Selasa, 25 April 2017

HARI BUKU YANG PILU



Tepat pada tanggal 23 april yang menjadi peringatan hari buku sedunia seharusnya menjadi momentum untuk menyadarkan kembali  kita orang-oang Indonesia.  Seperti yang dilansir oleh the Organisation for Economic Ro-orporation  and Development (OECD) ternyata minat baca di Indonesia sangat memperhatinkan,dan Indonesia berada pada peringat terendah dari 52 negara di Asia. Dan menurut UNESCO pada tahun 2012 minat baca anak-anak di Eropa rata-rata menuntaskan 25 buah buku dalam satu tahun, sementara di Indonesia cuma pada angka 0.001%, artinya dalam 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang memiliki minat baca. Bahkan Indonesia berada di bawah Thailand yang berada di peringkat  51.
Apa penyebabnya? Banyak yang menyalahkan linkungan masyarakat kita yang tidak mencoba untuk meransang minat baca masyarakat kita. Munkin ini benar menjadi penyebab utamanya, tapi apakah itu saja? Tentu tidak.  Tan Malaka mengatakan bahwa kita masyarakat Indonesia masih terbelenggu dengan kehidupan-kehidupan mistis sehingga dengan sendirinya telah menjadi pola pikir yang diistilahkannya dengan Logika Mistika. Dalam logika  Mistika tersebut masyarakat terlalu berharap banyak pada kekuatan yang bersifat mistik, yang dicontohkan dalam bukunya MEDILOG dengan Maha Dewa Rah dengan berbagai macam sabdanya.
Saya sengaja sengaja menyampaikan ini, karena yang disampaikan oleh Tan Malaka berbanding lurus dengan beberapa teori yang disampiakan oleh beberapa tokoh lainnya. Seperti yang disampaikan Ir. Soekarno dalam bukunya Sarinah, dia mencoba membagi beberapa tahapan dalam peradaban manusia.  Di mana dalam salah satu tahapan manusia hidup dalam tatanan masyarakat yang agraris dimana tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kekuatan mistis sangat tinggi, karena mereka membutuhkan hujan dan panas untuk kehidupan mereka.
Tetapi saya kira Indonesia hari ini sudah mulai beralih kepada tahapan selanjutnya, yaitu kehidupan industrialis. Dimana masyarakat lebih percaya pada hal-hal yang bersifat Ilmiah. Namun ternyata beralihnya tahapan kehidupan pada industrialis tidak selaras dengan minat baca masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga pada saat ini Indonesia lebih banyak menyerahkan kekayaannya untuk dikelolah oleh pihak lain, dan rela hanya menikmati 7% (Preefot) dari hasil kekayaannya tersebut.
Mungkin kita sudah terlalu nyaman dengan keadaan seperti ini di bumi Indonesia yang telah memberikan fasilitas amat kaya kepada masyarakatnya, sehingga orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu pun jadi tanama, kail dan jala cukup menghidupimu. Karena toh dengan kondisi seperti ini Indonesia tetap bisa mampu memenangkan kejuaraan science ditingkat internasional.
Tapi tentu kita berharap lebih dari itu, sudah saatnya kita beralih dari kungkungan idealismenya Plato. Mari kita lebih rasional, robah pola pikir dan jangan bebankan masalah ini hanya pada pemerintah. Ciptakan lingkungan yang kondusif dan mulai dari lingkunga terkecil. Usahakan setiap keluarga memiliki pustaka sendiri, sehingga bisa mempengaruhi anak-anak dan lingkungan disekitar kita. Karena dalam Islam-pun hal pertama yang disampaian Allah kepada Nabi Muhammad Saw adalah  “Iqrak” (bacalah) dalam kalimat perintah yang artinya disitu ada paksaan.