BAB
II
UPAYA
PAKSA
A.
Penangkapan
Kewenagan yang
diberikan Undang-undang kepada penyidik
sedemikian luasnya, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi
seseorang, asal hal itu masih berpijak pada landasan hukum. Wewenang penguranga
kebebasan dan hak asasi seseorang harus dihubungakan dengan landasan prinsip
hukum yang menjamin terpeliharanya
harkat martabat kemanusiaan seseorang serta tetap berpedoman pada landasan
orientasi keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak,
dan kepentingan masyarakat serta penegakan ketertiban hokum pada pihak lain.
Pada pasal 1
(20) dijelaskan, bahwa” penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebsan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang[1]”.
Dari pasal tersebut penangkapan tidak lain hanyalah pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka/ terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan.
Akan tetapi harus dilakukan menurut ketentuan UU.[2]
Mengenai batas
waktu penangkapan ada pada pasal 19 (1) telah ditentukan bahwa penagkapan tidak
boleh lebih dari “satu hari”, apabila lebih dari satu hari berarti telah terjadi pelanggaran hokum dan
dengan sendirinya penagkapan dianggap tidak sah.
Mengenai
pembatasan wktu yang singkat ini, dapat menimbulkan kesulitan dan permasalahan
dalam prakteknya, disebabkan factor georafi dan komunikasi. Untuk mengatasi
hambatan permasalahan ini, agar penangkapan mempunyai arti untuk kepentingan
penyelidikan dan penyidikan, tapi sekaligus tidak melanggar hokum, dapat
disetujui alternatif yang digariskan pada buku pedoman pelaksana KUHAP yang
member jalan keluar atas hambatan tersebut:
Ø Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin oleh
penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di tempat terdekat;
Ø Apabila penagkapan dilakukan oleh penyilidik, pejabat
penyidik mengeluarkan surat perinta kepada penyilidik untuk membawa dan menghadapkan orang yang
ditangkap kepada penyidik.
Sementara itu
mngenai alasan penangkapan bias kita temukan dalam pasal 17 KUHAP “ perintah
penagkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup”
bukti yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana
sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukan bahwa perintah
penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan
kepada mereka yang betul melakukan tindak pidana.[3]
Namun tidak
semua tindak pidana bias dilakukan penangkapan, menurut pasal 19 (2), tidak
dibolehkan melakukan penangkapan terhadap tersangka yang melakukan tindak
pidana pelanggaran. Maka prinsip hokum
telah melarang untuk melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana
pelanggaranan. Tentu terhadap prinsip
hokum ini ada pengecualian, yaitu apabila telah dilakuakn dua kali pemanggilan
berturut-turut secara resmi namun tidak dipenuhi panggilan tersebut tanpa alas
an yang jelas. Dalam kasus ini tersangka dapat ditangkap atau dibawa ke kantor
polisi dengan paksa untuk melakukan pemeriksaan.[4]
B.
Penahanan
Berdasarkan
ketentuan dalam pasal 1 (21) penahan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini.
Tujuan
penahanan disebutkan dalam pasal 20, yang menyatakan penahan untuk kepentingan
penyelidik, penyidikatau pnyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang
melakukan penahanan. Penahan yang
dilakukan oleh penuntut umum bertujuan untuk kepentingan penuntutan dan penahan
yang dilakukan oleh peradilan untuk kepentingan pemeriksaan di siding
pengadilan.
1.
Dasar penahanan
Ø Landasan dasar, yaitu yang terdapat dalam pasal 282 (3),
296, 335 (1), 353 (1), 372, 378, 379 a, 453, 454, 455, 459, 480, dan 506 KUHP,
serta pasal-pasal lain dari ketentuan pidana khusus;
Ø Landasan unsur kekhawatiran, yaitu kekhawatiran tersangka
akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau kekhawatiran
akan mengulangi tindak pidana
Ø Dipenuhinya syarat pasal 21 (1), yaitu tersangka/ terdakwa diduga keras
sebagai pelku tindak pidana yang bersangkutan, dan dugaan keras itu didasarkan
pada bukti yang cukup.
2.
Tata cara penahanan
a.
Dengan surat perintah
penahan atau surat penetapan
Dalam ketentuan ini
terdapat perbedaan sebutan, kalau untuk penyidik dan penuntut umum melakukan
penahan dengan surat perintah penahanan, semntara apabila yang melakukan
penahan adalah hakim perintah penahana berbentuk suran penetapan. Surat
tersebut harus memuat hal: identitas tersangka/ terdakwa, menyebut alasan
penahanan, dan uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan.
b.
Tembusan harus
diberikan kepada keluarga
Pemberian tembusan
surat perintah penahanan maupun penetapan penahanan wajib disampaikan kepada
keluarga tersangka/terdakwa.
3.
Jenis tahanan
a.
Penahanan rumah
tahanan Negara (RUTAN)
b.
Tahanan rumah
c.
Penahan kota
4.
Batas wktu penahanan
a.
Pembatasan penahan
secara umum
Ø Batas kewenangan penyidik adalah 20 hari dan apabila
diperlukan untuk penyidikan boleh bitambah paling lama 40 hari= 60 hari. (pasal
24)
Ø Batas kewenangan penuntut umum adalah 20, dan boleh
meminta diperpanjang kepada ketua
pengadilan negeri, kalau di izinkan paling lama 30 hari = 50 hari. (pasal 25)
Ø Batas kewennangan hakim:
1). Hakim pengadilan
negeri kewenanganya adalah 30 hari, apabila diperlukan lagi untuk kepentingan
pemeriksaan boleh diperpanjang paling lama 60 hari= 90 hari.(pasal 26)
2). Hakim pengadilan
tinggi sama dengan kewenangan hakim
pengadilan negeri. (pasal 27)
3). Hakim Agung
kewenangannya adalah 50 hari dan apabila
diperlukan lagi boleh diperpanjang paling lama 60 hari= 110 hari. (pasal 28)
b.
Pengecualian
pembatasan penahan
Pada pembatasan jangka
waktu penahan, terdapat pasal pengecualian yang diatur dalap pasal 29. Demi
kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat
diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, karena:
Ø Tersangka/terdawa menderita gangguan fisik atau mental yang
berat yang dibuktikan dengan keterangan dokter;
Ø Atau perkara yang diperiksa diancam dengan pidanan penjara
Sembilan tahun atau lebih.
5.
Hak tahanan selama
berada dalam tahanan
a.
Hak yang bersifat umum
Ø Berhak mendapat pemeriksaan yangsegera dari penyidik (pasal
50);
Ø Berhak mendapat bantuan hokum dari penasehat hokum (pasal 57
(1))
Ø Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi
untuk kepentingan kesehatan (pasal58);
Ø Berhak menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga
(pasal 60)
b.
Hak atas perawatan kesehatan
( bab II PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
c.
Hak atas perawatan
rohani (pasal 13 dan 14 PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
Ø Fasilitas sarana pendidikan
Ø Fasilitas keagamaan
Ø Fasilitas sarana olahraga dan kesenian
d.
Larangan wajib kerja
(pasal 15 PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
e.
Hak mendapat kunjungan
(bab III PERMEN kehakiman no. M.04.UM.01.06/1983)
C.
Pengeledahan
Apabila
mendengar kata penggeledahan, di hadapan kita terbayang suasana ada seorang
atau beberapa petugas mendatangi tempat atau rumah kediaman atau beberapa orang
petugas mendatangi dan menyruh berdiri seseorang. Lantas petugas memeriksa
segala sudut rumah atau skujur tubuh orang yang digeledah. Tujuannya untuk mencari dan mendapatkan sesuatu yang ada
kaitannya degan peristiwa pidana yang disidik.
Ditinjau dari
segi UU dalam pasal 1 (17), pengeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk
memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam UU. Sedangankan dalam pasal 1 (18) yang
berbunyi, pengeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga
keras ada pada badan atau dibawanya serta, untuk disita.
Unruk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat dapat melakukan pengeldahan rumah atau
mengeledahan pakaian atau pengeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan
dalam UU ini.(pasal 32)
Wewenang
mengadakan pengeledahan rumah diatur dalam pasal 33 KUHAP, sebagai berikut:
1.
“Surat izin ketua
pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan
pengeladahan rumah yang diperlukan”.
2.
“Dalam hal yang
diperlukan atas perintah pertulis dari penyidik, petugas kepolisiannegara RI
dapat memasuki rumah” jika yang malakukan pengeledahan itu bukan penyidik
sendiri maka petugas kepolisian lainnya harus dapat menunjukan surat izin ketua
pengadilan negeri dan surat perintah tertulis dari penyidik.
3.
Setiap kali memasuki
rumah harus disaksikan oleh dua orang saksidalam hal tersangka atau penghuni
menyetujuinya
4.
Setiap kali memasuki
rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang
saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
5.
Dalam waktu dua hari
setelah mamasuki dan atau mengeledah rumah harus dibuat suatu berita acara dan
turunanya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rum,ah yang bersangkutan.
Selanjutnya menurut pasal 34 menyatakan dalam keadaan
mendesak kalau penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan
surat izin terlbih dahulu, penyidik dapat malkukan mngeledahan:
1.
Pada halaman rumah
tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya
2.
Pada setiap tempat
lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
3.
Di tempat tindak
pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
4.
Di tempat penginapan
dan tempat umum lainnya.
Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang
mengeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan
keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda
yang dapat disita. Pada wktu penangkapan tersangka atau dalam hal tersangka
sebagaimana dimaksud dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang mengeledah
pakaian atau mengeladah badan tersangka.
Pengeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang
wanita dilakukan oleh pejabat wanita, dalam hal penyidik barpendapat perlu
dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta bantuan kepada pejabat
kesehatan. (pasal 37)
D.
Penyitaan
Barang Bukti
Sebagaimana yang
dirumuskan dalam pasal 1 (16), penyitaan adalah serangkaian tidakan penyidikan
untuk mengambil alih dan/atau menympan di bwah penguasaannyabenda bergerak atau
tidak bergerak. Berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalm
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Yang berwenang
melakukan penytaan adalah penyidik, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 38,
karean penyitaan adalah tindakan hokum yang dilakukan di taraf penyidikan.
Sesudah lewat dari taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan dan
atas nama penyidik.
1.
Bentuk
dan tatcara penyitaan
a.
Penyitaan
biasa dan tata caranya
Ø
Harus
ada surat izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri (pasal 38 [1])
Ø
Memperlihatkan
dan menunjukan tanda pengenal (pasal 128)
Ø
Memperlihatkan
benda yang akan disita (pasal 129)
Ø
Penyitaan
dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi (pasal 129 [1])
Ø
Membuat
berita acara penyitaan (pasal 129 [2])
Ø
Menyampaikan
turunan berita acara penyitaan kepada atasannya dan kepada keluarga pihak
dimana barang itu disita serta kepada kepala desa. (pasal 129 [4])
Ø
Membungkus
benda sitaan (pasal 130 [1]), seandainya barang sitaan tidak memungkinkan untuk
dibungkus, maka harus dibuat catatan atau data tentang barang sitaan, kemudian
catatan itu ditulis di atas label yang ditempelkan dan dikaikan pada barang
sitaan. (pasal 130 [2])
b.
Penyitaan
dalam keadaan perlu dan mendesak
Sebagai
pengecualian penyitaan biasa berdasarkan aturan di atas, pasal 38 [2] memberi
kemungkinan melakukan penyitaan tanpa melalui tata cara yang ditentukan oleh
pasal 38 [1]. Hal ini diperlukan untuk memberi kelonggaran kepada penyidik
bertindak cepat sesuai dengan keadaan yang diperlukan. Dan mengenai tata cara penyitaan dalam keadaan yang sangat
perlu dan mendesak adalah:
Ø
Tanpa
surat izin dari pengadilan negeri
Ø
Hanya
terbatas atas benda yang bergerak saja
Ø
Wajib
segera melaporkan guna mendapat persetujuan.
2.
Benda
yang dapat disita
Benda yang
dapat disita hanyalah benda yang berkaitan dengan peristiwa tindak pidana, jika
benda yang disita tidak ada kaitannya dengan peristiwa tindak pidana yang
sedang diperiksa, dianggap merupakan penyitaan yang bertentangan dengan hukum.
Lebih jelasnya mengenai benda yang dapat disita dijelsakan dalam pasal 39.
3.
Penyimpanan
barang sitaan
Bertitik
tolak dari ketentuan pasal 44, benda sitaan disimpan dalam Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan Negara (RUPBASAN). Rupbasan adalan satu-satunya tempat penyimpanan
segala macam jenis benda sitaan. Secara struktural dan fungsional, berada
dibawah lingkungan Kementerian kehakiman yang akan menjadi pusat penyimpanan
barang sitaan dari seluruh instansi.
4.
Penjualan
lelang barang sitaan
Yang dimaksud
dengan penjualan lelang disini tidak sama dengan penjualan lelang ditaraf
eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, namun hal
ini apabila pejabat yang bersagkutan dihadapkan pada suatu keadaan yang extra
ordinary, maka dalam ruang lingkup ini pasal 45 memberi kemungkinan kepada
pejabat yang bersangkutan untuk menjual benda sitaan, namun dengan syarat:
Ø
Apabila
benda sitaan terdiri dari benda yang mudah rusak atau busuk;
Ø
Apabila
benda sitaan tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara
yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum yang tetap;
Ø
Jika
biaya penyimpanan benda menjadi terlalu tinggi.
Kemudian hasil dari penjualan lelang benda tersebut
kembali diletakan atau disimpan di Rupbasan.
5.
Pengembalian
barang sitaan
Kecuali
mengenai benda yang sifatnya terlarang atau dilarang mengedarkan, pada
prinsipnya benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu
disita atau kepada siapa yang paling berhak. Bertitik tolak dari pasal 46,
pengembalian benda sitaan harus dikembalikan sesegera mungkin kepada yang
palingh berhak:
Ø
Apabila
secara nyata dan objektif pemeriksaan penyidikan tidak memerlukan lagi;
Ø
Atau
apabila perkara tersebut tidak dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata
tidak merupakan tinda pidana;
Ø
Perkara
tersebut dikesampingkan/dideponer untuk kepentingan umum;
Ø
Atau
perkara tersebut ditutup demi hukum, karena alasan debin in idem atau
tersangka/terdakwa meninggal dunia atau karena tuntutan terhadap terhadap tindak
pidana sudah kadaluarsa.
E.
Tertanglap
Tangan
Dalam hal tersangka
tertangkap tangan, sesuai Pasal 1 angka 19 (“KUHAP”) yang berbunyi :“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya
seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah
beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh
khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian
padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan
tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut
melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.
Keistimewaan Tertangkap Tangan
Dalam hal penangkapan keistimewaan tertangkap
tangan dapat kita temukan dalam pasal 18 (2), yang menyatakan bahwa, “dalam hat
tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan
bahwa penangkapanharus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti bukti
yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.”
Selanjutkan dalam ayat 3 “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.”
Selanjutnya dalam hal
pengeledahan keistimewaan tertangkap tangan dapat kita temukan dalam pasal 35,
namun sebelum melihat ke pasal 35 kita harus melihat ke pasal 34 terlibih
dahulu, sebagaimana yang telah di uraikan terdahula, bahwa dalam keadaan mendesak kalau penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlbih dahulu,
penyidik dapat malkukan mngeledahan:
1.
Pada halaman rumah
tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya
2.
Pada setiap tempat
lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada
3.
Di tempat tindak
pidana dilakukan atau terdapat bekasnya
4.
Di tempat penginapan
dan tempat umum lainnya.
Dan selanjutnya dalam pasal 35 mengatakan “ kecuali dalam
hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:
a.
Ruang
di mana sedang berlangsung didang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
perwakilan atau Dewan Perwakilan Daerah;
b.
Tempat
di mana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan;
c.
Ruang
dimana sedang berlansung sidang pengadilan.”
Selanjutnya dalam hal penyitaan keistimewaan tertangkap
tangan dapat kita temukan dalam pasal 40 “dalam hal tertangkap tangan penyidik
dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai
sebagai barang bukti”
dan pasal 41 “dalam hal tertangkap tangan penyidik
berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau
pengirimannya dlakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut
diperuntukan bagi tersangka atau yang berasal dari padnya dan untuk itu kepada
tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerima”
BAB III
KESIMPULAN
Setelah dilakuka penyelidikan dan mengetahui adanya unsur
tindak pidana, maka tuga selanjutnya diserahkan kepada penyidik untuk
mengumpulkan barang bukti dan melakukan pemeriksaan.
Untuk membantu kelancaran pemeriksaan tersebut, maka
penyidik diberi kewenangan untuk malakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan
termasuk menyita barang atau benda yang berkaitan dengan tindak pidana yang
diperiksa. Untuk itu UU no. 8 tahun 1981 atau yang lebih dikenal dengan
singkatan KUHAP, mengatur mengenai tata cara dan prosedur yang harus diikuti
oleh penyidik dalam melaksanakan tugasnya. Namun dalam beberapa hal KUHAP
memberi beberapa keistimewaan kepada kasus tertangkap tangan, sebagaimana yang
telah kami jelaskan di atas.
[1] KUHP dan KUHAP, (Surabaya, Kesindo Utama:2010), cet ke-5, h.189
[2] Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penjelasan KUHAP, (Jakarta,
Sianr Grafika: 2007), cet ke-9, edisi k-2, h.157
[3]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta,
balai pustaka: 1989) cet ke-8, h.358-359
[4] Yahya Harahap, op-cit, h. 161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar