah tiga hari melaksanakan suluk, beliau
disuruh pulang terlebih dahulu dan disuruh kembali pada bulan haji di tahun itu
oleh buya Pulau Gadang. Buya Pulau Gadang merasa bahwa untuk tahap awal bagi
beliau, karena buya Pulau Gadang melihat ketekunan dari beliau. Lalu beliau
mengikuti saran yang diberikan oleh Mursyid beliau tesebut.
Setelah sampai dikampung
halaman beliau kembali belajar di halaqah-halaqah yang sudah ada pada waktu itu
dan mengamalkan kajian tarikat yang beliau bisa. Setelah sampai di bulan haji
atau bulan dzulhijjah beliau kembali ke Pulau Gadang untuk melakukan suluk
untuk yang kedua kalinya, dan pada suluk yang kedua inilah beliau mampu pada
derajad Mursyid, sehingga beliau bisa mengembang ilmu Tarekat Naqsabandiyah di
daerah kelahiran beliau sendiri.
D. Keajaiban
Saat Beliau Meninggal Dunia
Kisah ini diceritakan
oleh engku Lasykar Harun yang di dapatnya dari istri beliau yaitu ibuk Nur
‘aini, anak buya zakariya sendiri, kata ibuk Nur’aini Buya Zakariya meninggal
dua kali, dan buya Zakariyah meninggal bertepatan pada hari senin jam 4 dini
hari 11 ramadhan 1349 H/8 oktober 1973 M dalam umur 75 tahun.
Ketila buya Zakariya
Labai Sati meminpin kegiatan suluk di padang laweh, di mushallah beliau (lebih
dikenal dengan nama Surau Tinggi), kegiatan ini hampir setiap bulan ramadhan
beliau adakan, karna beliau seorang mursyid dalam Tarekat Naqsabandi yang bisa
memimpin dalam kegiatan tawajjuh (Taqarrub ilallah dengan cara berzikir) dalam
ajaran tariqat, dan memimpim di dalam suluk serta membai’at orang yang mau
masuk tareqat naqsabandi tersebut.
Disaat beliau akan
meninggal dunia. Mula-mula terdengar seperti orang tersedak di kerongkongan
beliau oleh murid beliau engku Labai yaitu orang Gunung Rajo yang telah
diangkat menjadi mursyid oleh buya, setelah suara itu hilang, dilihat dan di raba buya oleh
engku Labai, ternyata buya tidak bernafas lagi, pada waktu itu buya berada di
kamar beliau. dan diangkat buya keluar dan diletakkan di mihrab musahllah serta
di tutup beliau dengan kain panjang.
Namun tiba-tiba beliau duduk sambil berkata kepada orang yang
ada didekat didekat beliau, mendengar sapaan buya jama’a seluruhnya mendekat,
jama’ah suluk beserta jama’ah sholat empat puluh, buya bertanya kepada mereka,”
apa yang terjadi? Murid buya menjawab dan menceritakan kejadiannya bahwasanya
tadi waktu buya didalam kamar kami lihat buya sudah tiada, lalu kami bawa buya
kesini. Buya berkata” benar katamu lalu buya menyuruh untuk memanggil keluarga
beliau yaitu:
·
Gapuak (kakak beliau)
·
Saunah (istri beliau yang di Sumagek)
·
Jami’ah (istri beliau yang di Padang
Laweh)
·
Nur’aini (anak beliau atau istri engku
Lasykar harun)
·
Salamah (istri beliau yang di Aceh)
Setelah keluarga buya
datang, buya menceritakan kejadian yang dialaminya ,bahwasanya tadi datang
seorang kawan kepadaku dan berkata kepadaku” disini buya rupanya, ayo
berangkat kita lagi buya (kerahmatullah), ayolah kataku, di dalam perjalanan,
aku teringat belum berwasiat kepada orang yang ku tinggalkan, dan sekarang aku
berwasiat kapada kalian semua bahwasanya sekolah yang aku dirikan ini
toloong jangan kalian tingkalkan dalam arti tolong hidupkan sekolah ini, dijaga
dan di rawat.”
Setelah itu buya
bertanya kepada mereka “apa kalian sudah pahan dengan maksudku”, mereka
menjawab” sudah buya”, lalu buya menghembuskan nafasnya yang terakhir,
kata engku Lasykar sendiri beliau beliau meninggal waktu itu dalam keadaan tersenyum[30].
Dapat penulis pahami
dari kisah kepergian buya Zakariya ini kerahmatullah yang begitu menabjubkan,
itu semua karna amal kebaikan beliau yang begitu indah di sisi Allah SWT,
sehingga malaikat maut sendiri segan kepada belia. Kalau bukan karna amal kebaikan
beliau tak mungkin malaikat maut tersebut menuruti permintaan beliau begitu
saja tuk mengembalikan roh beliau yang sudah terpisah dengan jasadnya mungkin
ini suatu bukti dari firman Allah
Dan hadis Rasulullah
Artinya: siapa yang
mengajak kepada kebaikan dia akan mendapatkan pahala, dan pahala orang-orang
yang mengikut kebaikan kebaikan tersebut (riwayat Muslim).
Itulah yang selalu buya amalkan selama
beliau hidup, belajar dan mengajarkan ilmu yang beliau dapat kepada orang yang
belum mengetahui,
4. Sekeilas
Tentag Ustadzah Nuraini .Z
Ustadzah Nuraini
adalah anak kandung dari maulana syekh Zakaria Labai sati dari istri beliau
yang pasar malalo, dan ustadzah Nuraini memiliki dua orang saudara yaitu
Syamsyidar dan Hayatun Nufus. Z dan beliaulah anak tertua dari mereka semua.
Beliau sendiri dibesarkan juga dilingkunan Madrasah Tarbiyah Islamiyah,
sebagaimana anak-anak Buya Zakaria lannya.
Namun memilki satu
kelebihan, yaitu beliau merupakan orang cerdas, sehingga dengan mendengar doa-doa
yang dibacakan oleh ayah beliau, beliau sudah mampu mengingat doa tersebut.,
sehingga apabila Abuya tidak bisa mengaji dengan jamaah d surau tinggi,
beliaulah yang menggantikan Abuya dengan cara mengajarkan doa-doa yang telah
hafal oleh beliau tersebut. Begitu juga disaat jamaah bertanya kepada Abuya,
maka biasanya Abuya akan menyuruh jamaah untuk bertanya kepada beliau. Dan yang
sangat luar biasa itu, karena semua kegiatan ini beliau lakukan disaat beliau
belum masuk sekolah dasar (SD) atau SR.
Untuk dunia
pendidikan, sewaktu beliau kecil beliau belajar di MTI malalo terlebih dahulu
baru beliau masuk SR, sehingga ketika beliau di SR beliau sudah lancar baca
tulis, sehingga hanya dalam empat tahun beliau sudah ditamatkan dari SR
pada saat itu. Setelah itu beliau kembali belajar MTI malalo yang saat itu
masih dipimpin oleh Syekh Zakaria Labai Sati yaitu ayah kendung beliau sendiri.
Setelah tamat dari
MTI malalo, lalu beliau mengajar di MTI malalo itu juga. Beliau dinikahi oleh
seorang terntara yang bernama Ahmad Damnahuri yaitu orang Pasaman (kalau
sekarang di daerah Pasaman Barat) namun ayah dari bapak Ahmad Damnahuri ini
adalah orang Tanjug sawah Malalo yaitu Tuangku Abdullah Thaat. Namun setelah
beliau nikah lalu beliau dibawa oleh suaminya ke Medan, dan dari suaminya ini
beliau memilki empat orang anak, yaitu:
·
Zulhelmi
·
Rasyidah
·
Rahimah
·
Zulfahmi
Lalu karena satu dan
lain hal pada tahun 1965 beliau bercerai dengan suami beliau ini, kemudian
beliau kembali mengajar di MTI malalo. Dan pada tahun 1974 beliau kembali
menikah dengan Engku Lasykar Harun. Dari pernikahan beliau yang kedua ini
beliau kembali dianugrahi tiga orang anak, yaitu:
·
Fakhrizah
·
Fakhriati
·
Rimzatul Fitriyah
Setelah beliau
melahirkan anak beliau yang pertama beliau jatuh sakit selama satu bulan 27
hari, ketika itu beliau sudah menjadi pimpinan MTI malalo, dan ketika beliau
sakit ini MTI malalo dipimpin oleh Engku Syamsuardi. Dan setelah beliau sehat
dari sakitnya kepemimpinan MTI malalo dikembalikan ke tangan beliau[31]
MTI Malalo dimasa kepemimpinan beliau
Dimasa kepemimpinan
beliau ada beberapa hal penting yag perlu kita ingat, diantaranya adalah:
A. Pada
tahun 1976 sampai 1986 MTI malalo sudah mengadakan UN (ujian negeri), yang saat
itu untuk tingkat tsanawiyah pergi ujian ke Batu Taba. Dan untuk tingkat Aliyah
ke Sungayang. Sehingga pada saat itu santri di MTI malalo sudah mendapat 2
ijazah, yaitu satu ijazah negeri dan satu lagi ijazah Madrasah. Namun pada
periode itu, beliau sangat kesulitan dalam masalah pendanaan, karena pada saat
itu MTI malalo tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, sehingga konon
katanya disaat itu MTI malalo pernah tidak menggaji guru-gurunya selama satu
tahun. Namun semua guru-guru pada saat itu tidak pernah mempermasalahkannya,
kerena rasa cinta mereka ke MTI malalo pada saat itu tidak bisa diukur dengan
uang, terbukti tanpa uang pun mereka masih tetap bekerja secara profesional,
mungkin karena pada saat itu semua guru rata-rata alumni MTI baik di malalo
atau MTI di daerah lainnya.
B. Selama
masa kepemimpinan beliau MTI pernah mendapat bantuan dari Guberur Sumatra Barat
sebanyak Rp 500.000, dan ketika itu atas kesepakan bersama dibangunlah sebuah
kantor yaitu kantor yang terletah disebelah kantin (kafe) sekarang ini
atau yang dijadikan perpustakaan pada saat ini. Namun bantuan tersebut tidak
bisa membangun sampai selesai, karena untuk membeli atapnya uang sudah tidak
ada lagi. Dan ketika berkat bantuan oleh bapak Ardi yaitu suami dari ibu
Hayatun Nufus bangunan tersebut bisa selesai dan bisa dipakai pada saat itu
sebagai kantor.
C. Beliau
juga aktif untuk berceramah ke daerah-daerah yang bisa beliau jangkau, seperti
daerah Pekandangan, Pariaman, Solok dan beberapa daerah lainnya. Sehingga hal
ini juga bisa membantu sekolah dalam masalah pendanaan dan juga bisa mengekspos
sekolah.
Namun dengan
berjalannya waktu, langkah beliau dalam memajukan sekolah harus terhenti yang
sekaligus menhentikan beliau untuk memperjuangkan agama Allah, karena tepat
pada sore rabu dibulan September tahun 1986 beliau menutup usia beliau,
beliau meninggal di Rumah Sakit Imam A. Mukhtar Bukit Tinggi. Begitulah
perjuangan dari salah satu patriot perempuan yang pernah dimiliki oleh Tarbiyah
Islamiyah malalo.
5. H.
Thoharuddin, LS
Beliau besar bersama
ayah beliau di Pitalah Batipuah, karena ayah dan ibu beliau bercerai, sehingga
menuntut beliau untuk ikut dengan ayah beliau ke Pitalah. Seperti anak lainnya
di masa itu beliau memulai pendidikan formalnya di SR sekitar tahun 1949 dan
melanjutkan ke MTI Jaho sampai duduk di kelas dua Tsanawiyah lalu beliau pindah
ke MTI (PPTI) malalo sekitar tahun 1957/1958 dan duduk di
kelas dua Tsanawiyah juga.
Namun kaerena
kecerdasan beliau, pada tahun itu juga beliau dinaikan oleh Buya Labai Sati ke
kelas 3, tidak beberapa bulan di kelas tiga beliau juga di naikan lagi ke kelas
4. Pada tahun 1959 beliau naik ke kelas 6, dan pada saat itu terjadi pergolakan
PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), sehingga pada tahun 1960
beliau pergi belajar ke Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan bersama dengan
sahabatnya angku Muis Pakiah Sati, 3 bulan setelah itu juga menyusul sahabat
beliau yang lainnya, yaitu angklu Karis dan angku Labai Mudo.
Pada tahun 1961
beliau pergi ke Aceh bersama Angku Muis Pakiah Sati dan belajar di sana. Dan
ketika Buya Labai Sati kembali ke Malalo pada awal tahun 1962 , sehingga pada
hari rabu tanggal 1 Syawal kegiatan belajar-mengajar di MTI malalo kembali di
laksanakan setelah sempat terhenti karena PRRI. Pada bulan Sa’ban-nya di MTI
Malalo di adakan perayaan penerian ijazah, dan bertepan sebelum perayaan
tersebut Buya Thoharuddin pulang dari aceh, sehingga beliau pun juga mendapat
ijazah aliyah pada perayaan tersebut. Pada bulan ramadhannya beliau bersama
sahabatnya angku Karim (tj. Barulak) dan angku Darus Salikin (Teluk Kuantan)
pergi ke kayutaman untuk kursus Ilnmu Mantiq bersama Buya Dt. Tumanggung.
Setelah Ramadhan
mereka kembali ke Malalo, dan mengajar pada 1963 sampai tahun 1965. Dalam
karirnya beliau juga sempat mengikuti latihan tentara atau latihan meliter di
Padang Panjang sekitar tahun 1963/1964, pada saat itu beliau utusan dari
PERTI, latihan tersebut beliau ikuti selama satu bulan penuh. Beliau juga
pernah mengikuti Pelatihan Kader FORMI PI PERTI di Padang Panjang pada tahun
1965 selama 15 hari, ketika penutupan acara terseburt bertepatan dengan
G30SPKI, setelah beliau selesai mengikuti pelatihan tersebut beliau kembali ke
Malalo.
Beliau berkeluarga
pada tahun 1964 dengan seorang gadis yang berasal dari Pitalah juga yang
bernama Rosnomi atau banyak juga orang panggil dengan panggilan kak Irai, dari
istri beliau ini, beliau dianugerahi 3 orang anak:
·
Habibullah
·
Habiburrahman
·
Nur
Namun ibu Rosnomi ini
meninggal ketika melahikan Nur anak beliau yang terakhir. Pada tahun 1969
beliau kembali menikah dengan ibu Ros, ibu Ros ini adalah orang dari Nagari
Guguak di Padang Pariaman, dan belliau kembali di anugerahi satu pasang anak
yang beliau beri nama:
·
Muhammad Syukri
·
Mailul Husni
Lalu beliau diminta
untuk mengajar di sebuah Pesantren yang berada di Panti Pasaman Barat , dan
beliau mengajar di sana selama 14 tahun. kemudian beliau kembali menikah dengan
midren adik dari istri beliau yang pertama (ganti lapiak) dan dianugerahi
seorang putri yang beliau beri nama Mabrur. Putri beliau mabrur ini lahir
ketika beliau pergi menunaikan ibadah haji pada tahun 1986.
Setelah meninggalnya
ibu Nuraini (putrid kandung Buya Labai Sati) beliau di minta kembali ke Malalo
untuk menjadi pempinan di MTI Malalo. Dan ketika ditangan beliaulah nama MTI
malalo diubah menjadi Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo (PPTI Malalo).
Pada pertengahan tahun 1987 beliau mengajak angku Karim untuk tinggal di
Malalo, angku karim pun mengikuti ajakan neliau tersebut, sehingga pada saat
itu angku karim tinggal di Surau Tinggi.
Bersama angku Karim
beliau pernah mengikuti beberapa acara penting, seperti MUNAS Organisasi
Tarikat di Jakarta, yang acara pembukaannya dilaksanakan di Taman Mini
Indonesia dan dilanjutkan di Wisma Haji Pondok Gede selama 15 hari pada tahun
1987, pada waktu itu mereka berdua menjadi utusan Kota Madia Solok.
Dari segi ilmu
tariqat, beliau berguru kepada Buya Labai Sati dan beliau juga pernah suluk
dengan Buya Kanis Tuangku Tuah di simpang Batu Ampa daerah 50 Koto tepatnya di
Pondok pesantren Tarbiyah Islamiyah di sana.
Ketika beliau menjadi
Pimpinan di PPTI beliau tinggal di Surau Tinggi, pernah juga tinggal di rumah
penduduk di Padang Laweh dan juga pernah tinggal di kantor di sebelah kantin
(kafetaria) PPTI Malalo. Selama di tangan beliau sangat banyak perubahan di
PPTI Malalo, ditangan beliaulah di beli tanah di belakang sekolah dan didirikan
asraman sementara lalu ditunjuk angku karim sebagai ketua asramanya. Lalu
dibeli tanah yang pinggirdanau sebanyak tiga tahap, sesudah itu barulah
didirikan asrama dan mushallah permanen yang kita nikmati sekarang.
Sebelumnya pada tahun
1957 hanya ada 4 lokal yaitu di kantor desa yang ada di tengah-tengan desa
padang laweh, sehingga proses belajar-mengajar harus dijadikan dua tahap, kelas
1,2 dan 3 harus belajar di sore hari karena ada saat itu kelas 3 ada dua
local.dan kelas 4,5,6 dan 7 yang belajar pagi. Pada tahun 1960 baru pindah
tempat yang kita pakai sekarang, murid pada saat itu mencapai 600 orang.
Beliau juga pernah
menikah dengan seorang guru di PPTI yang bernama Marina Amini pada tahun 2000,
setelah ibu Marina Amini meninggal pada tahun 2006, beliau kembali menikah
dengan istri beliau yang terakhir yang bernama Hamidah pada tahun. Dan beliau
meninggal pada sore kamis 19 Ramadhan 1432 H/ 19 agutus 2011 pada waktu magrib
di Padang Laweh Malalo..
6. Sekilas
tetang Engku Karim
Nama asli beliau
adalah Muhammad Karimuddin jamal, beliau lahir pada tanggal 17 Agustus 1943 di
sebuuah daerah yang tidak begitu jauh deri kota padang panjang yaitu desa
Tanjung Barulak Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar SUMBAR. Beliau
dilahirkan dari pasangan Jamaluddin dan Mani. Namun semenjak
kecil beliau hanya dibesarkan oleh ibu belia Mani saja, karena sejak kecil
beliau sudah ditinggal oleh ayah beliau. Dari keluarga tersebut beliau
mempunyai beberapa orang saudara dan beliau adalah anak paling bungsu, di
antara saudara beliau tersebut adalah:
·
Rajab,
·
Rosna
·
Nur Siah
·
Bakhriyah
Dilihat dari
perjalanan beliau dalam dunia pendidikan, yang beliau mulai semenjak kecil
beliau sudah belajar baca tulis al-Qur’an, lalu beliau lanjutkan ke jenjang
pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1950 M, setelah selama enam
tahun di SR beliau tamat dan melanjutkan pendidikan beliau di Madrasah Tarbiyah
Islamiyah Malalo pada tahun 1956 M yang pada saat itu masih dipimpim oleh
pendiri Madrasah yaitu Buya Labai Sati[32].
Namun baru
manjalankan pembelajaran selama dua tahun penuh, pada awal tahun ketiganya
beliau proses belajar mengajar harus dihentikan karena pergolakan PRRI,
sehingga beliau harus kembali ke kampung halaman untuk sementara waktu.
Kerena beliau merasa
haus dengan Ilmu agama dan beliau juga tidak bisa tenang tinggal di desa beliau
tanpa ada kegiatan belajarnya, sehingga beliau memutuskan untuk melanjutkan
studi beliau ke Pondok Pesantren Nurul Yaqin atau yang libih dikenal denga
sebutan ringan-ringan.
Setelah beberapa
tahun di Ringan-ringang dan pergolakan PRRI sudah mulai netral kembali, lalu
beliau memutuskan untuk kembali ke Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo setelah
mendengar kabar bahwa Madrasah telah dibuka kembali oleh Abuya Syekh Zakarita
Labai Sati.
Namun baru enam bulan
belajar di kelas tujuh beliau sudah disuruh oleh abuya untuk menerima ijazah
pada perayaan penerimaan ijazah tahun 1962 bersama dengan para senior beliau
yang lainnya. Pada awalnya beliau tidak mau merima ijazah pada waktu itu itu,
karena beliau merasa belum pantas untuk menerima ijazah pada waktu tersebut.
Namun Abuya tetap memberinya ijazah dengan alasan Madrasah harus mengadakan
acara perayaan besar-besaran, dengan tujuan agar semua masyarakat mengetahui
bahwa Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo telah dibuka kembali.Setelah
menerima ijazah beliau langsung mengajar di Madrasah tersebut pada tahun 1962
itu juga.
Beliau berkeluarga
pada tahun 1966 M, tepatnya pada tanggal 4 sa’ban. Beliau mempersunting seorang
gadis yang bernama Zaiyani binti H. Zainuddin yaitu seorang gadis yang berasal
dari tanjung barulak juga. Dari pasangan beliau ini beliau dikaruniai beberapa
orang anak, di antaranya:
· Khalilurrahman,
· Nurussa’adah
· Hasanah Fiddaraini
· Huddiyat Mirabbi
· M Zal Aidi, Zul Kifli
7. Sekilas
tentang engku Lasykar Harun
Engku lasykar
dilahirkan pada Tanggal 1 Januari 1942 di Talau, Kenagarian. Kudu Ganting, Kec.
5 Koto Timur Kab. Padang Pariaman, Sumatra Barat. Nama lengkap beliau
adalah Lasykar bin Harun bin Abu Bakar, dan beliau dilahirkan dari
rahim seorang ibu yang bernama Pik Intan binti Pakiah Jaho. Beliau
memilki beberapa saudara baik yang seibu maupun yang seibu seayah, di
antaranya:
a. Seibu
:
·
Rustina
·
Caya Karani
·
Burhanuddin
b. Seibu
bapak :
·
Lasmi
·
Bakri
·
Rajuddin
Istri beliau ada dua,
istri pertama beliau telah meninggal, dan sekarang beliau hidup dengan istri
kedua beliau,
Istri pertama bernama Nur’aini memeliki
empat orang anak yaitu
·
Fakhrija
·
Fakhriati
·
Rimzah
·
Fitriyah
Dari istri kedua beliau adalah Bainar
dan memiliki tiga orang anak yaitu:
·
Husnil Mardhiyah
·
Zamratil Khaira
·
Fadhilatul Husni
Perjalanan Hidup Engku Lasykar
Harun Menuntut Ilmu
Beliau memulai
pendidikan formal pada tahun 1960 di Sekolah Rakyat (SR), dan pada tahun
1956 tamat dari SR tersebut. Di tahun 1957 beliau melanjutkan sekolah
ke SMP sampai tahun 1959, tapi karna pada waktu itu terjadi
pergolakan PPRI di Sumatera Tengah, akhirnya beliau menamatkan sekolahnya pada
tahun 1960, setelah tamat dari SMP beliau belum menyambung sekolahnya hanya
membantu-bantu orang tuanya dirumah, maklum dengan keadan keluarga yang bisa
dikatakan kurang bercukupan, namun sebagai orang tua tentu tidak mau
melihat anaknya putus sekolah, dan tergantung pendidikannya.
Dan orang tuanya bernisiatif untuk
menganjurkan engku Lasykar untuk melanjutkan sekolahnya, dan
diberitahukan kepada beliau dengan maksud orang tuanya tersebut, namun
pada waktu itu engku Lasykar sendiri hanya mau melanjutkan pendidikannya ke
Pondok Pesanteren Dinul Ma’ruf di Sungai Janiah. Orang tua beliaupun
menyetujuinya, dan pada akhir tahun 1963 dibawahlah beliau ke
Pondok Pesantren di Sungai Janiah tersebut.
Engku Lasykar menuntut Ilmu di Pondok tersebut bersama temannya yang
bernama Ramli ismail dan Abu Zahar, kedua orang tersebut sudah tidak
asing lagi bagi beliau, karena kedua temannya tersebut orang kampung beliau
juga. Namun sedang asyik-asyiknya belajar disana, seorang guru yang
sangat dekat dengan mereka pindah ke Malalo, sehingga hal tersebut bembuat
mereka kurang bersemangat untuk belajar, karena mereka sangat senang belajar
dengan guru tersebut yang mereka panggil guru tuo (guru tua), namun nama
aslinya adalah Zainal Abidin Tuangku Bagindo.
Engku lasykar berniat mengikuti gurunya
tersebut ke Malalo, namun beliau belum tau di mana itu daerah Malalo. Ketika
beliau berkumpul dengan teman-temannya, seorang dari teman yaitu Abu Zahar
mengusulkan untuk pergi saja ke Malalo, karena menurut ceritanya Abu Zahar
pernah pergi ke Malalo dan Katannya di Malalo banyak di pelajari berbagai
bidang ilmu tidak seperti di Pondok Pesantren di Sungai Janiah yang saat
itu hanya belajar satu bidang ilmu saja yaitu hanya
Tafsir Jalalain saja, tapi di Malalo di pelajari kitab-kitab penting lainnya,
seperti Tauhid, Fiqih, Tarekh, Tasawuf, Nahu dan Sharaf, Tafsir, Hadis, dan
ilmu Mantiq serta Kitab-kitab lainnya yang berhubungan dengan keagamaan.
Setelah mendengar
cerita dari temannya, engku Lasykar dan teman-tamannya ingin pindah dan
menuntut ilmu disana, dan mengadukan keinginan mereka kapada buya pimpinan
Pondok Pesantren Sungai Janiah yaitu buya Asirun Tuangku nan Panjang untuk
mengabulkan keinginan mereka pergi ke Malalo , namun buya tidak mengizinkan
karna buya telah berjanji kapada orang tua mereka agar nanti setelah
keluar mereka dari Pesantern itu bergelar tuangku, karna janji itu buya
pimpinan tidak mengizinkan mereka untuk pindah ke Malalo, namun akhirnya
pimpinan Pondok Pesantren tersebut terpaksa mengizinkan mereka untuk
pindah ke Malalo setelah mereka minta izin yang ke tiga kalinya bertepatan pada
bulan sa’ban.
Setelah mereka pergi
dari pesantren Su gai Janiah, engku Lasykar mintak izin kepada orang tuanya
untuk menuntut ilmu ke Malalo, pada awalnya orang tua beliau tidak
menyetujuinya, kerena keterbatasan biaya. tapi karna tekat bulat dan
keinginan engku Lasykar yang sangat kuat, beliau terus membujuk orang tuanya
untuk mengizinkannya dan beliau akan mencari biaya sendiri untuk pergi ke
Malalo. Dan akhirnya kedua orang tua beliau pun mengizinkannya.
Setelah mendapat izin dari orang
tuanya, beliau menceritakan keinginannya kepada masyiarakat setempat, kebetulan
pada waktu itu akan memasuki bulan Ramadhan dan beliau menawarkan kepada
masyiarakat untuk menjadi imam di mushallah masyiarakat setempat itu
dengan syarat seluruh masyarakat itu mengeluarkan zakat fitrah mereka dan
seluruhnya diberikan kepada beliau, ternyata banyak masyiarakat yang
mendukung keinginan beliau tersebut, dan pada waktu itu beliau mendapatkan tiga
karung beras dan beras tersebutlah yang beliau jual untuk menjadi perbekalan
beliau ke Malalo. Mulai dari pakaian sampai dengan ongkos diperjalanan.
Bertepatan pada waktu PKI sedang
bergolak di Indonesia engku Lasykar berangkat ke Malalo sesudah
subuh yaitu pada hari Minggu Tanggal 23 Pebruari tahun 1965,
dan ketika sampai di Malalo beliau turun di simpang mesjid Nurul Huda pas saat
mu’azin sedang mengumandangkan adzan maghrib. Keeesokan harinya beliau
langsung masuk sekolah, beliau langsung masuk sekolah di kelas dua, karna waktu
pembelajaran telah berlangsung setengah tahun, beliau hanya setengah tahun
duduk di kelas dua, lalu naik ke kelas tiga, dan pada tahun 1966 beliau tamat
dari kelas empat, lalu di lanjutkan ke tingkat aliyah tiga tahun, tahun
1969 beliau tamat dari kelas tujuh.
Dan di tahun itu
beliau temuilah buya Zakariyah Labai Sati Pimpinan madrasah Tarbiyah
Islamiyah Malalo bersama Orang tua beliau untuk meminta izin agar beliau
bisa mengajar di Madrasah tempat beliau menuntut ilmu tersebut, dan dengan
senang hati Buya Labai Sati pun menyambut permintaan beliau tersebut. Dan
akhirnya pada tanggal 2 januari 1970 enggku Lasykar mulai mengajar
di kelas dua sampai sekarang[33].
8. Sekilas
Tentang Engku Izzuddin Dt, Panduko Nan Banso
Izzuddin adalah nama
asli yang diberikan oleh orang tua beliau sejak mula beliau dilahirkan, beliau
adalah anak kandung dari abuya Syekh Zakaria Labai Sati pendiri Madrasah
Tarbiyah Islamiyah Malalo (sekarang Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo)
dari pasangan buya yang bernama Jamiah. Beliau lahir pada tanggal 1 januari
tahun 1952 M di suatu desa yang sangat kental memakai ajaran Ahli Sunnah
Walja’ah yaitu daerah padang laweh Malalo.
Sejak kecil beliau sudah ditempa untuk
mendalami ilmu agama, karena beliau dibesarkan dilingkungan yang sangat
religius, sehingga sejak kecil beliau sudah bisa baca tulis al-Qur’an,
sedangkan pendidikan formal beliau, diawali pada tahun 1958 di Sekolah
Rakyat (SR), dan tamat pada tahun 1964. Setelah tamat dari SR beliau
melanjutkan pendidikan beliau di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo selama dua
tahun, lalu beliau pindah ke pondok Pesantren Nurul Yaqin atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Ringan-ringan yang pada saat itu dipimpin oleh Abuya Ali
Imran. Pada dasarnya antara MTI Malalo dengan pondok pesantren Nurul yaqin ini
bisa dikatakan bersaudara, karena buya Ali Imran juga pernah menutut ilmu di
MTI Malalo dengan Buya Zakaria Labai Sati.
Setelah lima tahun
engku datuk belajar di pondok Pesantren Nurul Yaqin beliau pun tamat dari kelas
tujuh. Beliau tamat pada tahun 1973. Lalu beliau kembali ke daerah kelahiran
beliau Padang Laweh pada tahun itu juga. Setelah beliau kembali ke padang laweh
beliau langsung mengajar di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Malalo.
Dalam perjalanan karir beliau dalam
dunia pendidikan, seluruh umur beliau diserahkan untuk memperjuangkan
pendidikan agama Islam yang beliau lakukan di Pondok Pesantren Trbiyah
Islamiyah (dulu Madrasah Tarbiyah Islamiyah) Malalo yang telah didirikan oleh
ayah beliau Syekh Zakariya Labai Sati dulunya. Sehingga tepat pada tanggal 4
dzulhijjah 1432 H/11 desembr 2010 beliau diresmikan menjadi pimpinan Pondok
Pesantreb tersebut untuk melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh ayah
beliau dan Abuya syekh Taharuddin Labai Sutan.
Keluarga beliau
sendiri juga beliau bina di negeri kalahiran beliau sendiri, yaitu di daerah
Padang Laweh Malalo, beliau mempersunting seorang gadis yang bernama
Wirda yang berasal juga dari Padang Laweh Malalo[34].
Dan dalam keluarga beliau hanya beristri satu orang, yang dari istri beliau
yang bernama Wirda tersebut beliau dikaruniai beberapa orang putra dan putri
yang bernama:
·
Himatul Jannah
·
M. Khairi
·
Khairul Fahmi
·
Rahimatul Ilmi
·
Radhiyatul Mardhiyah
·
Dinatul Islami
·
Hijjatul Mabrur
·
Duratul Husna
·
Nauratul Hidayah
[1] Beliau adalah seorang
Shahabat yang mulia dan termasuk orang pilihan Radhiyallahu anhuma. Nama
lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib al-Hasyimi
al-Qurasyi, anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, penafsir
al-Qur-an dan pemuka kaum muslimin di bidang tafsir. Dia diberi gelar ‘pena’
dan juga ‘laut’, karena luas keilmuannya dalam bidang tafsir, bahasa dan syair
Arab. Beliau dipanggil oleh para Khulafa’ ar-Rasyidin untuk dimintai nasehat
dan pertimbangan dalam berbagai perkara. Beliau Radhiyallahu 'anhuma pernah
menjadi wali pada zaman ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu tahun 35 H, ikut memerangi
kaum Khawarij bersama ‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di
Bashrah, kemudian tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau
lahir tiga tahun sebelum hijrah. Lihat al-Ishaabah (II/330 no. 4781).
[2] Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001,
Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
[4] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, ILMU KALAM, (Bandung, Pustaka
Setia: 2007), Hal: 124
[5] http://jamaluddinab.blogspot.com/2011/01/imam-abu-mansur-al-maturidi.html
(4 nov 2012, 10.32 WIB)
[6] Ibid, hal: 120
[7] Ibid
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar
Teologi Islan, (Jakarta, al-husna:1992) hal: 104
[10] Tabyin Kidzb al Muftari hal 38,Wafayat Al Ayan hal
284,Thabaqot Al Syafi’iyah Al Kubro, juz 3,hal 219
[11] Asmaran As, PENGANTAR STUDI TASAWUF, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada: 2002), cet.2, hal: 330
[12] http://muslim.or.id/biografi/sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html
(4 nov 2012, jam 10.34 WIB)
[13] Asmaran As, Op-Cit, hal: 303
[14] http://baitulamin.com/tasawuf/risalah/109-syaikh-al-junayd-al-baghdadi-teguh-membela-syariat.html
(4 nov 2012, jam 10.42 wib)
[15] http://tamanulama.blogspot.com/2007/12/junaid-al-baghdadi-ulama-sufi-yang.html
(4 nov 2012, jam 10.40 wib)
[16] Huzaemah Tahido Yanggo, PENGANTAR PERBANDINGAN MAZHAB, (Jakarta,
Logos:1997), hal.95
[17] http://www.masterfajar.com/2012/07/biografi-imam-hanafi-abu-hanifah/
[18]
http://dakwahkampus.com/nafsiyah-islamiyah/kisah/1550-biografi-dan-profil-imam-malik.html
[19] http://solihin87.abatasa.com/post/detail/8996/biografi-imam-malik
[20] http://muslim.or.id/biografi/imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html
[21] http://al-imron.blogspot.com/2007/10/imam-hambali.html
[22] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
[24] Drs, Mansur Malik, dkk, RIWAYAT HIDUP DAN
PERJUANGAN 20 ULAMA BESAR SUMATERA BARAT, (Islamic Centre Sumatera
Barat:1981), hal:77
[25] Ibid, hal: 81-82
[26] Ibid, hal:99
[27] Syekh
Muda Wali adalah seorang ulama yang sangat terkenal di daerah Aceh karena
kemampuannya dalam ilmu agama, beliau berbadan tegab dan besar sehingga
hal tersebut juga memperlihatkan kewibawaan beliau. Konon katanya beliau sangat
senang pergi ke daerah lain untuk menguji ilmu yang telah beliau dapat (studi
banding), bahkan beliau pernah pergi ke daerah Jawa, seperti Jawa Timur , Bnten
dll. Beliau pernah tinggal di lubuk Bagalung padang dan mendirikan pesantren di
sana
[29] Pulau
Dun-dun adalah sebuah pulau yang terletak di daerah sumatera Utara, yang
mendekati daerah Sibolga. kisah Buya Labai Sati terdampar di pulau
Dun-dun ini sebelumnya sudah pernah ditulis oleh anak Buya sendiri yaitu
Yang waktu itu ikut bersama Buya pergi ke Aceh. Karena Menurut
cerita yang penulis dengar Buya selalu membawa menimal seorang teman ketika
beliau bepergian termasuk ketika beliau pergi memenuhi panggilan mengaji ke daerah-daerah
lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar